Monday, April 3, 2017

Kenapa HTI itu Memonyet Buta?


DUNIA HAWA - Sebenarnya istilah yang biasa digunakan adalah “membabi buta”. Setelah saya pikir bahwa istilah itu sudah terlalu mainstream, lebih baik saya menggunakan istilah baru saja: memonyet buta. Kadang-kadang sedih melihat kaum binatang selalu di-kambinghitam-kan. Nah, kambing sendiri sepertinya jadi korban yang paling celaka.

Kenapa HTI itu memonyet buta? Suara-suara penolakan terhadapnya sudah lama bergaung, makin lama makin bergaung. Saya masih ingat bagaimana HTI gegap gempita membikin-bikin acara. Kalau dirumuskan, acara HTI itu sebenarnya cuman dua. Yakni, demo dan pertemuan. Mari kita lihat soal demonya terlebih dahulu.

Ciri demonya cukup menyolok, tak peduli isu apa yang diangkat, yang penting bendera berkibar-kibar.  Isu yang diangkat dalam demo cuman tiga: Palestina, hancurkan sistem pemerintahan kafir, dan tegakkan syariat Islam. Dalam ketiga isu ini, demo-demo HTI digelar. Anak-anak kecil dilibatkan. Perempuan-perempuan menggendong anak-anak kecilnya. Dengan dalih menanamkan jiwa perjuangan dan cinta terhadap syariat agama, balita-balita yang—menurut istilah Imam Ali bin Abi Thalib dalam kerangka pendidikan anak tengah berada pada fase menjadi raja—tidak mengerti apa-apa, suci dari dosa dan kesalahan, diangkut-angkut ke jalan raya, dibakar terik, atau disiram air hujan!

Anak-anak dan balita-balita yang lucu dan menggemaskan ini, oleh kebiadaban orang tuanya atas nama perjuangan dan cinta terhadap syariat agama, disumpal kedua matanya dengan pemandangan demo, dijejal kedua telinganya dengan teriakan dan pekik kebencian. Seakan-akan, di hadapan wajah-wajah polos dan lugu anak dan balita ini, orang-orang tua mereka berkata, “Nak, lihatlah perjuangan ini. Beginilah beratnya berjuang menegakkan kebenaran. Jangan takut nak. Jangan bersedih. La tahzan!!”

Sampai di sini, teringat saya akan perjuangan kemanusiaan yang sejati, yang jika dibandingkan dengan demo-demo HTI itu seperti membandingkan tingginya langit ketujuh dengan dalamnya sumur ke delapan!

Alkisah, di atas sahara Nainawa, Imam Husain, keluarga, dan pengikutnya yang setia, yang jumlahnya hanya puluhan itu dikepung oleh ratusan ribu pasukan Yazid bin Muawiyah. Cerita pengepungan ini, oleh para pencerita senantiasa dihubung-hubungkan dengan Syiah padahal ini adalah tragedi kemanusiaan di dalam sejarah, berakhir dengan tragis dan kepiluan. Satu per satu keluarga dan pengikut Imam Husain dipenggal kepalanya, dibombardir anak-anak panah. Di dalam dekapan ibunya, salah satu putra Imam Husain yang masih balita dan kehausan karena mengeringnya air susu, ditembus keningnya dengan lesatan anak panah. Dalam pelukan ibundanya, darah balita yang tak berdosa ini mengalir deras dan mengakhiri nafasnya untuk selama-lamanya.

Demi tegakknya kebenaran, tak mau tunduk pada penguasa zalim, cucunda Rasulullah saw, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya ini berkalang tanah. Imam Husain adalah cucu Rasulullah, dan ratusan ribu tentara yang membantainya juga tentara muslim. Husain bin Ali adalah muslim. Para pembantainya juga muslim. Di hadapan ratusan ribu tentara itu, Husain telah berseru untuk mengingatkan bahwa siapa yang mereka hadapi adalah keluarga dari nabi mereka sendiri. Tetapi seruan itu hanya menggema, tak mampu mengusik nurani para tentara, sebab hati mereka telah tertutup tebalnya dinding kezaliman.

Kembali pada demo-demo HTI. Sungguh tak dapat dibandingkan demo-demo yang melibatkan anak-anak tak bersalah itu dengan cerita duka dan kepiluan balita-balita kstaria di atas padang Karbala (Nainawa). HTI yang jelas-jelas sangat lemah dan mudah dihancurkan doktrin-doktrinnya, seperti tak pernah membuat mereka jera dan menyadari kesalahan-kesalahannya. Malah, makin ke sini makin membabi buta. Eh, salah! Makin ke sini makin memonyet buta!

Mereka ini tak mau juga untuk belajar. Ketika diajak debat dan tak sanggup lagi menjawab kritikan, ini tidak membuat mereka sadar. Sebaliknya, ini justru membuat mereka semakin nyinyir untuk menuduh, “Kalian pengikut kafir. Kalian liberal. Kalian munafik!”

Pabila mereka diberi tahu NKRI adalah harga mati dan tak sepantasnya mereka hidup di atas bumi negeri ini, mereka nyinyir, “Adalah hak bagi kami untuk berjuang menegakkan khilafah di atas bumi ini. Bukankah demokrasi mengijinkan bagi kalangan mana pun untuk bersuara?” Padahal mereka  ini berseru-seru, “Demokrasi itu konsep kafir!”

Ketika pawai mereka dibubarkan, justru mereka semakin yakin bahwa perjuangan mereka itu benar dan mewakili kaum muslim yang hendak menggapai cita-citanya. Dengan kata lain, mereka semakin terperosok untuk menuduh pihak lain berada dalam barisan kemunafikan dan kekafiran.

Menghadapi HTI, akal sehat sudah tak mempan lagi. Diajak debat mereka kalah, dan kekalahan itu tak membuat mereka mengakui kekalahannya, justru semakin menuduh kita gila, antek asing, munafik, dan kafir. Diingatkan agar jangan bawa-bawa anak, meraka justru menuduh, “Anak-anakmu akan jadi sepertimu—munafik, kafir.” Disuruh pergi ke Palestina, ngeles mereka melebihi bajaj rongsok yang berpusing-pusing memeningkan kepala.

Mereka didiamkan, makin menjadi-jadi. Tak didiamkan, mereka ini merasa makin benar. Jadi apa yang harus dilakukan sih sebenarnya?

Jujur saja saya tak memperoleh jawaban. Yang bisa saya lakukan hanya berdoa kepada Tuhan, “Ya Allah, lindungilah kami dari monyet-monyet yang terkutuk.”


@taufiqurrahman sk azizy


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment