Tuesday, March 28, 2017

Ketidaknyamanan Umat Kristen Atas Al-Maidah 51


DUNIA HAWA - Sejak Desember 2016 lalu, Surat Al-Maidah 51 menjadi ayat Al-Quran yang paling banyak disebut-sebut oleh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Ada dua hal yang dipermasalahkan sebuhungan dengan Al-Maidah yang disebut Ahok dan dipopulerkan oleh Buni Yani, yaitu; kelancangan Ahok menggunakan ayat Al-Quran dalam pidatonya dan makna terjemahan kata “awliya”.

Sebelum kasus Ahok ini, aku tidak pernah tahu kalau non muslim tidak boleh menggunakan ayat Al-Quran. Kata “pakai” yang disebutkan Ahok mengiringi ayat Al-Maidah 51 menjadi kontroversi dan berujung pada persidangan yang wajib dihadirinya setiap Selasa. 

Setahuku, umat Kristen tidak pernah memperkarakan umat lain yang mengkutip Alkitab, walaupun salah. Misalnya Amin Rais beberapa tahun lalu. Dalam sebuah wawancara dengan televisi Amin berkata, 

“Suatu ketika ada seorang perempuan kedapatan berzinah, dia dibawa ke hadapan Yesus untuk minta pendapat cara menghukum perempuan tersebut.  Kemudian Yesus berkata “Barang siapa diantara kamu ada yang tidak pernah berzinah, dialah yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini.”

“Ternyata tidak ada yang melempar, karena semua orang Yahudi ketika itu pernah berzinah.” Tambah Amin Rais. Padahal Yohanes 8:7 itu mengatakan “Barang siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melempar batu kepada perempuan itu.” 

Ada perbedaan besar arti kata berzinah dan berdosa. Dan umat Kristen tidak pernah menyebut Amin bermulut lancang.

Sehubungan dengan kasus penistaan Al Maidah yang dituduhkan pada Ahok, umat Islam Indonesia - dari umat biasa hingga ahli agama - terbelah dua dalam menyikapinya. Sebagian menganggap ucapan Ahok di kepulauan Seribu itu adalah penghinaan terhadap Al-Quran, sedangkan sebagian lagi menganggap tidak ada unsur penghinaan.

Banyak pengamat atau pun bukan, mengakui bahwa kasus Ahok menjadi besar karena ada hubungannya dengan Pilkada yang sedang berlangsung di DKI Jakarta. Terang benderang terlihat ada pihak yang menggunakan ucapan Ahok ini sebagai senjata untuk menjatuhkan elektabilitasnya, bahkan kalau memungkinkan memenjarakannya sehingga tidak ikut dalam pertarungan. Berbagai upayapun dilakukan untuk menjegalnya.

Demo berjilid-jilid yang dihadiri umat dari berbagai daerah pun terselenggara. Merek dagang produk ataupun jasa dengan label Al-Maidah pun bermunculan. Seminar atau diskusi baik ilmiah maupun tidak, diselenggarakan oleh berbagai pihak dengan berbagai tujuan, tergantung penyelenggara. Ratusan tulisan dari penulis amatir hingga professional bermunculan di portal bonafit hingga abal-abal.

Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, selain kelancangan mulut Ahok, ada masalah lain yang mengikuti yaitu makna terjemahan kata “awliya”.  Ada yang menterjemahkannya menjadi pemimpin dan adapula yang mengartikannya menjadi teman setia.

Di media sosial ramai netizen mempertahankan arti terjemahan menurut versi yang dia yakini. Si A bilang, awliya itu artinya pemimpin, si B membantah dengan mengatakan artinya teman setia atau sahabat. Kemudian si A menambahkan, kalau jadi sahabat saja tidak bisa, bagaimana bisa jadi pemimpin. Sungguh pelik nian masalah ini.

Sebenarnya banyak versi tafsir akan kata tersebut. Tapi baiklah kita ambil dari yang resmi versi terjemahan dari Depag RI, yang ternyata pun berbeda, seperti ini:

• Terjemahan Al-Maidah 51 edisi lama Depag RI: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);”

• Terjemahan Al-Maidah 51 edisi baru Depag RI: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia-(mu);”

Pendukung Ahok menterjemahkan awliya menjadi teman setia, sedangkan lawan Ahok menterjemahkannya menjadi pemimpin. Aku paham, tujuan perbedaan arti ini adalah untuk memenangkan sebanyak mungkin hati warga DKI Jakarta yang muslim saat mencoblos di hari pemilihan.

Sejak awal, aku selalu menekan perasaan dan berkata dalam hati bahwa arti ayat itu bukan urusanku. Seperti dulu aku sempat berkecil hati dan menekan perasaan tatkala disebut kafir oleh beberapa Muslim.

Di dalam Alkitab, Yesus melarang umatnya menyebut orang lain kafir. Sehingga itulah kacamata yang kupakai melihat orang lain, dan merasa kecewa pada ucapan orang lain yang gampang menyebut kafir. Kemudian aku merubah persepsiku.

Aku tidak bisa berharap semua orang memakai kacamata yang sama seperti yang kupakai. Aku tidak bisa melarang orang lain berkata kafir terhadapku. Tapi aku bisa menerimanya dan tidak membalasnya mengatakan orang lain kafir. Cara pandang seperti itu membuat aku lebih santai, malah kadang aku menyebut diri sendiri kafir.

Kemudian muncul lagi terjemahan Al Maidah 51, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu) ataupun teman setia (mu).” 

Sejak Desember kemaren, selalu ada rasa nyeri di hati setiap mendengar atau membaca ayat itu. Di timeline twitter umpamanya, arti ayat itu senantiasa mengalir tak henti terutama Desember hingga Februari kemaren. Bulan Maret ini memang tidak seintens bulan-bulan sebelumnya. Tapi akhir Maret ini akan mulai lagi. Aksi 313.

Maksud ayat itu adalah jangan jadikan orang Nasrani itu pemimpinmu, kata yang satu. Kemudian yang berseberangan berkata, maksudnya adalah jangan jadikan orang Nasrani itu jadi teman setiamu!

Yang berdebat tentu sesama muslim dengan membawa-bawa Nasrani sebagai objek yang dipertaruhkan posisinya antara tidak bisa jadi pemimpin atau tidak bisa jadi teman setia. Apa pun keputusannya sama-sama menyayat hati. 

Bagi teman-teman Muslim mungkin tidak terpikir efek kalimat itu terhadap kami, tapi kami yang Kristen, sering saling berpandangan tidak percaya mendengar arti ayat tersebut. Dalam batin kami, “Apakah sahabatku si anu itu tidak menganggapku sahabat karena dia diperingatkan untuk tidak menjadikan kaum Nasrani jadi teman setia?”

Tentu sangat tidak nyaman mempunyai pikiran seperti itu bukan? Aku kembali pada caraku membanalkan arti kafir. Aku tidak bisa meminta apalagi memaksa orang untuk menjadi sahabatku tapi aku bisa menganggap orang lain sahabat, apapun latar belakang etnis, budaya ataupun agamanya. 

Pasti akan ada yang mengatakan bahwa aku salah mengartikan ayat itu, bahwa aku harus tahu asal-usul turunnya ayat itu, atau arti dari bahasa aslinya, dan lain-lain. Tapi ayat itu secara vulgar demikian adanya terbaca di ruang publik yang terdiri dari aneka ragam agama dan kepercayaan. Ayat itu beredar bukan untuk kalangan sendiri.

Ada yang mengatakan ayat itu turun saat perang. Tapi saat ini kita tidak sedang perang, kenapa digunakan? Saya tahu, tidak semudah itu menyamakan persepsi untuk semua orang, terutama antar orang yang sedang berjuang mendapatkan posisi politik. Segala hal dapat dilakukan. Tapi apa boleh buat, ayat itu sudah jadi santapan umum.

Aku juga tidak menutup mata bahwa GP Ansor selalu membantu menjaga umat Kristen beribadah saat ibadah malam Natal. Aku tidak tahu hal ini ada kaitannya dengan Al Maidah 51 atau tidak. Memjaga umat lain itu apakah termasuk menjadikan mereka teman sejati? Kalau iya, berarti ayat itu memang hanya untuk masa perang.

Teringat pepatah lawas, engkau tidak bisa melarang burung terbang di atas kepalamu, tapi engkau bisa mengusirnya supaya dia tidak hinggap di kepalamu. Kita tidak bisa membatasi apapun yang dikatakan orang terhadap kita, tapi kita bisa memilah mana yang kita masukkan ke dalam hati. 

@mery dt


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment