Wednesday, August 17, 2016

Ini Indonesia Cuk..., Presidenmu Bukan Erdogan


Dunia Hawa - Saya terkadang memimpikan masa saat perjuangan Indonesia ketika mengusir para penjajah.

Buat saya masa itu adalah masa yang menyenangkan, dimana apapun yang kita obrolkan dan kita perjuangkan tidak jauh dari bagaimana supaya kita merdeka. Desing peluru, bau mesiu, dan berlari menghindari pasukan musuh yang membuat adrenalin terpompa begitu kencang, membuat hidup ini menjadi lebih berarti daripada sekedar rutinitas di jalan setiap hari.

Teriakan teriakan membakar semangat, pertemuan pertemuan tersembunyi, kode kode rahasia digumamkan membuat siang dan malam seperti tidak ada arti lagi. Hidup jadi tidak membosankan dan mental tidak lembek karena lelah menonton sinetron Raam Punjabi.

Bisakah masa itu terulang lagi?

Ternyata bisa, hanya medan perangnya berbeda. Medan perang lebih didominasi perang di media sosial. Internet membuat perang menjadi lebih luas meski lawannya masih bangsa sendiri. Bangsa sendiri yang lebih mencintai negara Saudi dan Turki. Bangsa sendiri yang selalu berusaha menjatuhkan pemimpin yang terpilih.

Perang di internet ini sejatinya bukan perkara benar dan salah, karena benar itu relatif dan salah itu condong ke mutlak.

Perang di internet ini didominasi propaganda yang dilawan propaganda juga. Pight pire with pire, bahasa sundanya karena orang sunda gak bisa ngomong "F".

Sulit melihat situasi dan kejadian sebenarnya, dan kita hanya berpatokan pada banyak analisa. Siapapun bisa berkata bahwa informasi yang mereka dapatkan valid adanya. Tapi seberapapun validnya jika tidak mampu men-sosialisasikannya akan kalah oleh mereka yang hanya mengandalkan prasangka semata.

Patokannya adalah "apakah yang kita lakukan ini menyelamatkan negara atau malah mengacaukannya"?

Tentu tidak mungkin kita akan berbicara bela negara tapi sibuk men-share berita hoax terhadap kerusuhan SARA dan memperuncingnya. Tidak mungkin kita berbicara cinta Indonesia, ketika kita selalu membenturkan perbedaan keyakinan penduduknya. Dan sangat tidak mungkin kita berbicara nasionalisme ketika masih sibuk bermimpi khilafah.

Jadi kita ada di posisi mana sebenarnya?

Jelaslah kita harus di posisi membela merah putih, ketika hormat bendera itu dimusyrikkan. Jelaslah kita berdiri di samping Garuda sejati, ketika seluruh tubuhnya dimerahkan. Jelaslah kita harus bergandeng tangan saling melindungi, ketika perbedaan kita dibenturkan. 

Ini tanggal 17 Agustus, hari kemerdekaan. Boleh saya sedikit ingatkan hal kecil tetapi penting untuk direnungkan? 

Sini telinganya, biar saya bisikkan dengan lembut, mesra dan penuh kesantunan. "Ini Indonesia, cuk.. Presidenmu bukan Erdogan.."

Seruputtt...

[denny siregar]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment