Tuesday, April 4, 2017

Kemesraan Anies Baswedan dan PKS


DUNIA HAWA - Hubungan Anies Baswedan dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebenarnya tidak hanya terjalin selama Pilkada DKI. Jika melihat ke belakang, hubungannya sudah lama, setidaknya sejak Anies menjabat Rektor Paramadina.

Kemesraan Anies dan PKS dimulai ketika Anies bertemu Sohibul Iman di Universitas Paramadina, yang ketika itu juga menjadi Pejabat Rektor Universitas Paramadina. Kedekatannya berlanjut, ketika Sohibul Iman ditunjuk menjadi Pembantu Rektor ketika Anies menjadi Rektor Universitas Paramadina sebelum menjadi Wakil Ketua DPR dari PKS dan Presiden PKS.

Selanjutnya, kemesraan Anies dan PKS juga ditunjukkannya ketika menjadi rektor dengan mengizinkan masuknya infiltrasi pemikiran tarbiyah PKS melalui Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di lingkungan Universitas Paramadina. Di samping itu, ketua komisariat KAMMI pada tahun 2008 atau 1 tahun Anies menjabat sebagai rektor merupakan salah satu penerima beasiswa Paramadina Fellowship (PF). Hal ini ditengarai sebagai sikap Anies atas keberpihakannya terhadap ideologi eksklusif.

Di sisi lain, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang merupakan organisasi sayap kanan PKS mempunyai pemikiran Islam yang eksklusif dan tertutup. Sehingga, hadirnya KAMMI sangat tidak relevan dengan visi dan misi Paramadina yang berjuang untuk membangun keislaman yang inklusif   dan terbuka di tengah-tengah keberagaman Indonesia.

Puncak Kemesraan


Diangkatnya Anies menjadi calon Gubernur Jakarta dari PKS merupakan puncak kemesraan di antara keduanya. Hal ini tidak lepas dari peran teman dekatnya yang juga mantan Rektor Universitas Paramadina sebelum Anies dan sedang menjabat sebagai Presiden PKS, yakni Sohibul Iman.

Padahal, di bursa Cagub dan Cawagub Jakarta ketika itu, nama Anies sama sekali tidak muncul. Bahkan, Partai Gerindra dan PKS sudah hampir memastikan nama Yusril Ihza Mahendra-Sandiaga Uno yang sebelumnya telah mengikuti konvensi Cagub dan akan diusung dari koalisi mereka.

Kalau tidak ada kedekatan secara personal dengan Sohibul Iman, sangat mustahil Anies akan menjadi Cagub seperti sekarang. Di samping itu, PKS yang menjadi pengusung utama Anies begitu ngotot menunjuk Anies karena ingin menarik pangsa pendukung mereka yg eksklusif.

Kemesraan Anies dengan PKS juga tidak hanya ditunjukkan dari sisi personal saja, melainkan dengan persamaan pemikiran. Hal ini diungkapkan Anies ketika berpidato dalam kunjungannya ke markas Front Pembela Islam (FPI).

Dalam pidatonya, Anies mengatakan dirinya sebagai pemadam api kontroversi pemikiran dalam kampus Paramadina. Secara tidak langsung, keberhasilannya memadamkan api perjuangan Cak Nur, yang telah memperjuangkan Islam modern, inklusif, toleran, dan Rahmatal Lil Alamin, merupakan pemikirannya yang eksklusif. Dan ini menunjukkan bahwa Anies lebih dekat dengat Islam yang eksklusif, tertutup, dan intoleran.

Anies merangkul kelompok radikal dalam kontestasi Pilkada Jakarta, seperti FPI, Forum Umat Islam (FUI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) menambah bukti yang menguatkan pemikiran Anies sejalan PKS. Karena mereka menginginkan dasar negara NKRI akan dibuat  bersyariat.

Sebenarnya, NKRI Bersyariat adalah jelmaan dari pendirian negara khilafah yang diusung HTI. Namun, FPI bersama FUI dan MMI melalui Deklarasi Jakarta pada tahun 2005 mulai menggunakan paltform yang menginginkan berdirinya NKRI Bersyariat untuk menarik simpati masyarakat muslim moderat.

Bahaya Anies dan PKS


Menurut Prof. Dr. J.E. Sahetapy, Guru besar ilmu hukum Universitas Airlangga, PKS adalah perpanjangan tangan Ikhwanul Muslimin (IM) versi Said Hawwa faksi Qiyadah Syaikh yang menginginkan terciptanya keadilan distributif ala Islam. Tujuan tersebut sangat tidak tepat jika diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya sangat beragam.

Di samping itu, keberhasilan IM dalam memenangi politik tidak lepas dari politisasi masjid yang mereka lakukan. Isu-isu SARA mereka gaungkan untuk memenangkan kontestasi politik di setiap masjid yang tersebar di Mesir.

Jika diterapkan di Indonesia, khususnya Jakarta tentu ini akan menjadi bahaya besar yang dapat mengancam keutuhan dan kesatuan NKRI. Kita tidak ingin menjadi negara seperti Mesir yang diguncang konflik sektarianisme yang diciptakan oleh IM melalui Presiden Muhammad Morsi.

Politisasi masjid yang terjadi di Jakarta yang digerakkan oleh Tim Anies-Sandi mirip sekali dengan apa yang terjadi di Mesir. Bukti terbaru, video Eep Saifulloh seorang konsultan politik Anies-Sandi menyerukan dengan lantang melalui video youtube yang viral untuk mengajak khotib Jumat agar jangan hanya menyerukan ketakwaan, namun harus juga menyerukan sikap politik.

Sungguh disayangkan, sikap Tim Anies Sandi yang cenderung menghalalkan segala cara untuk mengalahkan Basuki-Djarot dalam kontestasi Pilkada Jakarta. Karena menyerukan politik di setiap masjid Jakarta adalah ancaman nyata bagi negeri yang damai ini. Di sisi lain, politisasi masjid oleh tim Anies-Sandi mengancam persatuan dan kesatuan masyarakat Jakarta.

Jauh dari itu semua, kedekatan Anies dan PKS ini melahirkan kembali kelompok intoleran yang sangat berbahaya bagi perkembangan demokrasi di Tanah Air. Hal itu karena pemikiran maupun ideologinya bertentangan dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika. Kita tidak ingin keberagaman Jakarta yang damai dan tentram  menjadi rusak akibat isu SARA yang telah digerakkan secara masif oleh tim Anies dan Sandi.



@m. ari setiawan 


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment