Wednesday, April 12, 2017

Anies-Sandi dan Hukum Menjual Mimpi


DUNIA HAWA - Pagi itu cerah sempurna. Para santri tampak masih sangat bergairah. Ustaz Kalimi yang mengajar Fiqih alias Hukum Islam juga semangat sekali. Hari ini akan membahas Fikih Pernikahan alias Fiqh Munakahat, topik paling hot dan paling menggairahkan bagi para santri. Tapi sebelum memulai, dia bertanya dulu, adakah yang belum jelas dari topik minggu lalu?

Fanizu angkat tangan. “Definisi nikah dan rukun-rukunnya jelas sudah, Ustaz. Yang belum jelas adalah siapa yang kelak akan mendampingi hidupku ini!” Ruang kelas pecah terbahak. Fanizu memang santri paling lucu. 

“Bagi saya, fikih pernikahan ini hanya meninggalkan pengharapan palsu. Yang kini ingin saya tanya justru apa hukumnya menjual mimpi?”

Seisi kelas justru terbahak demi menyimak pertanyaan itu. Mereka terperangah akan keliaran imajinasi Fanizu. Tapi dia justru bingung. “Saya serius ini, Ustaz. Kemarin malam saya menyaksikan debat paslon Gubernur DKI. Mereka menjual mimpi-mimpi!” 

Ustaz Kalimi yang tadi selow pun mulai berdiri. “Apa yang kau maksud menjual mimpi? Basah, lembab, atau kering?” Geeer, seisi kelas kembali dibuat hidup.

“Itulah yang saya tak tahu, Ustaz. Makanya saya nanya,” lanjut Fanizu. “Kasih contoh dong!” seru beberapa santri di belakang. “Ya, kasih contoh supaya jelas pangkal soalnya,” anjur Ustaz Kalimi. “Misalnya gini, Staz,” Fanizu membenarkan duduknya. “Salah satu paslon menjual slogan ‘maju kotanya, bahagia warganya’.” Jawab Fanizu. 

“Namanya juga kampanye!” seru sebagian santri serentak. 

“Kalau maju kotanya sih saya masih bisa pahami. Tapi bahagia warganya itu kan abstrak betul. Kecuali saya dicarikan jodoh sekelas Dian Sastro,” lanjut Fanizu. Huuuu, sekelas terharu.

“Ini belum lagi soal perumahan. Mereka bilang akan menunjang pembelian rumah dengan DP nol persen. Entah nol persen entah nol rupiah sangat tidak jelas. Belum lagi gombal-gombal tidak akan menggusur atau menggeser dan janji-janji manis itu. Habis itu kalau ditanya gimana mewujudkan janji-janji muluk itu, mereka jawabnya pakai kemauan. Di mana ada kemauan di situ ada jalan. Coba. Itu kan nyebelin banget!” Fanizu tak lagi tampak lucu.

Ustaz Kalimi yang sedari tadi menyimak saja akhirnya angguk-angguk juga. Ini topik penting, batinnya. Tapi dia tak mau terjebak pertarungan politik Pilkada Jakarta. Apalagi sampai ikut mengkafir-kafirkan, memunafik-munafikkan, bahkan menelantarkan mayat hanya gegara pilihan politik pribadi atau keluarga. Setelah merenung sekejap, terbetiklah padanya ide.

“Baik. Sekarang kalian berselancar di dunia maya. Cari bab jual beli yang bermasalah. Namanya Bai al-Gharar. Hari ini kalian baca-baca saja. Minggu depan baru kita akan diskusikan apa yang sekarang kalian baca. Siap?” Seisi kelas hanya senyap dan terngangga. Sebagian menggerutu sembari menyesalkan pertanyaan Fanizu. “Ente sih, pakai nanya yang susah-susah. Kita jadi rempong nih!” Pongki, santri asal Jogja memukul bahu Fanizu.

“Baiklah, sekarang saya tinggal dulu, kalian membaca saja, minggu depan kita gelar diskusi!” Ustaz Kalimi berlalu meletakkan pecinya yang keramat di atas meja. Peci itu mengawasi para santri untuk tidak beranjak dari kelas dan atau membuat gaduh, sampai lonceng istirahat berbunyi.

Suasana kelas agak hening menjelang kehadiran Ustaz Kalimi. Semua sibuk membaca atau sekadar mencari contekan di kanan-kiri. Hari ini ulasannya tentang hukum menjual mimpi. Begitulah Fanizu dan kawan-kawan memberi topik pelajaran hari ini. “Banyak yang tidak terlalu paham tentang apa makna gharar dalam soal jual beli. Sekarang siapa yang bisa memberi definisi?” Ustaz Kalimi langsung tancap gas. Seisi kelas senyap.

Sampai kemudian Raffi tunjuk tangan. “Secara kebahasaan, ba’i berarti jual beli, Ustaz, sementara gharar berarti ketidakpastian (al-jahalah), risiko (al-khathar), atau malah penipuan (tadlis). Jadi ba’i al-gharar dapat diartikan sebagai jenis jual beli yang mengandung unsur ketidakpastian, risiko tertentu, atau malah unsur penipuan.” Singkatnya apa yang tampaknya menggiurkan pembeli walau hakikatnya mungkin menipu. Ma kana zahiruhu yughir al-musytari wa bathinu mastur.

“Menarik. Ada yang bisa menyebutkan contoh?” lanjut Ustaz Kalimi. “Yang sering ane dengar adalah menjual burung yang sedang terbang di udara, atau menjual ikan yang lagi berenang di lautan, Ustad!” jawab Panji, santri asal Jakarta. 

“Memangnya ada yang mau beli dagangan kayak gitu?" selidik Ustaz Kalimi. 

“Tergantung teknik pemasaran kita aja, Ustaz!” lanjut Panji. “Kalau kita jago ngecap dan mampu memanipulasi minat pembeli, tentu ada saja orang yang tertarik.”

“Ada yang bisa menambahkan contoh lainnya?” lanjut Ustaz Kalimi. 

“Saya, Ustaz,” sahut Adib, santri Kudus. Menjual sesuatu dengan syarat dan ketentuan yang tidak transparan atau dengan font yang kecil banget, Ustaz. Itu sering terjadi di polis asuransi atau jenis-jenis investasi tipu-tipu. Atau sesuatu yang tidak kosisten. Misalnya jual rumah. Pertama bilangnya DP nol persen, lalu nol rupiah, lalu suruh kita nabung 6 bulan, lalu gak jelas maunya apa.”

“Iya, Ustaz. Katanya mau membantu perumahan kalangan miskin, makanya dijanjiin DP nol persen. Eh, ternyata harus punya penghasilan 7 juta sebulan. Mana ada orang miskin begitu! Maunya apa sih? Emosi saya ini, Ustaz,” Fanizu semangat menimpali Adib. “Itulah yang saya sebut menjual mimpi, Ustad. Haram itu hukumnya,” lanjutnya berapi-api. 

“Tunggu dulu,” sahut Ustaz Kalimi. “Hukumnya nanti kita bicarakan. Sekarang kita diskusi saja dulu.”

“Saya punya pandangan begini, Ustaz,” Azhar, santri Mampang angkat bicara. 

“Itu namanya ba’i muallaq. Menjual barang pakai syarat dan ketentuan macam-macam. Tergantung ini tergantung itulah. Misalnya saya janji akan kasih DP nol persen kalau ini dan kalau itu. Kalau undang-undang membenarkan. Kalau bank membolehkan. Kalau kita punya uang untuk nombokin. Kalau, kalau, dan kalau yang tidak berkesudahan. Ujung-ujungnya kita nggak tahu itu dagangan serius atau hanya mempermainkan harapan kita.” jabar Azhar rinci.

“Itu namanya PHP!” teriak seisi kelas. “Hukumnya bukan halal ataupun haram. Tapi jahat dan menyakitkan!” Ustaz Kalimi tidak kuat menahan tawa seiring dengan guyonan santri-santrinya. Tapi dia berusaha serius dan melanjutkan tanya: “Kalau begitu, apa hukum ba’i al-gharar yang barusan kita ulas tadi?” 

Serentak kelas menjawab: “Jahat dan menyakitkan, Ustaz!” Ustaz Kalimi kali ini justru tak bisa lagi tertawa. “Yang jahat dan menyakitkan adalah ini,” jawabnya sambil memukul-mukulkan rotan ke tapak tangannya.

Suasana kelas jadi hening dan tegang. Untunglah Fanizu segera mencairkan. “Menurut an-Nisa 29, itu termasuk cara-cara mencari nafkah dengan kebatilan, Ustaz. Dan menurut banyak hadis, itulah jenis perdagangan yang dilarang Rasulullah. Karena mengandung unsur pembohongan, bahkan permusuhan.” 

Ustaz Kalimi pun tampak senyum lagi. “Baiklah, sekarang bagaimana hukumnya menjual mimpi?” tanya Ustad Kalimi.

“Tergantung Ustaz. Apakah mimpinya basah, lembab, atau kering!” jawab Fanizu lagi. Ustaz Kalimi segera mendekatinya dengan rotan di tangan. Tapi Fanizu tidak kehabisan akal. Untuk menenangkan suasana, dia segera mengutip ungkapan seorang motivator yang sangat doyan bermain retorika dan membolak-balik kata.

“Mimpi tidaklah sama dengan impian. Kalau dia menjual mimpi, itu sama dengan menjual angan kosong. Itu penipuan yang batil. Tapi kalau dia menjual impian, itu malah bisa beroleh julukan motivator atau inspirator. Orang kayak ginilah yang lebih cocok menggantikan Bapak Mario Teguh.” demikian Fanizu menutup diskusi.

Ustaz Kalimi mengakhiri pelajaran sampai di situ. Kawan-kawan hari ini dibuat kagum oleh Fanizu. Mereka lalu bertanya, bagaimana mungkin Fanizu hari itu tampak pintar dan sangat mengerti persoalan. “Ane pernah jadi anak buah beliau, bro. Pernah kagum juga sih. Tapi sudah kenyang juga melihat kepalsuan.” tutup Fanizu. "Maksud lo," selidik Panji. Fanizu tak menjawab, hanya berlalu.

@novriantoni kahar


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment