Wednesday, August 17, 2016

Ketika Politisi Pimpin Doa di Gedung MPR RI


Dunia Hawa – Sehari ini saya tidak sempat menonton sidang tahunan DPR, MPR dan DPD. Namun malamnya ada beberapa teman di WA yang mengirimkan video doa di gedung DPR dengan materi dan cara yang menurut saya sangat tidak layak disebut doa. Saya menyebutnya adalah nyinyir kepada pemerintah melalui perantara Tuhan.

Berikut saya kutip kalimatnya:

“Jauhkan kami ya Allah dari pemimpin yang hianat yang hanya memberikan janji-janji palsu. Harapan-harapan kosong. Yang kekuasaannya bukan untuk memajukan dan melindungi rakyat ini. Tapi seakan-akan arogansi kekuasaan berhadap-hadapan dengan kebutuhan rakyat.”


“Di mana-mana rakyat digusur tanpa tau ke mana mereka harus pergi. Di mana-mana rakyat kehilangan pekerjaan. Allah, di negeri yang kaya ini rakyat ini outsourching wahai Allah. Tidak ada jaminan kehidupan mereka.”


“Ya Allah, kalai ada mereka yang ingin bertaubat, tapi kalau mereka tidak bertaubat dengan kesalahan yang dia perbuat, gantikan dia dengan pemimpin yang lebih baik di negeri ini ya Allah.”


Ya, cukup sekilas. Karena selebihnya adalah kalimat-kalimat keluhan yang sama.

Satu faktor yang membuat saya menyebut ini tidak layak disebut doa karena 80% materi yang diucapkan adalah keluhan, bukan doa atau permintaan.

Dalam islam, mengeluh kepada Tuhan itu dibolehkan. Berdoa sambil mengeluh atau sebaliknya juga ada yang membolehkan. Namun pada pemahaman yang lebih tinggi, saat berdoa kita sebenarnya sedang mempertaruhkan keimanan.

Saat berdoa sambil mengeluh atau sebaliknya, kadang kita terdengar tidak percaya dengan takdir dan kuasa Tuhan. Contohnya kita kerap meminta “tolong kabulkan yang ini dan itu.” Kita seakan tidak percaya dengan Tuhan dan maunya agar doa dikabulkan. Padahal yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Tuhan. Tak perlu tersindir, ini pengalaman pribadi.

Saat berdoa sendiri, kita sedang menyampaikan keluhan dan permintaan yang sifatnya pribadi. Berhubung ini hanya soal kamu dan Tuhan, maka bebas mengeluh dan berdoa yang baik-baik. Kamu bisa mengeluh tetangga yang suka pamer istri baru, kemudian berdoalah semoga juga dapat istri yang lebih baru. Kamu bisa mengeluhkan temanmu yang hutang tapi belum juga bayar, berbohong tidak punya uang, dan doa agar dia diberi kesadaran. Kamu juga bisa berdoa agar dijauhkan dari teman yang jahat dan sebagainya.

Yang namanya doa, sebaiknya diucapkan dengan lirih dan tidak mengeraskan suara, apalagi menggunakan toak masjid dan sejenisnya. Jelas tidak boleh jika mengeluh dan doanya atas nama pribadi.

Melihat sidang tahunan DPR MPR yang berdoa untuk kepentingan publik dan di hadapan rakyat Indonesia, saya mendengarnya (valid) bukan doa, tapi
mengeluh. Lebih buruk lagi, sifatnya sangat pribadi dengan persepsi yang dipaksakan.

Pemuka agama yang memimpin doa harusnya tidak menyelipkan keluhan, karena pasti akan bersifat pribadi. Pasti. Inilah kenapa di banyak kesempatan acara terbuka, pemimpin doa fokus pada meminta kebaikan kepada Tuhan.

Kalau di Singapore dan Malaysia, setiap shalat jumat biasanya ada doa semoga diberi keberkahan, rejeki dan kesehatan. Semoga negara ini tambah makmur damai sentosa. Dijaukan dari wabah penyakit, kemarau panjang dan bencana alam. Baru kemudian dilanjutkan dengan mendoakan raja dan pemimpin agar diberi kesehatan dan kekuatan. Amanah serta jujur dalam mengemban tugasnya.

Sepanjang saya hidup, ada banyak acara doa bersama yang saya ikuti. Entah itu acara formal dan nonformal. Dan semuanya bersifat meminta, bukan mengeluh. Coba diingat-ingat, apakah ada ustad atau kyai yang memimpin doa sambil mengeluh? Seharusnya tidak ada.

Kenapa mengeluh ini tidak layak diucapkan atas nama doa di hadapan umum? Karena berpotensi menyinggung dan pasti tidak mewakili semua orang. Contoh kasus di desamu sedang marak MLM, lalu saat shalat jumat ustad berdoa agar dijauhkan godaan MLM. Apakah etis? Terlepas saya sepakt MLM itu tidak baik, tapi kalau diucapkan di tempat umum jadi tidak tepat. Salah. Sebab itu soal penilaian dan persepsi. Lalu bagaimana jika salah satu jamaah merupakan member MLM bintang 5?

Kembali ke soal doa di gedung DPR, itu sudah tidak bisa lagi disebut doa. Dan tidak layak diucapkan di tempat umum, atas nama doa, karena salah menurut ajaran agama Islam. Karena materinya 80% mengeluh.

Seharusnya DPR memilih orang yang bisa berdoa dengan baik dan benar. Menunjuk kyai NU atau Muhammadiyah sebagai representasi ormas Islam di Indonesia. Sebab soal doa ini krusial dan bersinggugan langsung dengan sosial, budaya, agama dan Tuhan. Kalau kemudian yang dipilih adalah politisi Gerindra, jelas dia akan mengeluhkan pemerintah karena partainya memang oposisi. Apa karena KMP masih berkuasa di DPR, dan Gerindra sebagai pimpinan koalisi jadi harus menunjuk pemimpin doa dari Gerindra?

Pemimpin doa yang harusnya mendoakan hal baik untuk pemimpin negara dan menjauhkan dari hal buruk seperti bencana, malah kebalik. Dia malah mendoakan agar dijauhkan dari (hal buruk) pemimpin yang hianat dan janji kosong, lalu lupa soal doa bencana, kemarau panjang dan hal-hal yang sifatnya masalah bersama.

Silahkan diperhatikan, materi doa seperti tenaga kerja asing, penggusuran, arogan dan sebagainya itu merupakan materi bahasan dalam media online dan cetak tentang berita politik nasional. Ini mau doa apa mau baca berita?

Jadi jelas ya, pemimpin yang tidak paham cara memimpin hanya akan menempatkan orang-orang tidak berkompeten. Contohnya seperti Gerindra, pimpinan koalisi DPR, posisi pimpinan doa yang harusnya diisi oleh ustad atau kyai, malah diisi oleh politisi. Ini jadi mirip seperti kambing mau dibedakin untuk dijadikan calon Gubernur DKI, kambing kok mau dijadikan gubernur? Kambing kok disuruh doa? Eh maksudnya politisi kok disuruh pimpin doa?

Untung saja Gerindra tidak memimpin koalisi pemerintahan, bisa-bisa Inul Daratista ditunjuk sebagai Menteri ESDM karena memiliki kepakaran pengeboran.

Terakhir, saya titip pesan buat siapapun, kalau mau mengkritik tak perlu menjadikan Tuhan sebagai makelar. Berpendapatlah dengan jelas dan berani. Bukan bersembunyi di balik kalimat yang dianggap doa.




[Kompasiana]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment