Friday, June 17, 2016

Tersinggung Versi Islam


Dunia Hawa - Kau tersinggung saat Islam dikaitkan dengan terorisme, tapi kau tak pernah tersinggung ketika para teroris itu membawa nama Islam. Ada apa denganmu?

Sebuah situs yang mengaku islami memuat berita tentang latihan penanganan terorisme oleh Kepolisian. Latihan itu dinilai menyinggung umat Islam karena memakai adegan teroris yang berteriak “Allahu Akbar!” sebelum meledakkan bom di badannya. Lalu disimpulkan bahwa sang Kapolda harus bertobat karena telah menghina agama Islam. Yang menjadi pertanyaan, mengapa mereka harus tersinggung? Bukankah memang fakta bahwa banyak kasus bom di Indonesia dilakukan dengan membawa-bawa nama Allah? Pernahkah mereka menyatakan kemarahan dan ketersinggungannya pada para teroris yang membawa-bawa nama Allah dan Islam itu?

Penyimpulan secara serampangan oleh situs ‘islami’ tersebut serupa dengan kasus yang pernah menimpa koran ternama The Jakarta Post. Tahun lalu, koran Berbahasa Inggris itu dituntut dengan pidana pelecehan agama karena memuat kartun satir yang menyindir ISIS. Tuntutan itu agaknya membuat kita harus berpikir keras. Siapa yang sebetulnya melecehkan agama? ISIS yang menyembelih manusia sambil membawa bendera Allah, atau The Jakarta Post yang menyindir penyembelihan biadab tersebut? Kenyataannya, tidak satu pun simpatisan ISIS maupun para tersangka teroris berbasis kelompok fundamentalis Islam yang pernah dijerat dengan pasal pelecehan agama. Apakah perilaku mereka yang menebar teror sambil mengucap takbir itu bukan merupakan pelecehan?

Kasus-kasus di atas hanya lah contoh kecil dari masalah mental yang dihadapi sebagian umat Islam hari ini. Kita diam ketika agama kita dipakai untuk menebar teror dan kebencian. Kita pura-pura tak tahu ketika nama Allah digunakan untuk menganiaya dan membunuh sesama. Tapi mendadak kita tersinggung ketika ada yang menghubungkan Islam dengan terorisme. Ada apa dengan kita?

“Itu bukan Islam yang sebenarnya! Islam sejati itu mengajarkan perdamaian!”

Lalu mengapa kita diam saja? Ibarat sebuah keluarga yang memiliki anak yang gemar berbuat onar. Mengganggu tetangganya, merusak dan menebar ketakutan sambil membawa-bawa nama keluarga kita. Lalu mengapa harus tersinggung ketika para tetangga itu berbicara buruk tentang keluarga kita? Mengapa harus marah? Siapa yang sebenarnya lebih berhak untuk marah? Tidakkah kita berpikir untuk marah terlebih dahulu pada anak kita yang berbuat onar dan merusak citra keluarga itu?

Di abad 21 ini, Islam tampaknya menjadi agama besar dunia yang paling mudah tersinggung. Selembar kartun Nabi Muhammad di sebuah koran lokal di Eropa dapat membuat ribuan Muslim turun ke jalan berdemonstrasi, menyerukan boikot, sementara sebagian lain bertindak lebih jauh lagi dengan melakukan pembunuhan. Para pembunuh ini kemudian dielu-elukan sebagai pahlawan pembela Islam. Lalu orang-orang menyebut agama kita mengajarkan kekerasan. Lalu lagi-lagi kita membalasnya dengan mengancam membunuh siapa pun yang berani mengatakan Islam agama kekerasan. Ironis yang berlapis-lapis.

Namun pernahkah kita menemukan ribuan Muslim yang turun berdemonstrasi mengecam Bom Bali di jalanan Jakarta atau kota-kota besar lainnya? Atau Bom Solo, atau bom-bom lainnya yang diledakkan atas nama Tuhan kita, mencabik luka tak terperi yang belum sembuh juga hingga saat ini? Pernah kita berduyun-duyun ke jalan menyerukan pemberantasan terorisme yang mengatasnamakan agama kita? Kelompok-kelompok yang mengaku mewakili Islam justru lebih sibuk mempermasalahkan kepolisian yang aktif memburu para teroris berkedok agama. Padahal manakah yang lebih melecehkan agama ini, sepotong kartun atau kah terorisme yang merenggut banyak nyawa? Di mana logika kita?

Nabi Muhammad, suri teladan kita, telah memberi contoh mulia tentang mengelola rasa tersinggung. Pada saat berdakwah di Kota Thaif, Nabi Muhammad pernah mengalami penghinaan dan penganiayaan. Beliau dilempari batu hingga sekujur badannya terluka. Namun apa reaksi beliau? “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”

Itu lah doa agung yang diajarkan Nabi kita untuk orang-orang yang belum mengerti. Tidak ada hardikan atau makian kasar. Tidak ada ancaman membunuh atau menebar kebencian. Yang ada hanya sebait doa tulus dan usaha dakwah yang tak mengenal lelah. Maka berhenti lah mempermalukan Islam dan Nabi kita. Agama ini tidak akan pernah rusak karena hinaan dan serangan dari luar. Tapi ia akan membusuk karena ulah umatnya sendiri dari dalam. Jika nama Islam hari-hari ini berlumur dengan noda terorisme, tak perlu lah kita bersungut menuding dan menyalahkan orang lain. Jadikan ini bahan introspeksi. Berbuat lah sesuatu untuk membersihkan kembali namanya.

[islam reformis]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment