Tak Mampu Bersaing dengan Ahok, Haji Lulung Mau Ubah UUD 1945, dan Tuding Ahok Komunis
Dinia Hawa - Saya harus meralat artikel saya yang pernah saya tulis di Kompasiana,9 April 2016, yang berjudul: Haji Lulung Tidak Rasis,karena ternyata saya salah besar dalam menilainya.
Ternyata, ketika itu Lulung hanya mengenakan topeng demokrasinya untuk mengundang simpatik dan dukungan, tetapi, setelah dia sudah merasa terjepit, dan merasa tak mampu lagi bersaing dengan Ahok, topeng itu pun dibukanya, aslinya Lulung pun tampaklah.
Di artikel saya itu, saya sebut, meskipun Haji Lulung adalah “musuh bebuyutan” Ahok, dia tidak berkelakuan rasis (SARA), khususnya terhadap Ahok, itu terlihat dari pernyataan yang ia pernah tegaskan ketika meresmikan kelompok relawan “Suka Haji Lulung” yang akan mengusungnya sebagai calon gubernur DKI Jakarta di pilkada DKI 2017, pada Rabu, 30 Maret 2016, di Lapangan Rawa Buntu, Jakarta Selatan, Lulung secara khusus berpesan kepada para pendukungnya tidak menggunakan isu SARA ketika berhubungan dengan masyarakat untuk menggalang dukungan kepadanya.
"Demokrasi di Indonesia sudah selesai, apalagi persoalan agama. Saya sampaikan, ciptakan kerukunan umat beragama, jangan lagi ada isu SARA," pesan Lulung.
Momen lain, saat Lulung mengenakan topengnya itu adalah ketika dia menjadi nara sumber di acara “Negeri ½ Demokrasi”, di TV One, 19 Maret 2015. Di acara itu ada pernyataan Lulung, yang mengatakan:
“Saya sangat memahami demokrasi di Indonesia. Demokrasi itu sudah selesai, di Indonesia. Kita tidak ada lagi kulit putih, kulit kuning, kulit hitam, mata bulo, mata sipit, sudah tidak ada lagi. Kenapa? Karena setiap warga negara mempunyai hak yang sama di pemerintahan. ..”
Saat-saat itu Lulung merasa dengan mengenakan topeng demokrasinya dan berpura-pura menjadi orang bijak berwawasan kenegarawaan, bisa menaikkan elektabilitasnya, bisa menipu banyak orang supaya bersimpatik dan mendukungnya bisa menjadi gubernur DKI Jakarta.
Upayanya itu ternyata tak membuahkan hasil sama sekali. Misalnya, saat dia bersama tim relawannya “Suka Haji Lulung” menyambangi warga di Cilandak, Jakarta Selatan, Minggu (15/5/2016), ternyata, tidak ada warga di sana yang suka Haji Lulung, terbukti dari tidak banyak warga yang berminat mendatanginya, meskipun sudah dipanggil berkali-kali dengan pengeras suara.
Berbagai hasil survei pun selalu menghasilkan angka elektabilitas Lulung yang memprihatinkan.
Setelah usahanya itu ternyata gagal total, frustrasi bercampur depresi, ia pun melepaskan topengnya itu dan berhenti bermain sandiwara, aslinya Lulung pun diperlihatkannya. Bergabunglah Lulung dengan gerombolan BSH (Barisan Sakit Hati) gara-gara Ahok dengan semangat rasis (SARA)-nya yang membara.
Pada 25 Mei 2016, di suatu acara, saat menjadi salah satu pembicara, Lulung dengan berapi-api menyatakan ketidaksetujuannya terhadap ketentuan di dalam UUD 1945 yang memberi hak yang sama kepada semua WNI untuk menjadi presiden, gubernur, dan walikota/bupati.
Mula-mula Lulung menyatakan ketidaksetujuan terhadap UUD 1945 amandemen yang memberi hak yang sama kepada semua orang yang telah WNI sejak lahirnya untuk menjadi presiden, ia menghendaki agar amandemen tersebut dikembalikan ke naskah lama UUD 1945 yang hanya memberi hak kepada WNI asli sebagai presiden.
Rupanya, belum apa-apa Lulung sudah mengalami paranoid, ketakutan sendiri Ahok kelak akan memuncak menjadi presiden di Republik ini, sampai bertekad mengubah kembali UUD 1945 ke naskah lamanya.
Lulung lupa bahwa amandemen UUD 1945 tentang ketentuan dasar tersebut merupakan hasil perjuangan reformasi yangselaras dengan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan: Semua WNI punya kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Apakah gara-gara Ahok, Lulung juga mau mengamandemen Pasal ini?
Selain harus WNI sejak lahir, syarat utama lainnya untuk bisa menjadi presiden dan wakil presiden antara lain adalah: harus diusulkan oleh partai politik peserta pemilu, tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya, setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G 30 S/PKI. (Pasal 6 UUD 1945, Pasal 5 UU Nomor 42 Tahun 2008 Pemilu Presiden dan Wakil Presiden).
Jadi, tidak begitu gampangnya seseorang bisa menjadi presiden dengan “modal” hanya WNI sejak lahir, sebagaimana disebut Lulung itu.
Setelah itu, Lulung pun masuk ke inti pembicaraannya, yaitu menyerang Ahok dengan sentimen rasis dan melontarkan fitnahnya.
Kata dia, Ahok tidak pantas menjadi gubernur karena bukan termasuk dalam salah satu suku bangsa Indonesia (bukan pribumi, tapi Cina), dan Ahok adalah seorang “komunis gaya baru”.
Selengkapnya Lulung berkata:
“Hari ini ada gubernur datang dari langit.Nggakada suku bangsanya di sini, bisa jadi gubernur. Kemudian, patut kita evaluasi. Apakah dia melakukan gerakan komunis gaya baru? Iya, jawabannya. IYA! Kelakuan Ahok sudah melampui batas, dia memiskinkan orang miskin. Kemudian, siapapun sekarang, kalau kita mau kembali ke Undang-Undang Dasar, artinya kita harus mengevaluasi siapapun warga negara keturunan, mau jadi gubernur, mau jadi wali kota, mau jadi presiden, harus kita evaluasi. Apakah dia punya loyalitas, patriotisme, nasionalisme, apakah dia punya merah-putih di sini (sambil menunjukkan dadanya). Tanyain Ahok! Pasti diakagakpunya merah-putih!”
Pernyataannya Lulung yang menyebutkan Ahok datang dari langit, itu bisa jadi ada benarnya, karena yang datang dari langit itu biasanya adalah utusan Tuhan demi kebaikan umat-Nya.
Sebaliknya, yang datang dari iblis itu, biasanya orang yang suka mengfitnah orang, yang membenci orang hanya karena orang lain itu tidak seetnis, tidak seagama dengan dia, padahal mereka itu jelas-jelas juga ciptaan Tuhan.
Kita balik bertanya kepada Lulung, apakah orang-orang yang rasis (SARA), yang demi kepentingan politiknya dia suka mengfitnah orang lain, dia yang menyangkal persamaan hak dan kewajiban setiap WNI yang sudah diatur di UUD 1945, itu punya merah-putih di dadanya?
Nasionalisme, patriotisme, dan merah-putih di dada tidak tergantung dari etnis atau agama apa seorang WNI itu.
Apakah ada bukti Ahok telah memiskinkan rakyat miskin, padahal yang dilakukan adalah justru sebaliknya?
Apakah merelokasikan warga yang menempati tanah negara, di bantaran sungai, yang tinggal di rumah-rumah kumuh (bak kandang ayam), ke rusun-rusun yang bersih higinis, dengan berbagai fasilitas gratis, seperti sekolah gratis, rumah sakit gratis, dan transportasi bus gratis, itu memiskinkan rakyat miskin.
Sebaliknya, bagaimana dengan mereka yang justru memanfaatkan kemiskinan dan penderitaan rakyat demi kepentingan politik mereka semata, demi bisa menjadi gubernur, dengan membiarkan rakyat tetap berada dalam kondisi kemiskinannya itu, tetap tinggal di gubuk-gubuk kumuh mereka agar bisa berpura-pura membela dan memperjuangkan hak-hak mereka?
Padahal, jika itu bukan di wilayah DKI Jakarta, dan bukan demi pemilu gubernur DKI Jakarta, mana ada pernah suara dan kehadiran orang-orang seperti Lulung dan kawan-kawannya itu untuk rakyat miskin itu?
Saat menyampaikan orasinya itu, Lulung didampingi juga mantan Kepala Staf Kostrad Kivlan Zen di waktu Pangkostrad dijabat oleh Praboro Subianto (1998).
Kivlan Zen adalah salah satu tokoh utama yang mengampanyekan kehadiran komunis gaya baru yang harus dibasmi. Dia juga pernah mengaku tahu nasib 13 aktivis pro-reformasi 1998 yang sampai sekarang hilang itu, kata Kivlan, mereka semua sudah ditembak mati, dan dia tahu di mana mereka dikubur.
[daniel h.t / kompasioner]
No comments:
Post a Comment