Wednesday, June 22, 2016

Keadilan Sosial dalam Islam


Dunia Hawa - “Tidaklah beriman orang yang kenyang sementara tetangganya lapar sampai ke lambungnya.” (HR. Bukhari, At-Thabrani, Al-Hakim)

Salah satu cita-cita utama ajaran Islam sepanjang masa ialah menghapus kemiskinan di seluruh dunia. Semangat ini tertuang dalam konsep zakat yang didesain untuk mendistribusikan kekayaan hingga ke lapisan sosial terbawah (bottom of pyramid), yaitu para fakir miskin. Dengan mengambil 2,5 % dari akumulasi kekayaan pada lapisan sosial menengah atas, Islam mengajarkan bahwa ada tanggung jawab sosial yang harus dipikul bersama oleh masyarakat untuk menolong yang lemah di antara mereka. Sikap tidak peduli terhadap tanggung jawab ini merupakan bentuk kemaksiatan yang dibenci oleh agama.

Kepedulian terhadap kaum miskin tidak lantas berarti Islam melarang manusia untuk menjadi kaya. Islam bahkan mendorong umatnya untuk bertebaran di muka bumi mencari rezeki Tuhan dengan jalan apa pun selama halal dan tidak merusak. Namun Islam juga menghendaki agar kekayaan yang terkumpul tidak beredar di sekelompok kecil masyarakat saja. Dalam setiap pundi-pundi kekayaan, ada hak kaum miskin yang harus dikeluarkan demi menjaga kebutuhan dasar mereka. Keadilan sosial ini menguntungkan tidak hanya kaum miskin itu sendiri, tapi juga masyarakat secara keseluruhan. Dengan tercukupinya kebutuhan dasar, peluang terjadinya kriminalitas maupun kerusuhan sosial akan menurun. Hukuman terhadap kasus-kasus seperti pencurian dan perampokan pun dapat ditegakkan dengan rasa keadilan yang lebih baik.

Wujud tanggung jawab sosial tidak hanya diterapkan pada level individual, tapi juga pada level komunitas hingga lembaga negara. Para khalifah di masa awal telah memberikan teladan yang baik mengenai tanggung jawab ini dengan sejumlah kebijakan sosialis. Di antaranya ialah dana subsidi langsung serta jatah gandum bulanan untuk orang miskin, cacat, veteran perang yang sudah tua, dan para korban bencana. Para pejabat negara juga dituntut untuk hidup sederhana dan sensitif terhadap kesenjangan sosial di wilayah tanggung jawabnya. Khalifah Umar memberi contoh dengan berpakaian dan memiliki rumah sederhana. Ia juga rajin berkeliling di malam hari untuk melihat kondisi warganya secara langsung tanpa menunggu laporan dari bawahannya. Hingga dalam suatu kisah disebutkan Umar memanggul sendiri karung gandum untuk dibawa kepada warganya yang kelaparan di tengah malam.

Tuntutan untuk bersikap peduli pada sesama menjadi semakin besar pada kasus-kasus luar biasa seperti kelaparan, bencana, dan kemiskinan ekstrim. Umar pernah membatalkan hukuman bagi seorang pencuri yang kelaparan, sementara korban pencuriannya adalah tetangga sebelah rumahnya yang hidup bergelimang harta. Umar justru mengancam akan menghukum si orang kaya apabila tetangganya kedapatan mencuri lagi karena terlalu lapar. Dengan kata lain, jaminan sosial harus ditegakkan sebelum jaminan hukum diberikan.

Jaminan tersebut tentunya tidak diberikan cuma-cuma, apalagi diambil oleh para pemalas yang sebenarnya mampu bekerja. Islam tidak menghendaki adanya populasi pemalas. Mereka yang rajin beribadah sekalipun dituntut untuk tetap bekerja mencari penghasilan setidaknya bagi dirinya sendiri. Sementara jaminan utama diberikan pada mereka yang tak lagi mampu bekerja, sebagai manifestasi dari prinsip Maha Adil dan Maha Pengasih.

Dalam konteks negara modern saat ini, Islam sejatinya mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang menjamin kesejahteraan warga. Jaminan ini meliputi kebutuhan dasar seperti subsidi makanan bagi kelompok yang paling miskin serta asuransi kesehatan untuk seluruh warga negara. Masyarakat didorong untuk terus mengembangkan kekayaan dengan cara-cara yang benar dan berkelanjutan seraya memasang jaring pengaman untuk melindungi orang-orang yang kurang beruntung di dalamnya. Dengan demikian, cita-cita masyarakat yang harmonis dan berkeadilan insya Allah dapat terwujudkan.

[islam reformis]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment