Saturday, April 30, 2016

Tetangga Pancasila


Dunia Hawa - Salah satu yang saya suka dari Semarang, tempat saya "nongkrong" sejak awal 1990-an, adalah "iklim keagamaan" yang cukup toleran di kota lumpia ini. "Wong Semarang" sepertinya memang kurang suka "ribut-ribut" soal agama. Kalau ada yang ribut, "kesemarangannya" berarti diragukan. 

Sepertinya "wong Semarang" ini lebih cenderung "pragmatis" (bukan "idealis") dalam melakoni kehidupan. Beda dengan "kaum pragmatis", "kaum idealis" biasanya kurang bisa melihat lingkungan sekitar yang mempraktekkan sesuatu yang "berbeda dengan dirinya". Kalau tidak bisa dikelola dengan baik, watak "idealisme" ini bisa berpotensi menciptakan intoleransi dan bahkan kekerasan. Jadi idealisme itu bisa berdampak positif dan negatif. Dalam diri seseorang, ada potensi "pragmatisme" dan "idealisme" sekaligus. Ada yang sangat pragmatis luar-dalam, ada yang idealis luar-dalam, ada yang keluar idealis kedalam pragmatis, ada pula yang kedalam idealis keluar pragmatis. Ini hasil kontemplasi pribadi saja, belum tahu apa ada teorinya atau tidak.   

Tetanggaku di Semarang masuk kategori "idealis kedalam pragmatis keluar" ini. Mereka saya amati orang-orang yang idealis dalam memegang prinsip hidup dalam beragama, berideologi, berpartai, dlsb. Tetapi pada saat yang sama mereka juga sangat pragmatis dalam bersosialisai dan bertetangga. Meskipun mereka berbeda-beda dalam beragama, berpartai, berideologi, beraliran dan seterusnya, tetapi bisa kumpulan RT bareng, siskampling bareng, tahlilan bareng, jenguk orang sakit bareng, Agustusan bareng dlsb. Ini artinya, sebagai "mahluk individu", mereka idealis tetapi sebagai "mahluk sosial" mereka pragmatis. 

Seandainya para tetanggaku menerapkan idealisme kedalam dan keluar, tentu kehidupan akan macet alias "deadlock" karena mereka sangat warna-warni: ada "orang abangan" atau "Muslim KTP", ada yang Kristen, ada yang aktivis "Islam garis lurus", ada aktivis LDII, ada yang fanatik PKS, ada yang fans PDIP, ada pula yang seperti diriku terserah mau dibilang apa. Ada yang gak pernah berjilbab tapi ada pula yang berniqab / bercadar. Meskipun warna-warni, tetapi kami baik-baik saja dalam bermasyarakat, tidak pernah saling melecehkan, dan saling membantu satu sama lain. 

Inilah yang saya maksud dengan "tetangga Pancasila". Begitulah seharusnya kita dalam menjalin kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Silakan saja mau memeluk agama, partai, dan aliran apa saja tetapi harus ingat bahwa kita hidup dalam sebuah masyarakat yang majemuk, di planet bumi yang warna-warni. Karena itu toleransi menjadi penting untuk menjaga kerukunan umat dan keseimbangan kosmos ini. 

Jabal Dhahran, Arab Saudi.

[prof.sumanto al qurtuby]

Belajar Menghargai Perbedaan Keyakinan


Dua perempuan Irak membawa Al-Quran dan Al-Kitab di tanah kelahiran mereka.

Catatan dari Notre Dame

Dunia Hawa - Akhir semester musim semi di Universitas Notre Dame. Berarti, sudah dua setengah tahun saya mengajar di kampus yang indah ini. Menyenangkan. Humbling experience.

Bagi seorang dengan minat kajian lintas agama, tak ada kampus yang lebih tepat dan mengasyikkan selain Notre Dame. Di tempat ini saya belajar betapa bermaknanya sikap apresiatif terhadap keragaman yang ternyata memperkaya jati diri, bukan mengaburkannya.

Tata ruang kampus berarsitektur bangunan klasik sungguh mempesona. Daun-daun hijau musim semi dihiasi bunga yang merekah menambah kedamaian hati. Tapi, lebih dari segalanya ialah sambutan hangat kolega-kolega di Department of Theology dan Kroc Institute. Saya memang bekerja di dua unit itu, mengajar di departemen teologi dan mengkoordinasi proyek penelitian di Kroc.

Di kampus ini ada cukup banyak mahasiswa Muslim. Muslim Student Association (MSA) juga aktif menyelenggarakan kegiatan. Minggu lalu, saya lihat sejumlah mahasiswi Muslim berjilbab memperkenalkan kerudung di pintu masuk gedung tempat saya mengajar. Mereka menyebutnya “Hijab Day”. Acara itu dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa solidaritas bagaimana rasanya pakai jilbab. Dan banyak mahasiswi non-Muslim mencoba mengenakan kerudung.

Menariknya lagi, seorang mahasiswi Muslim berjilbab mau mencoba bagaimana rasanya tidak pakai jilbab. Dan, betul, hari itu dia menanggalkan jilbabnya ketika di kelas atau belanja. Seharian.

Sikap Apresiatif

Orang boleh menganggap apa yang dilakukan mahasiswa di Notre Dame itu urusan remeh-temeh. Saya menganggap kreativitas mereka cukup menggugah. Di waktu yang lain, mereka ajak teman-temannya di kampus berpuasa. Hal-hal “kecil” seperti itu kadang lebih bermakna ketimbang khutbah lantang di masjid atau gereja.

Kadang saya berpikir naif mengaitkan aksi membangun solidaritas di luar kelas itu dengan apa yang terjadi dalam diskusi-diskusi intens di kelas. Satu hal yang menjadi ciri mahasiswa di sini ialah critical thinking. Saya dulu sempat kaget saat masuk kelas pertama di University of California, Los Angeles (UCLA). Maklum, saya lulusan pesantren yang diajarkan ta‘lim muta‘allim untuk manut sama ustadz.

Waktu belajar di Pakistan pun suasananya kurang lebih sama karena menekankan baca buku diktat. Apalagi kalau dosennya berasal dari negara Arab. Hampir tak ada ruang untuk mempertanyakan. Hari pertama di UCLA, saya kaget lihat mahasiswa beradu argumen dengan dosen senior, dan memanggil sang profesor dengan nama.

Di Universitas Chicago, suasana kritis lebih terasa lagi. Kalau ada dosen baru masuk kelas menyapa “How are you?” dia akan diserbu dengan pertanyaan, “What do you mean by ‘how’ or ‘you’?” Maksudku, tak ada yang tak mereka pertanyakan.

Makanya, ketika mulai mengajar di Notre Dame, saya sudah siap dengan critical thinking, dan sangat menikmatinya. Diskusi di kelas sangat aktif dan kompetitif. Mereka berebut untuk bertanya atau mempertanyakan. Sebagian mengajukan argumen tandingan. Di kelas “Islam and Christian-Muslim Relations” yang saya ajar semester ini, bercampur mahasiswa S1, S2, dan S3. Tak ada gap di antara mereka. Tingkat partisipasi dan engagement mereka setara, dan sering beradu argumen satu sama lain.

Tapi kalau sudah menyangkut pandangan mereka tentang agama lain, yang mereka kedepankan ialah sikap apresiatif. Mereka mencoba memahami “yang lain” dari perspektif “insider”, baru kemudian mengeksplorasi berbagai kemungkinan yang beragam.

Di Notre Dame, sekitar 80% mahasiswa beragama Katolik. Kalau Anda tanya mereka, apakah Muslim akan masuk neraka? Saya jamin, sangat jarang yang meng-iya-kan. Ini bertolak belakang dengan sikap siswa dan mahasiswa di tanah air. Beberapa penelitian menunjukkan, tingkat radikalisasi agama di kalangan kaum muda sangat mengkhawatirkan. Jangankan soal sikap mereka terhadap “nasib” penganut agama lain. Kerap ditemukan siswa (dan juga guru) yang bahkan menolak hormat bendera saat upacara karena dianggap syirik.

Apa yang saya lihat di kelas sebenarnya mencerminkan spektrum yang lebih luas. Tanpa bermaksud mengeneralisir, modernitas di Barat telah menjadikan toleransi sebagai virtue. Baik-buruk diukur seberapa toleran kita pada “yang lain.” Paham dan keyakinan berbeda harus dihargai dan ditoleransi.

Michael Cook, Profesor di Princeton, melukiskan situasi masyarakat Barat begini: “It would be considered ill-mannered and parochial to refer to the religious views of others as false and one’s own as true; for those fully educated into the elite culture of Western society, the very notion of absolute truth in matters of religion sounds hopelessly out of date.”

Beban Masa Lalu
Bagaimana mereka bisa sampai pada sikap apresiatif dan toleransi seperti itu? Pertanyaan ini mengusik pikiran saya sejak lama. Lebih-lebih setelah saya bergabung dengan Notre Dame.

Saya dosen Muslim pertama yang mengajar di departemen teologi di salah satu kampus Katolik terbaik ini. Ada beberapa dosen Muslim di departemen lain, tapi tidak di teologi yang menjadi “jantung” universitas Katolik. Jadi, ini perkembangan menarik, bahwa departemen teologi merekruit dosen Muslim untuk mengajar Islam dan juga teologi Kristen.

Kebetulan semester depan, saya berencana mengajar “Islam and Christian Theology” yang merupakan mata kuliah wajib bagi seluruh mahasiswa Notre Dame. Walau baru akan dimulai akhir Agustus, kelas itu sudah penuh dan beberapa mahasiswa complain karena tidak dapat lagi mendaftar.

Yang paling mengesankan ialah sambutan hangat kolega-kolega dosen di departemen, yang umumnya sarjana-sarjana Katolik dengan nama besar di bidangnya. Salah satu pencetus teologi pembebasan, Gustavo Gutiérrez, berada di sini. Saya tak bermaksud menyebut mereka satu per satu. Sungguh suatu kehormatan bergelut dengan kesarjanaan serius bersama mereka.

Waktu di Chicago, saya pernah ambil mata kuliah Gabriel Reynolds. Sekarang kami berdua mengampu satu mata kuliah bersama. Mereka bukan saja sarjana-sarjana yang dihormati di bidangnya, tapi juga teman yang sangat baik.

Bagaimana mereka bersikap begitu baik, menyambut hangat dan memperlakukan keyakinanku dengan penuh penghormatan?

Kalau kita menoleh ke belakang, sikap Gereja terhadap Islam jauh berbeda dari yang kita lihat sekarang. Memang, tidak mengenakkan bicara pandangan Kristen terhadap Islam di masa lalu. Tapi mengetahui itu akan membantu kita mengapresiasi kerja-kerja teologis yang dilakukan pemuka agama ini dalam beberapa abad terakhir, yang berkulminasi pada Konsili Vatikan II, tahun 1962-1965.

Dua dokumen historik yang dihasilkan Vatikan II, Lumen Gentium dan Nostra Aetate, mengubah cara-pandang Kristen dari semula melihat Islam sebagai sekte sempalan menjadi agama yang diapresiasi sepenuhnya.

Untuk memahami posisi Gereja sebelum Vatikan II, perlu diberikan konteks dahulu. Biar mudah memahami situasi Kristen, coba renungkan: kenapa begitu sulit bagi kaum Muslim menerima kehadiran Ahmadiyah, yang memandang Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi? Jawaban ialah karena kaum Muslim meyakini tidak ada nabi setelah Muhammad.

Umat Kristiani juga meyakini tak ada wahyu setelah Yesus karena dialah wahyu yang sempurna sebagai inkarnasi Tuhan. Baca, misalnya, Kitab Ibrani 1:1-2 dalam Perjanjian Baru. Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalui berbagai cara, tapi di akhir masa berkulminasi dengan Yesus.

Dari situ kita bisa mengerti kenapa Kristen sulit menerima klaim Nabi Muhammad menerima wahyu dari Tuhan. Jauh sebelum Islam datang, pada abad ke-2 sudah dirumuskan doktrin “Seseorang hanya dapat masuk kerajaan Tuhan apabila menerima Yesus.” Abad berikutnya, Gereja menyepakati “extra Ecclesiam nulla salus” (tidak ada keselamatan di luar Gereja).

Maka, “wahyu” yang diklaim Muhammad tak mungkin bersumber dari Tuhan, tapi setan. Ini bisa dibaca dari risalah seorang Kristen, Abdul Masih bin Ishaq al-Kindi. Kendati kemungkinan al-Kindi ini figur fiktif, pandangan itu menggambarkan sikap Kristen di zamannya.

Sebelum al-Kindi, Yuhanna al-Dimasqi (John of Damascus) menyebut Islam sebagai “Christian heresy.” Abbot Hugh, pemuka Kristen berpengaruh akhir abad ke-11, menulis surat kepada Khalifah Muqtadir Billah mengaitkan Islam dengan tipuan setan. Dan begitu seterusnya.

Sungguh suatu lompatan penting ketika Konsili Vatikan II memposisikan Islam tak lagi sebagai “heresy” tapi agama, seperti halnya Kristen, yang mengimani Tuhannya Ibrahim. Sikap Gereja terkait hambatan masa lalu, seperti termaktub dalam Nostra Aetate, ialah “mari lupakan masa lalu dan bekerja sama untuk mewujudkan keadilan sosial, perdamaian, dan kebebasan.”

Perubahan sikap tersebut hanya dimungkinkan melalui refleksi teologis yang mendalam. Kaum Muslim perlu belajar berendah hati merefleksikan sikap teologis mereka terhadap yang lain, termasuk Kristen.

Semestinya Islam lebih mudah mengapresiasi dan menjalin hubungan baik dengan Kristen karena al-Quran sendiri mengakui Kitab Suci mereka bersumber dari Ilahi. Isa dan Maryam ditempatkan pada posisi sangat spesial. Walaupun terdapat perbedaan, pijakan teologis untuk membangun kehidupan harnomis tidak seberat yang dihadapi kaum Kristiani.

Tapi, kenapa pandangan kaum Muslim tak banyak beranjak? Barangkali yang hilang dari diri kita ialah sikap rendah hati. Yang ditonjolkan justeru arogansi keagamaan. Merasa paling benar sendiri. Refleksi teologis harus dilakukan dengan kerendah-hatian memperlakukan komunitas agama lain sebagai sesama hamba Tuhan, yang secara inheren dianugerahi kemuliaan.

Itulah secuil yang saya rasakan di Notre Dame. Suasana intelektual yang menantang dan pergaulan kolegial yang hangat sungguh terasa humbling experience.

[mun'im sirry/ geotimes.co.id]

Mun'im Sirry

Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA. Dua karyanya berjudul "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015) dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014)

Friday, April 29, 2016

Memahami Kebangkitan Salafisme Jihadis

  
Terdakwa aksi terorisme di Poso, Fajriansyah alias Rian alias Mansur, diambil sumpah sebelum memberikan kesaksian dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jakarta, Rabu (30/3). ANTARA FOTO/Yossy Widya/aww/16.

Dunia Hawa - Aksi terorisme global semakin tak terelakkan dalam tiga dekade terakhir. Akhir Maret lalu, misalnya, ledakan bom bunuh diri terjadi di Taman Iqbal, Lahore, yang menewaskan 72 jiwa dan 340 orang luka-luka. Kejadian yang sama sebelumnya juga terjadi di Prancis (150 orang tewas dan lebih dari 350 orang cedera), dan Brussel (36 tewas dan sekitar 300 warga luka-luka).

Sementara di Indonesia, meski Bom Sarinah tidak menimbulkan banyak korban jiwa, “kemunculan kembali” aksi teror pada awal 2015 itu cukup mengusik ketenangan publik.

Sejumlah pemerhati gerakan radikalisme global berpandangan berbagai aksi terorisme yang bermunculan akhir-akhir ini merupakan bagian dari “strategi baru” organisasi teroris Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) menyasar negeri-negeri Eropa dan sejumlah negara yang memiliki hubungan kuat dengan Amerika Serikat (AS) dalam hal pemberantasan terorisme, tak terkecuali Indonesia.

Penilaian tersebut tidak dapat disalahkan, terlebih para “pejuang” ISIS yang semula berasal dari sejumlah negara di Eropa telah berpulang, juga karena posisi ISIS yang semakin terpojok oleh serangan militer koalisi pemerintah.

Akan tetapi, fenomena tersebut patut dianalisa lebih mendalam dan kritis, bahwa kecenderungan yang lebih umum dari maraknya tragedi terorisme pada dekade kedua abad ke-21 ini sebagai kebangkitan ideologi salafisme jihadis. Hal itu bukan hanya dapat ditandai dengan pengakuan ISIS yang selalu mengklaim setiap “tragedi kemanusiaan” (aksi bom bunuh diri, penembakan secara brutal dan peledakan pesawat) di sejumlah negara, melainkan juga dapat diamati dari peningkatan serangan teroris dan pejuang “jihad” dari sisi kuantitas, kemunculan banyak kelompok teroris baru, usia teroris yang semakin muda, serta semakin meluasnya negara yang menjadi target serangan.

Kebangkitan ideologi salafisme jihadis itu salah satunya dapat diamati dari hasil laporan penelitian yang diterbitkan Departemen Pertahanan AS yang diterbitkan RAND Corporation yang bertajuk “A Persistent Threat: The Evolution of al-Qaidah and Other Salafi Jihadist” pada 2014. Riset itu menyebutkan, terdapat peningkatan jumlah kelompok teroris yang sangat signifikan antara tahun 2010 hingga 2013, jumlahnya mencapai 49 dari 31 kelompok.

Sementara dari sisi jumlah “pejuang jihad” meningkat dua kali lipat menjadi 100 ribu “jihadis”, serta jumlah serangan yang terafiliasi dengan Al-Qaidah naik tiga kali lipat menjadi sekitar 1.000 serangan dari yang sebelumnya hanya 392 serangan.

Kemudian, apa yang sesungguhnya melatarbelakangi menguatnya ideologi salafisme jihadis tersebut secara global? Menurut saya, problematika itu dapat ditemukan titik permasalahannya paling tidak dari dua hal.

Pertama, perang saudara yang berkecamuk di beberapa negara di Timur Tengah menjadi pemicunya. Dimulai dari meletusnya Revolusi Melati di Tunisia (2011), lalu berangsur parah karena merembet ke Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah. Ribuan nyawa menjadi korbannya, bahkan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim ini belum dapat dipastikan masa depannya.

Ironisnya, kekacauan di Suriah, Irak, Yaman, atau Libya bertambah buruk karena melibatkan sektarian keagamaan, koalisi AS, serta pemberontakan paramiliter. Tak pelak, bila situasi ini berpengaruh besar terhadap pembentukan radikalisasi. Dari radikal secara pemikiran menjadi radikal dalam gerakan.

Kedua, transformasi strategi propaganda kelompok teroris yang memanfaatkan jaringan virtual berkontribusi besar terhadap bangkitnya ideologi salafisme jihadis. Dengan cara ini, kelompok teroris berhasil menjaring anak-anak muda menjadi “jihadis-jihadis” baru, yang berani mengorbankan diri dengan jaminan surga.

Untuk menekan gerakan terorisme global, Departemen AS dalam laporannya tersebut, mengatakan bukanlah perkara yang gampang. Hal ini disebabkan karena genealogi dan gerakannya telah tumbuh sejak lama, jadi sangatlah sulit untuk mencabut keseluruhan akarnya.

Selain karena ketiadaan tafsir jihad yang tunggal (Esposito, Islam and Political Violance: 2015), problem terorisme sangat berkait erat dengan “perasaan” ketidakadilan ekonomi dan politik yang dirasakan sebagian warga Muslim.

Meski sangat sulit memberantas terorisme sampai ke “akar-akarnya”, pesimisme tidak boleh terus disemaikan. Berbagai cara perlu diupayakan dalam rangka memoderasi pemikiran keagamaan masyarakat. Kekacauan di sejumlah negara di Timur Tengah, atau aski terorisme yang terjadi di Pakistan secara berulang-ulang, Indonesia jangan sampai bernasib sama.

Kegagalan Pakistan dalam mengupayakan kehidupan publik yang damai, tenang, dan terbebas dari tindak kekerasan dilatarbelakangi oleh merebaknya infiltrasi doktrin-doktrin “jihadis” yang menyusup di sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan (madrasah) (Tahir Mehmood Buut, Social and Political Role of Madrasaa, 2012).

Karena itu, lembaga pendidikan sebagai basis transformasi keilmuan yang mencerahkan, jangan sampai memutus masa depan generasi bangsa akibat doktrin-doktrin pemahaman radikal yang menyusup ke dalam. Sebab, jika tidak, ke-Indonesia-an kita akan terancam sama seperti yang terjadi di Pakistan akibat kemunculan kelompok-kelompok teroris baru, yang bersekutu dengan ISIS, bahkan Al-Qaidah di periode yang sebelumnya. Pada akhirnya, “jihadis-jihadis” baru dengan usia yang semakin belia akan bermunculan dan menjadi ancaman serius bagi sektor ketahanan dan keamanan nasional.

Selain itu, meski dianggap sebagai negara yang tergolong berhasil dalam memberantas tindak terorisme–sebagaimana dimuat di banyak media internasional—Indonesia harus tetap waspada karena tak ada kepastian kapan pergerakan mereka akan berakhir.

Mulai sekarang, ada baiknya bila pemerintah bersama sejumlah organisasi kemasyarakatan Islam terus mendorong cara beragama yang moderat dan menghindari pola eksklusivisme yang berujung pada kebencian, takfiri, dan penyesatan terhadap kelompok Islam yang lain.

[nafi muthohirin/ geotimes]

Nafi Muthohirin

Associate Peneliti di Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang dan Anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi PW Muhammadiyah Jawa Timur. Penulis buku "Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus" (2015)

Umat Kristen dan Non-Muslim di Uni Emirat Arab


Dunia Hawa - Uni Emirat Arab (UEA) adalah sebuah negara federasi gabungan dari tujuh "kerajaan federal" yang terletak di Jazirah Arab. Negara-kerajaan industri ini salah satu yang terkaya dan termaju di kawasan Arab Teluk sejak merdeka tahun 1966. Seperti negara-negara Arab Teluk pada umumnya, UEA juga penuh sesak dengan kaum migran yang membanjiri kawasan ini terutama sejak booming minyak tahun 1970-an, 1980-an, dan sejak usai Perang Teluk Irak-Kuwait. 

Tercatat dari sekitar 10 juta penduduk UEA, hanya 15% saja yang "penduduk lokal" atau "pribumi Arab Emirat", sisanya warga migran (ekspat) baik Arab non-Emirat maupun non-Arab, khususnya dari India, Bangladesh, Pakistan, Srilangka, Filipina, Thailand, dlsb. Banyaknya kaum migran di daerah ini berdampak pada terciptanya kemajemukan budaya dan agama. Tidak bisa dipungkiri, masing-masing warga migran ini kemudian membentuk "sub-kultur" yang mereka bawa dari negara mereka masing-masing sehingga menyebabkan UEA menjadi kawasan sangat kaya dan warna-warni: budayanya, agamanya, tradisinya, tata-busananya, bahasanya, makanannya, aktivitas ekonominya, dan sebagainya.  

Berbeda dengan Saudi atau Qatar misalnya yang cukup ketat dalam mengatur dan mengontrol perkembangan budaya dan agama yang dibawa oleh kaum ekspat, UEA sangat longgar dan terbuka dengan aneka ragam ekspresi budaya dan agama. Akibatnya, agama-agama non-Islam tumbuh pesat di negara ini. Tercatat ada sekitar 25% non-Muslim (umat Kristen 9%, sisanya Hindu, Budha, Baha'i, dan minoritas agama lain) di UEA. 

Pemimpin politik UEA juga sangat fleksibel dengan aneka perkembangan budaya dan agama warga migran ini bahkan mereka, sejak almarhum Presiden Zayed Bin Sulthan al-Nahyan hingga kini yang dipimpin oleh putranya, Khalifa Bin Zayed Al-Nahyan, mengfasilitasi aneka tempat ibadah kaum migran. 


Foto di atas ini hanyalah contoh kecil dimana Shaikh Mubarak Al-Nahyan (Menteri Kebudayaan dan Pengembangan Komunitas) didampingi oleh Kardinal Pietro Parolin (dari Vatikan) dan Uskup Paul Hinder (Vicar Apostolic of Southern Arabia) sedang menghadiri acara inagurasi pendirian Gereja Katolik Santo Paul di Dubai yang diharapkan mampu melayani sekitar 70-an ribu umat Katolik di kota ini. Di kawasan yang sering disebut "New York-nya Timur Tengah" ini juga berdiri megah Gereja Katedral St. Joseph. 

Dalam sambutannya, Shaikh Mubarak Al-Nahyan mengatakan bahwa "UEA sangat menghormati dan menghargai perkembangan dan perbedaan agama. Pembangunan gereja ini adalah sebagai bukti komitmen, penghargaan, dan penghormatan kami terhadap warga non-Muslim di UEA."

Jabal Dhahran, Arab Saudi

[sumanto al qurtuby]


Menolak Ahok dengan Kebingungan


Dunia Hawa - Orang-orang yang menolak Ahok sering mengeluh. “Kami berhak memilih pemimpin sesuai kriteria yang kami sukai. Jadi jangan halangi hak-hak kami,” kata mereka. Lho, emang siapa yang menghalangi hakmu? Orang-orang yang mendukung Ahok sebenarnya cuma bereaksi. Mereka mendukung, kalian menyerang dengan tuduhan tidak islami dan sejenisnya. Maka mereka bereaksi. Kalau kalian bersikap sama dengan yang kalian tuntut, masalahnya selesai. Kalian cari pemimpin sesuai kriteria yang kalian suka, para pendukung Ahok juga begitu. Nanti tinggal diuji di pilkada. Yang dapat suara banyak, dialah yang menang.

Tapi kenapa masih sewot terus? Mereka sebenarnya sedang bingung. Pokoknya jangan sampai Ahok jadi gubernur. Tapi siapa yang bisa lawan Ahok? Uh, ada Ridwan Kamil. Dia muslim dan populer. Kerjanya bagus. Tapi aduh celaka, dia ternyata tidak mau. Dia masih ingin kerja untuk Bandung. Ah, sialan benar. Padahal kalau Kamil mau, kita kan punya banyak stok muslim untuk menggantikan dia di Bandung.

Oh ya, ada Risma. Dijamin keren, deh. Tapi celakanya Risma juga tidak mau. Aduh biyuuuuuung. Jadi siapa doooooong?

Calon kuat sekarang tinggal Yusril. Kuat? Kuat apanya? Mereka sadar sendiri bahwa Yusril tidak punya modal. Akhirnya dia ambil formulir penjaringan calon dari PDIP. Hehehehe, itu formulir yang resmi ditolak Ahok, karena dia tidak mau didikte oleh PDIP maupun partai manapun. Tapi, kalau Yusril mau ambil formulir, apakah berarti ia bersedia didikte? Kemungkinan besar begitu.

Tapi ini kan PDIP? Partai yang selama ini dituduh sebagai musuh Islam? Ini juga partai yang selama ini digembar-gemborkan sebagai partai paling korup. Apa nggak malu kalau sekarang calon dari umat Islam mencari dukungan dari partai musuh Islam? Dan jangan lupa, ini partainya Jokowi. Yusril yang selama ini mengritik Jokowi, mencalonkan diri dari partai pengusung Jokowi? Jokowi selama ini diejek petugas partai, kalau Yusril apa dong?

Dengan segala manuver itu pun Yusril belum tentu dicalonkan oleh PDIP. Juga oleh Gerindra. Sementara itu partai-partai Islam tidak pernah menunjukkan tanda bahwa mereka tertarik pada Yusril. Siapa yang akan dicalonkan oleh partai-partai Islam? Mereka sama bingungnya dengan Yusril.

Semua orang anti-Ahok sedang bingung. Siapa yang bisa mengalahkan Ahok, itulah yang mereka cari. Sandiaga Uno? Hehehe. Ahmad Dhani? Ente mesti segera ukur suhu badan kalau berpikir mencalonkan Dhani. Kalau perlu periksa darah. Jangan-jangan ente lagi kena demam berdarah. Sanusi? Upst, sayang, pasien KPK tidak bisa dicalonkan.

Jadi kalau kaum anti-Ahok rada sensitif, maklumi aja. Mereka sedang galau. Bisa dipastikan bahwa mereka akan makin rajin mengumbar ayat. Biarkan saja.

[abdurakhman.com]

Garuda Penangkal 'Banjir Abadi' Jakarta


Berita Lawas dari Liputan6.com pada Tanggal 29 Des 2014 

Dunia Hawa - Hujan belum mau bergeser dari pesisir laut Teluk Jakarta, Muara Karang, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat petang 26 Desember 2014. Saat itu ada sekitar 20 orang yang sibuk mengisi tanggul dengan adukan semen.

Guyuran air dari langit membuat pekerjaan makin berat. Namun, mau tak mau, para mereka harus mengisi tanggul dengan adukan. Jangan sampai lapisan bawahnya terlanjur mengering, semen yang baru bakal sulit menyatu, bangunan pun akhirnya tak kokoh.

Para pekerja tengah mengerjakan secuil bagian proyek pembangunan Giant Sea Wall atau tanggul raksasa yang merupakan bagian dari program Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).

Pemancangan tiang baja pertama dilakukan di Muara Baru, Jakarta Utara pada Kamis 9 Oktober 2014. Tanggul ini untuk mencegah terjadinya banjir akibat naiknya air laut di Jakarta dan penurunan tanah. Diharapkan bisa menuntaskan 'banjir abadi' yang terjadi khususnya di wilayah utara Ibukota.

Di sisi atas tanggul yang telah selesai dibangun, seorang pria bertopi putih dan mengenakan sweater abu-abu, melihat jauh ke lepas pantai teluk Jakarta. Dia salah satu petugas dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang mengawasi jalannya pekerjaan tanggul, Ferdi.


"Ini mah belum apa-apanya. Ini baru awal sekali. Masih jauh buat melihat Garuda di lepas pantai. Makanya waktunya sampai 2030," kata Ferdi saat ditemui Liputan6.com di bawah guyuran hujan deras di pesisir Muara Karang, Penjaringan, Jakarta Utara sore itu.

Dia menerangkan, selama ini, yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta, hanya meninggikan tembok yang ada di pesisir Muara Karang atau tepat di RW 17 Penjaringan, dekat rumah pompa Waduk Pluit.

"Tahap A di sini kita perkuat tanggulnya, pinggirnya," ujar Ferdi. Menurut dia, saat ini tanggul dengan lebar 10 meter itu dan kedalaman sekitar 6 meter dari atas tanah itu baru selesai sepanjang 7 km dari. Dan total panjang tanggul di pesisir diperkirakan sekitar 32 km -- yang akan mengikuti lekuk ekor model burung Garuda di lepas pantai.

"Baru 7 km, ini sudah beruntung, sedikit lagi buat yang di sini tahap A.  Tahap A, 54 kilometer atau 34 kilometer, belum jelas. Dan 32 km yang masuk dalam tahap A itu, peruntukannya terutama dominan untuk  perlindungan pantai," beber Ferdi.


Pantauan Liputan6.com, tanggul yang tengah dikerjakan berbentuk letter L. Beton bulat dan adukan semen dari truk molen menjadi pondasi tanggul itu. Puluhan pekerja terlihat membuat belitan kawat-kawat besi untuk dijadikan rangka dari atas tanggul. Beberapa pekerja juga terlihat mondar-mandir untuk mengontrol kerja mesin truk molen.

Tanggul itu berada tepat di belakang rumah pompa waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Sementara sisi sebelah kiri tanggul terdapat kompleks di mana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tinggal. Untuk sisi yang sebelah kanan, merupakan area parkir kapal-kapal nelayan.


Ferdi mengatakan, pembuatan tanggul itu masih menemui beberapa kendala.  Di antaranya, dana yang diperlukan sebesar Rp 500 triliun atau separuh dari APBN.

Selain itu, banyak area pesisir pantai yang harus diperbaiki dan dibuat tanggul agar pemukiman di sekitarnya tidak kena limpasan air laut. Kesadaran warga yang menolak pindah dari pinggir pesisir juga menjadi salah satu kendala. "Waduk Pluit saja belum selesai warganya. Jadinya ya kita kerjakan dulu yang sudah bisa dikerjakan. Ini saja sebenarnya juga masih bersentuhan sama rumah warga," ujar Ferdi sambil menunjuk rumah warga yang hanya berjarak 3 meter dari proyek pembangunan tanggul.

Ia mengatakan, tanggul yang kini dibangun tersebut memiliki posisi paling dominan menentukan ketepatan waktu jadinya Giant Sea Wall pada 2030. Belum lagi pembangunan tanggul akan dilakukan di beberapa titik yang saat ini diketahui menjadi area tempat tinggal warga.

"Dalam 32 km tanggul masuk tahap A, ini peruntukannya dominan perlindungan pantai. Model Garuda itu untuk kemajuan ekonomi bangsa. Ini mikronya (tanggul di pinggir pantai). Kalau bentuk Garuda (di lepas pantai) itu makronya," jelas Ferdi.

"Di dalam tahap A pertama kita perkuat tanggulnya pinggirnya. Itu Muara Baru, Cakung Muara, Muara Angke dulu mesti diperkuat," tandas dia.


Hanya Fokus di Hilir

Dalam pembangunan yang hampir 2 bulan setelah peletakkan tiang pancang pada 9 Oktober, pemerintah melalui rapat koordinasi yang digelar Menteri Koordinator Perekonomian memutuskan, proyek Giant Sea Wall berbiaya Rp 500 triliun itu akan ditinjau ulang. Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, peninjauan ulang lantaran kajian proyek tersebut belum selesai sepenuhnya.

Keputusan itu mendapat dukungan dari Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Sebab, kajian proyek tersebut belum memiliki studi yang matang, walaupun dia pernah menyatakan, pembangunan tanggul raksasa harus  segera dilakukan untuk mencegah Jakarta tenggelam. 

Ahok mengatakan, studi tersebut yaitu menyangkut dari hulu sampai hilir seperti penanganan banjir di DKI Jakarta sebelum menggarap megaproyek tanggul berbentuk burung garuda raksasa itu.  "Ya itu memang harus dikaji ulang, mesti ada studinya itu," ujar Ahok kepada Liputan6.com.


Ahok khawatir, bila proyek tersebut tetap dilanjutkan tanpa kajian yang matang, proyek tersebut bisa bernasib sama seperti proyek-proyek besar pemerintah pusat lainnya yang terbengkalai.

"Ya karena memang belum dikaji, kalau dia nutup (proyek dihentikan) bagaimana? Kan yang rugi besar. pemerintah sendiri," kata dia.

Pria asal Bangka Belitung itu  menegaskan, untuk menyelesaikan permasalahan banjir tak bisa selesai dengan cara membangun tanggul di daerah hilir. Pembangunan waduk dan tanggul juga harus dilakukan di daerah hulu. 

Salah satunya, pembangunan Waduk Ciawi yang digagas Joko Widodo atau Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur DKI. Proyek tersebut hingga saat ini masih terkendala masalah pembebasan lahan. "Ini saja belum beres, makanya tahun depan pembebasan lahan lagi," ucap dia. 

‎Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Andi Baso Mappapoleonro juga mengatakan, proyek tanggul raksasa mesti dikaji ulang. Alasannya, konsep dan desain yang ada saat ini hanya terfokus di hilirnya saja.


Menurut dia, megaproyek yang dikenal Giant Sea Wall itu bakal menyelesaikan permasalahan banjir yang ada di Jakarta bila konsep dan kajiannya benar-benar dilakukan secara mendetail dan dengan perencanaan yang matang. 

"Sekarang konsepnya lebih banyak di hilir. Padahal penyebab banjir di Jakarta itu berasal dari hulu. Hulu ini belum disentuh secara detail," ujar Andi. 

Andi mengatakan, sebagai upaya membangun wilayah hulu, pembangunan Waduk Ciawi wajib dikerjakan dan tidak bisa lagi ditunda pengerjaannya. Lantaran, proyek tersebut merupakan bagian dari pembangunan proyek NCICD. 

Menurutnya, menambahkan proyek NCICD harus berfokus pada air limbah yang berasal dari hulu. Konsep yang ada saat ini hanya mengolah air limbah yang datang dari Jakarta. "Limbah dari Bogor, Bekasi, dan Depok juga harus diolah," kata dia.

Jakarta Terancam Tenggelam...
Sementara, Kepala Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta Sarwo Handayani mengatakan, walau diprediksi pengerjaannya akan molor karena peninjauan ulang megaproyek itu, pemerintah pusat harus segera memulai pengerjaan Giant Sea Wall sesegera mungkin. 

"Giant Sea Wall itu yang diprioritaskan dan yang disepakati itu tahap I, tahap I itu penguatan tanggul di bibir pantai, sepanjang 32 kilometer, itu di pantai yang ada, supaya menjamin Jakarta nggak kena rob dalam jangka pendek atau menengah," ujar Yani saat berbincang dengan Liputan6.com. 

"Kalau tahap I itu harus, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Nggak bisa ditawar-tawar lagi. Kalau nggak dikerjakan, Jakarta bisa banjir besar," tegas mantan Deputi Gubernur Bidang Tata ruang dan lingkungan hidup DKI Jakarta itu.


Pekerjaan tahap I yaitu pembangunan tanggul raksasa sepanjang 32 km garis pantai dan memperkuat tanggul tanggul sungai‎ yang bermuara di Teluk Jakarta. Dari 32 km total garis pantai, 8 km merupakan tanggung jawab pemerintah yang diperkirakan memakan dana Rp 3,2 triliun dan 24 km akan dikelola swasta.

Penguatan tanggul ini diperlukan karena adanya land subsidence (penurunan muka tanah) di Jakarta Utara yang terjadi dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan yaitu 7,5 cm per tahun. Jika hal ini tidak dilakukan diperkirakan Jakarta akan berada di‎ bawah permukaan laut pada 2030. 

Akibatnya pada waktu tersebut ke 13 sungai yang melewati Jakarta tidak dapat mengalirkan airnya lagi secara gravitasi ke Teluk Jakarta.

"Untuk sekarang kan sudah pengerjaan desainnya kan oleh Kementerian PU, kemudian disepakati dengan DKI untuk kita lakukan kelanjutannya," ucap Bu Yani. 


Dia menjelaskan, peninjauan ulang bukan pada perubahan skema pembangunan infrastruktur, namun peninjauan pembiayaan. Selain itu, peninjauan dilakukan pada pembangunan tahap II dan III. "Kalau yang tahap I itu harus, nggak bisa ditawar-tawar lagi. Nanti yang di tahap yang di laut bebas, itu yang masih harus disempurnakan," kata dia. 

Peninjauan ulang tersebut menurut Yani dilakukan lantaran kajian dan penelitian terhadap proyek tersebut belum lengkap dan dilakukan secara lebih detail. Karena itu, Yani mengatakan, pihaknya bersama Kementerian PU dan Perumahan Rakyat saat ini masih akan melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut. 

"Memang belum tuntas, belum final, kita akan lakukan dukungan-dukungan penelitian, studi,bagaimana perilaku laut yang sampai minus 20 meter, terus gimana subsidence-nya. Bagaimana kalau sudah ditanggul, bagaimana pemberlakuan orang melarang pengambilan air tanah dengan sudah datangnya air dari Jatiluhur, berarti kan nanti orang ambil air tanah berkurang, itu kita mesti lihat, berapa pengurangan subsidence yang berkurang," kata Yani.

Nasib Garuda yang Megah?

Dari Master Plan Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), ada 3 tahapan dalam proyek ini. Tahap pertama yakni pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall (GSW), tahap kedua adalah pengembangan kawasan seperti reklamasi, dan tahap ketiga adalah pengembangan jangka panjang di timur Teluk Jakarta.

Rancangan dasar Garuda yang megah ini berukuran 1.250 hektar dan menawarkan tempat tinggal untuk 650.000 orang dan tempat kerja untuk 350.000 orang.

Kemudian, lahan reklamasi tambahan dapat dikembangkan pada perairan dangkal di waduk raksasa ini jika kebutuhan untuk real estate diperlukan. Sebanyak 15 persen lahan Garuda ini dialokasikan untuk Kawasan Pusat Bisnis (CBD) baru dan 30% untuk perumahan sosial.

Lahan dengan total 23,7 juta m2 juga akan diwujudkan, 61% untuk perumahan, 35% untuk pertokoan dan kantor, dan 4% untuk industri.

Prioritas akan diberikan untuk penciptaan fasilitas yang berkelanjutan untuk masyarakat nelayan yang harus direlokasi dari garis pantai saat ini. Pelabuhan nelayan baru akan ditempatkan di ujung sayap Garuda yang dekat dengan daerah penangkapan ikan saat ini.

CBD baru ini akan mempunyai sambungan MRT ke pusat kota yang telah ada dengan panjang 11,2 kilometer.

Jalan bebas-hambatan Tangerang–Bekasi dengan panjang menyeluruh 43 kilometer dan 2 x 4 lajur akan membentangi Teluk Jakarta dan melewati Garuda. Di bawah CBD akan dibangun jalan bawah tanah dengan panjang 2 kilometer. Jalan bebas-hambatan ini akan melewati jalur- laut ke arah Tanjung Priok dengan jembatan berbentuk ikon yang megah dengan jarak-bebas 70 meter.


Dalam impresi 3D awal, secara jelas ditunjukkan potensi Garuda untuk menjadi penampilan wajah Jakarta. Jadi ikon baru. Daerah tengah yang berada pada perluasan pusat kota mempunyai kepadatan tertinggi dan gedung-gedung menjulang tinggi. Daerah tengah ini juga menjadi tempat ruang warga di jantung daerah kota baru ini.

Garuda  menempatkan jaringan hijau sebagai salah satu kriteria susunan ruang inti. Ruang-ruang hijau mencakupkan taman kota, taman blok, jalan raya, boulevard berbatas-perairan, hutan bakau dan rawa, cagar alam, dan jaringan jalanan kota.

Untuk menghasilkan pendapatan maksimum dan menggenjot minat para investor besar, pemerintah sangat disarankan untuk menjadikan Garuda megah ini sebagai tempat perkantoran pemerintah pusat dan merelokasi sebagian besar fungsi penting pemerintahan dan sipil ke tempat ini. Agar bisa tumbuh, CBD Garuda megah ini membutuhkan penyewa utama dan pemerintah dapat memainkan  peran penting untuk merangsang pertumbuhan di CBD baru ini. 

Dalam melakukan peran ini, lahan di daerah kota yang ditempati oleh fungsi-fungsi pemerintahan ini akan dijadikan sebagai tempat untuk melakukan pengembangan baru.


CBD ini membutuhkan infrastruktur. Rancangan ini akan melengkapkan dua jalan lingkar luar Jakarta di bagian utara dan akan dibuat lebih banyak koneksi lokal dengan daratan induk. Kereta api kecepatan tinggi akan menghubungkan CBD dengan bandara dan bagian-bagian Jawa lainnya. Jalur MRT akan menghubungkan CBD dengan pusat kota yang ada saat ini untuk memastikan keterkaitan.

Sementara, sayap Garuda megah ini akan mempunyai dua kawasan berbatas-perairan baru, satu sisi terbuka ke arah laut dan sisi lain terbuka menghadap laguna air tawar. Di sisi laut telah tercipta bentangan pantai panjang sementara pada sisi laguna tercipta dermaga, jetti, dan perkantoran berbatas-perairan, kompleks komersial, peristirahatan, dan perumahan. Menciptakan lingkungan perumahan yang memadai dan campuran antara tempat kerja dan tempat hunian di CBD adalah penting agar CBD dapat berfungsi.

Pada setiap sayap terdapat banyak blok perkotaan yang lebih kecil yang masing-masing dipisahkan oleh ruang penyangga hijau. Jalan utama yang melewati koridor hijau, dan pada bentangan terluar kedua sayap ini terdapat sejumlah taman dan tempat untuk pengembangan habitat.

Sisi timur Teluk Jakarta akan didominasi oleh kegiatan yang ada sekarang. Tanjung Priok akan mempunyai lebih banyak ruang untuk pengembangan lebih lanjutan tetap terhubung dengan laut. Hal yang baru adalah Jalan Bebas-Hambatan Tangerang – Bekasi yang menghubungkan Garuda megah ini dengan provinsi Jawa Barat yang mana memulihkan mata rantai yang hilang pada koneksi timur-barat Jawa.

Pertanyaannya, seperti apa hasil kaji ulang nantinya. Akankah Garuda Raksasa tetap mengepakkan sayapnya di Teluk Jakarta? (Mvi/Ein)

Lela Fitriyani, Blogger

Thursday, April 28, 2016

Menafsir Hasrat Politik Yusuf Mansur


Dunia Hawa - Umat Islam yang menolak kepemimpinan Ahok sebagai gubernur karena dia non-muslim masih belum kunjung menentukan siapa calon yang akan mereka usung. Yang paling aktif menyodorkan diri adalah Yusril Ihza Mahendra. Tapi seperti bisa dibaca secara kasat mata, belum ada satu pihak pun yang antusian mendukungnya. Khususnya dari kalangan partai Islam. Mengapa? Alasan pertama, Yusril dalam kalkulasi logis bukanlah tokoh yang cukup populer sehingga bisa menyaingi Ahok. Ahok hanya bisa dilawan oleh orang-orang yang setipe dengan dia, yaitu pekerja. Dulu sempat disebut-sebut 2 nama, yaitu Ridwan Kamil dan Risma. Namun sejauh ini keduanya menolak.

Alasan kedua, Yusril dalam rekam jejak politiknya bukanlah seorang perangkul. Sebaliknya, ia cenderung menjadi orang yang suka berkonflik. Jangankan terhadap partai lain, di dalam partainya sendiri pun ia banyak tidak disenangi. Tak heran bila perolehan suara partainya terus merosot hingga tak lagi bisa memenuhi batas minimal untuk duduk di parlemen.

Lantas siapa yang akan diajukan umat Islam? Beberapa hari ini muncul nama Yusuf Mansur ke bursa pencalonan. Ini jelas menegaskan bahwa umat Islam belum yakin dengan satu nama pun. Mereka belum yakin bahwa nama-nama yang ada saat ini akan punya potensi cukup kuat untuk mengalahkan Ahok. Di samping itu berbagai kelompok politik dalam tubuh umat Islam itu belum menemukan sebuah nama yang bisa memuaskan kebutuhan politik mereka, kecuali dalam hal “asal bukan Ahok”.

Lalu, bagaimana tanggapan Yusuf Mansur? Ia tidak memberi jawaban tegas. Tidak tegas menolak, juga tak tegas menerima. Ia berputar-putar pada basa-basi normatif, seperti “kalau diminta saya mau”, “kalau disuruh alim ulama”, juga “maju atau tidak itu kehendak Allah”.

Dari berbagai retorika yang dia sampaikan saya membacanya sebagai sikap “malu-malu tapi mau”. Di satu sisi Yusuf Mansur sadar betul popularitasnya sebagai ustaz, yang bisa jadi modal awal untuk meraup dukungan. Siapa sih yang tidak kenal dia di Jakarta? Tapi Yusuf Mansur sepertinya sadar juga bahwa popularitas itu tidak bermakna banyak dalam konteks pilkada, khususnya ketika harus berhadapan dengan Ahok.  Maka ia sekarang dalam posisi berhitung.

Apa yang dihitung Yusuf Mansur? Soal untung rugi maju ke pilkada. Pertama, ia sudah mapan sebagai ustaz. Apapun yang akan ia lakukan tidak boleh merusak kemapanan itu. Maju ke dunia politik, kemudian kalah, sedikit banyak akan menggetarkan kemapanan itu. Kedua, seperti diungkap di atas, soal keseriusan dukungan. Siapa sebenarnya yang serius mendukung Yusuf Mansur? Tidak jelas. Kalaupun ada yang mendukung itu hanya kelompok-kelompok yang bukan partai politik. Jadi, Yusuf Mansur mau saja maju, tapi siapa yang mau mencalonkan dia? Itu masalahnya.

Yusuf Mansur sadar sepertinya menyadari bahwa dalam konteks pilkada elektabilitasnya bahkan masih di bawah Yusril. Maka ia menyampaikan ungkapan,”Jangan mendewakan elektabilitas.” Pernyataan itu bisa dibaca secara terang sebagai “sadar diri” atau “kecewa” karena ia belum punya elektabilitas memadai. Dalam konteks politik real tidak mungkin orang bisa mengabaikan elektabilitas. Jadi itu jelas pernyataan absurd yang hanya bisa dimaknai sebagai kekecewaan tadi. Terlebih kemudian pernyataan itu diikuti dengan pernyataan “jalur sajadah”, tidak memakai jalur partai maupun independen. Pernyataan itu bermakna, di kedua jalur itu Yusuf Mansur belum memiliki modal politik yang memadai.

Pernyataan maupun gerakan politik yang dibuat Yusuf Mansur seperti bertemu Yusril adalah penguatan tanda bahwa umat Islam masih bingung soal siapa yang akan diajukan untuk melawan Ahok. Pada akhirnya pilkada DKI nantinya hanya akan berhenti pada persoalan “yang penting bukan Ahok”. Para penantang Ahok akan kehabisan energi untuk membangun dukungan serta kepercayaan diri. Mereka tidak akan punya waktu dan tenaga memadai untuk menyodorkan program.

[abdurakhman.com]

Menagih Janji Gubernur Jokowi


"Macet dan banjir lebih mudah diatasi jika saya jadi Presiden.."

Dunia Hawa - Maret 2014, saat itu Jokowi masih menjadi Gubernur tetapi sudah di gadang untuk menjadi Presiden. Hiruk pikuk-lah mereka yang tidak menyukainya dengan tudingan Jokowi tidak mau menyelesaikan tugasnya sebagai Gubernur.

Janji Jokowi untuk mengatasi macet di Jakarta sudah dilaksanakan. Ia membangun moda transportasi yg tidak bergantung hanya pada trans Jakarta, tetapi banyak lainnya spt MRT, Monorel dan Metro kapsul. 

Perencanaan itu sudah ia buat sejak ia menjadi Gubernur dan semakin mudah ia kerjakan ketika menjadi Presiden. Karena masalah macet di Jakarta bukan hanya karena warga Jakarta saja, tetapi juga Jabodetabek yang bekerja di Jakarta. Dan warga Bekasi dan Depok baru saja menikmati trans Jakarta dengan ongkos hanya 3.500 rupiah saja, kemanapun. Sedikit lebih mahal dari harga secangkir kopi di warkop kaki lima. 

Ia sudah menuntaskan janjinya dengan macet, dan sekarang ia menuntaskan janjinya untuk banjir.

Pengambil-alihan reklamasi oleh pusat adalah bagian dari pemenuhan janji Gubernur Jokowi. Reklamasi harus dilaksanakan, karena menurutnya pada 2030 seluruh Jakarta utara akan berada di bawah permukaan laut. Karena itu ia mengambil alih proyek reklamasi 17 pulai dan mengintegrasikannya dengan mega proyek Giant Sea Wall atau tanggul raksasa yang disebut juga dgn proyek Garuda.

Jokowi ingin menuntaskan masalah banjir dari akarnya langsung, bukan hanya sekedar tambal sulam yang satu saat tambal-nya akan lepas. Jadi pengambil-alihan reklamasi dari tangan Pemda ke Pemerintah pusat bukan karena menyelamatkan situasi Ahok yg terus di bully, tetapi ingin menuntaskan masalah sebenarnya yang ada yang sudah ia rencanakan sejak menjabat Gubernur DKI. 

Entah apa yang terjadi jika Jokowi tidak menjadi Presiden, tentu masalah macet dan banjir di Jakarta tidak akan pernah selesai karena dibiarkan sudah cukup lama. Yang pusing itu meng-integrasikannya dengan daerah2 sekitar karena 2 masalah besar Jakarta itu terkait langsung dengan mereka. 

Nah, untuk yang dulu nyinyir - mungkin sampai sekarang - coba review kembali nyinyiran kalian dan koneksikan dengan situasi sekarang, mungkin sudah dapat jawaban. Jokowi menuntaskan kerjanya yang ia rancang saat menjadi Gubernur ketika ia menjadi Presiden.

Mungkin pak Jokowi selalu ingat dengan pepatah bahwa janji itu adalah kutang. Kutang tidak pernah berjanji akan isinya, kecuali ia diberi semacam busa tambahan spy tampak lebih menarik bagi pemirsa. 
Kok jadi melenceng gini ya... Kurang kopi kayanya.... Kopi mana kopiii ?

[denny siregar]

Lela Fitriyani, Blogger

Kelompok Islam Radikal Serang NU Mati-Matian, NU Tetap Cool dan Keren


Dunia Hawa - Statement Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj yang mengatakan “ pemimpin yang adil meski itu non-Muslim tapi jujur, itu lebih baik daripada pemimpin Muslim tapi zalim” menjadi perdebatan, khususnya di masyarakat pengikut paham wahabi. 

Perdebatan karena perbedaan pandangan itu sejatinya merupakan hal yang biasa karena Indonesia yang menganut paham demokrasi membebaskan seluruh warga negara untuk berpendapat dan menyalurkan pikirannya. Namun yang patut disayangkan adalah bagaimana perbedaan pendapat itu menjadi senjata untuk menghujat hingga menjatuhkan citra diri  seseorang, apalagi bila perbedaan pendapat ini meluas hingga menyeret orang lainyang tak bersalah. 

Ya, perdebatan ini lama-kelamaan menjadi bias dan menyeret hal-hal berbau SARA. Sebuah contoh nyata dalam kasus ini Hary Tanoesoedibjo. Kunjungannya dijadikan bahan fitnah oleh kaum radikal. Padahal kunjungannya tak lain untuk bersilaturahmi dan memberikan kuliah umum serta berbagi pengalaman kepada anak-anak santri disana. 

Apa salah HT? yang niatnya bersilaturahmi, memberikan semangat dan ilmu pengetahuan bagi anak-anak Indonesia. Apa karena berbeda agama? Bukankah dalam Islam, seorang mukmin wajib menghargai tamunya tanpa membedakan siapa dia, termasuk agamannya? 

Aneh rasanya, setelah saya baca di internet komentar-komentar orang-orang Wahabi ini, terlalu diada-ada saja. Mereka mempermasalahkan hal terkecil seperti  pakaian yang dikenakan HT, peci di kepalanya sampai santri yang mencium tangan HT pun di jadikan masalah. Kenapa tidak pernah ada gelombang protes ketika Michelle Obama yang datang ke Istiqlal menggunakan hijab padahal dia jelas-jelas berbeda keyakinan dan ras dengan kita? 

Saya ingin mengajak untuk melihat dari sudut pandang lain. Mari kita stop su'dzon dan mulai ber huznudzan, bukankah dalam persidanganpun selalu diuatamakan praduga tidak bersalah? Islam adalah agama yang indah karena toleransinya. Saya rasa kedatangan HT dengan menggunakan peci beserta baju koko merupakan salah satu indikator bahwasannya HT memiliki toleransi seperti yang diajarkan Islam pada umatnya. Ia menghormati cara berpakaian yang ada di dalam pesantren dan menerapkannya pada diri sendiri. 

Peci dan koko menurut hemat saya merupakan pakaian yang paaaaling pas digunakan ketika mengunjungi pesantren daripada setelan jas, kemejadan berdasi. Tak ada yang salah dengan hal tersebut. Dilihat dari sejarahnya, peci digunakan oleh Bung Karno sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Bahkan salah satu versi baju koko menyebutkan bahwa baju koko merupakan hasil asimilasi budaya yang diserap oleh orang betawi dari baju sehari- hari warga Tionghoa, yakni baju Tuikhim. 

Sekali lagi saya mengajak pembaca untuk berbaik sangka, dilihat dari segi kebiasaan, budaya cium tangan pada orang yang lebih tua sudah menjadi budaya di Indonesia. Saya bukan orang yang paham betul tentang agama, namun sedikit saya membahas melalui pandangan agama. Islam mengenal sebuah kaidah yang berbunyi: Al-`Aadatu Muhakkamah”. Sebuah adat atau tradisi itu bisa dijadikan dasar hukum. 

Tapi ada satu hikmah yang saya ambil disini kaum radikal begitu berapi-api menjatuhkan NU. Tapi api tersebut tak dibalas dengan api, melainkan kesejukan khas NU. Saya yakin fitnah semacam ini tak akan mengecilkan NU maupun HT. Saya malah salut kepada NU yang tetap tenang, dan HT teruslah bangun anak-anak Indonesia.  Kalau yang radikal radikal biar kami yang atasi. Karena leih baik membangun negeri daripada fitnah saudara sendiri. 

[moscoy/ kompasioner]

Kasus Mirna: Secara Hukum, Jessica Bisa Bebas, Mengapa?


Dunia Hawa - Yang menjadi masalah sampai hari ini tak kunjung terjawab oleh Polda Metro Jaya adalah mengenai bukti apa yang dimiliki oleh penyidik Polda Metro Jaya sehingga menetapkan Jessica sebagai pelaku tunggal (Sampai sejauh ini). Terlebih lagi diketahui bahwa setelah penetapan Jessica sebagai tersangka pada tanggal 30 Januari lalu, Penyidik Polda Metro Jaya melakukan penggeledahan pada tanggal 3 Februari di rumah Jessica. Tentu penyidik yang melakukan penggeledahan itu melakukan identifikasi serta melengkapi alat bukti lainnya yang diduga memiliki hubungan dengan kematian Mirna. Dan perlu diketahui bahwa barang-barang yang disita dalam penggeledahan tersebut sama sekali tidak memiliki kaitannya dengan tewasnya Mirna.

Dari hasil penggeledehan pada tanggal 3 Februari lalu penyidik menyita gumpalan tisu, pengeras suara, komputer, laptop dan CPU, Kartu kredit, rekening bank. Ini adalah penggeledahan kedua setelah sebelumnya pada tanggal 12 Januari penggeledahan juga dilakukan di rumah Jessica. Dari semua barang-barang yang disita penyidik jika dikaitkan dengan alat bukti pasal 184 KUHAP adalah menjadi tidak berarti apa-apa secara hukum. Menjadi tidak berarti apa-apa secara hukum karena gumpalan tisu yang disita sama sekali tidak memiliki kaitan tewasnya Mirna.

Menjadi pertanyaan besarnya adalah kalau gumpalan tisu itu disita, apa yang mau dilap oleh Jessica? Jika penyidik berkeyakinan gumpalan tisu itu memiliki kaitan dengan kematian Mirna (Untuk mengelap celana) , maka pertanyaan selanjutnya adalah jika benar Jessica yang menuangkan sianida ke es kopi Mirna, lalu kemudian tersisa sianida di celananya, maka pertanyaan besarnya selanjutnya lagi adalah mengapa bagian paha Jessica, paha kiri maupun paha kanannya tidak menunjukan gelaja iritasi? Padahal sianida adalah zat kimia yang cepat reaksinya bahkan bisa membuat kulit iritasi jika terkena cairan mematikan tersebut.

Harusnya kalau penyidik ingin melakukan penyitaan yang disita adalah sampah yang ada di rumah Jessica. Dan pertanyaannya jika sampah bercampur tisu itu sudah dibuang ke tempat sampah, maka yang harus dilakukan oleh penyidik adalah mencari sampah tersebut ke tempat pembuangan sampah, karena ini lazim untuk mengungkap tabir gelap sebuah kasus. Tetapi yang anehnya mengapa penyidik tidak menyita atau mengindentifikasi sampah yang ada di rumah Jessica kalau sampah itu belum dibuang ke tempat sampah di sekitar rumah Jessica? Menjadi tanda tanya besar apa manfaat terbesar dari menyita gumpalan tisu tersebut? Tidak ada manfaatnya sama sekali secara hukum karena tisu ini tidak menjadi petunjuk apa-apa dalam kasus tewasnya Mirna.

Begitupun dengan penyitaan pengeras suara yang ikut disita oleh penyidik. Lha, apa hubungannya pengeras suara dengan kematian Mirna? Tidak ada petunjuk sama sekali , karena pengeras suara juga tidak bisa dijadikan sebagai petunjuk untuk mengungkap siapa pembunuh Mirna yang sebenarnya , karena tewasnya Mirna tidak ada sangkut-paunya sedikit pun dengan alat tersebut, apalagi dengan komputer dan CPU yang juga tidak bisa jadi petunjuk dalam kasus kematian Mirna yang tewas akibat menyeruput es kopi Vietnam di Olivier Cafe, Grand Indonesia pada akhir 2015 lalu. Yang harusnya disita oleh penyidik saat itu bukan gumpalan tisu, pengeras suara, komputer apalagi CPU tetapi yang harus disita oleh penyidik saat itu adalah baju yang dipakai Jessica saat bertemu dengan Mirna, juga meja yang menjadi saksi bisu tewasnya Mirna.

Kenapa baju yang dipakai saat bertemu dengan Mirna yang harus disita? Tentu baju yang dipakai Jessica saat bertemu dengan Mirna ada sidik jari Jessica. Polisi tidak bisa kalau terus berkutat pada celana yang dipakai Jessica saat bertemu Mirna, karena sampai sekarang yang dimiliki oleh polisi hanyalah baru sebatas asumsi yang belum sampai pada fakta. Polisi baru bisa menduga kalau celana itu dibuang karena robek akibat tajamnya senyawa yang terkandung dalam sianida, tetapi kalau celana itu bisa robek , pertanyaan besarnya adalah mengapa paha kanan dan kiri Jessica tidak mengalami iritasi. Aneh bin ajaib kalau celana bisa robek karena sianida tetapi kulit paha Jessica tidak mengalami gejala iritasi sama sekali. Itu artinya, Jessica besar kemungkinan akan bebas di pengadilan.

Selain itu penyidik yang saat itu mengamankan pembantu yang bekerja di rumah Jessica juga perlu digali lagi keterangannya karena ucapan pembantu Jessica yang menyebut bahwa ia diperintahkan Jessica untuk membuang celana itu tidaklah terbukti sampai saat ini yang justru mengundang tanda tanya besar mengapa baju yang dipakai Jessica saat bertemu dengan Mirna tidak disita? Polisi harusnya tidak langsung saja mempercayai pembantu Jessica yang menyebut diperintahkan Jessica membuang celana itu, karena ucapan pembantu Jessica inilah yang makin menujukan bahwa polisi tidak memiliki bukti kuat untuk menjerat Jessica dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang ancamannya adalaha hukuman mati.

Tidak ada bukti kuat sama sekali sampai hari ini. Ini terbukti dari keputusan Polda Metro Jaya yang hari ini kembali memperpanjang masa penahanan Jessica sampai 30 hari kedepan. Jika penyidik memiliki bukti kuat terkait apa yang disebutkan oleh pembantu Jessica tersebut maka berkas perkara kasus tewasnya Mirna dengan tersangka Jessica tidak akan bolak-balik penyidik-jaksa. Dua kali dikembalikannya berkas perkara kasus ini menunjukan bahwa sampai saat ini penyidik tidak bisa mengikuti petunjuk yang diberikan jaksa dalam menyusun berkas perkara terutama soal kelengkapan alat bukti. Terlebih lagi barang yang disita penyidik saat penggeledahan di rumah Jessica tidak memiliki kaitannya sama sekali dengan tewasnya Mirna, dan disitanya barang yang tidak memiliki kaitan dengan kematian Mirna inilah yang mengakibatkan jaksa mengembalikan berkas perkara kasus ini sampai dua kali.

Kesalahan terbesar yang dilakukan oleh penyidik adalah mengapa penyidik tidak memberi police line pada locus delicti dari kasus ini. Locus delictinya jelas terjadi di Olivier Cafe, Grand Indonesia. Pada saat itu seharusnya penyidik langsung memberi police line meja yang menjadi saksi bisu tewasnya Mirna tersebut. Tidak hanya itu saja yang harus dilakukan oleh penyidik saat itu adalah melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap barang-barang yang ada di cafe tersebut untuk kepentingan penyidikan, Bahkan bila perlu selama proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan penyidik Polda Metro Jaya, Olivier Cafe seharusnya dihentikan total operasionalnya karena ini bertujuan untuk memfokuskan penyelidikan dan penyidikan terkait tewasnya Mirna.

Karena tidak ditemukannya bukti pembelian sianida tersebut juga menjadi pertimbangan bagi jaksa untuk mengembalikan berkas perkara tersebut, karena yang dibuktikan dalam kasus pidana adalah pembuktian materill, jika bukti pembelian sianida saja tidak dapat ditemukan oleh polisi, lantas apa yang bisa membuktikan Jessica pelaku dalam kasus tewasnya Mirna. Sampai saat ini tidak ada bukti kuat selain bukti non fisik yang dimiliki oleh penyidik Polda Metro Jaya. Bukti non fisik yang dimaksud di sini adalah CCTV Olivier Cafe. Apakah cukup untuk proses pembuktian di pengadilan untuk menjerat Jessica dengan pasal 340 KUHP?

Sangat tidak cukup bahkan tidak berpengaruh apa-apa karena yang dibutuhkan pada saat pembuktian adalah adanya bukti fisik atau bukti langsung. Misalnya adanya saksi yang melihat kalau Jessica yang memasukan sianida. Tetapi kan sampai sekarang tidak ada satu saksi pun yang melihat Jessica memasukan sianida itu. Padahal saat terjadinya kasus ini, di cafe tersebut sedang ramai pengunjung. Pertanyaanya adalah bagaimana mungkin jika cafe itu ramai pengunjung tetapi tidak melihat gerak-gerik seseorang yang mencurigakan. Pasti pengunjung cafe akan mengamati Jessica dari meja masing-masing termasuk pelayan cafe. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya tidak ada satu saksi pun yang melihat Jessica memasukan racun sianida tersebut, termasuk pelayan cafe.

Nah lalu kemudian jika paper bag yang diletakkan Jessica diatas meja disebut sebagai salah satu cara Jessoica untuk menutupi aksinya, maka Jessica dianggap yang menaburi racun itu ke dalam gelas kopi Mirna? Tentu itu adalah pikiran konyol karena bisa kita saksikan hampir di mal-mal setiap ada barang belanjaan, mereka selalu meletakkannya diatas meja yang tak lain tujuannya adalah untuk menghindari barang itu dicuri pada saat pemilik barang itu lengah. Maka tak masuk akal kalau alasan paper bag dijadikan alasan Jessica menabur racun mematikan itu. Buktinya samoai sekarang pun penyidik tidak berhasil mengendus apotik mana, toko obat mana atau pabrik obat mana yang menjual sianida tersebut.

Tentu dari pembelian itu akan diperoleh bukti pembayaran dari pembelian sianida tersebut. Tetapi sampai sekarang itu tidak ditemukan polisi. Bahkan jeratan pasal 340 KUHP kepada Jessica di pengadilan akan sangat mudah sekali untuk dilepaskan dari Jessica karena sianida itu dijual dalam bentuk botol. Menjadi pertanyaanya adalah dimana botol sianida tersebut? Itu dulu yang harus ditemukan oleh penyidik. Selama bukti pembelian dan botol sianida tidak ditemukan maka kalaupun kasus ini sampai ke pengadilan hakim yang memimpin jakannya sidang akan tidak yakin semua bukti yang dikumpulkan oleh Polda Metro Jaya selama ini.

Mengapa tidak yakin dengan semua bukti yang sudah dikumpulkan penyidik tersebut? Jelas saja tidak dapat membuat hakim yakin karena sampai saat ini tidak ada bukti fisik atau bukti langsung yang menujukan kalau Jessica adalah pemilik racun mematikan itu. Tidak ada bukti langsung sampai sekarang. Karena jika penyidik berhasil menemukan bukti pembayaran sianida itu, atau mengetahui dimana sianida itu dibeli, apakah di apotik (Apotik mana, kota mana, kabupaten mana, dan provinsi mana), dan kalau itu dibeli di gudang obat (Gudang obat di kota mana, dan provinsi mana), maka hal tersebut akan membuat keyakinan hakim menjadi terbentuk dengan bukti tersebut, tanpa itu akan sia-sia saja. Maka hal tersebut akan membuat keyakinan hakim menjadi terbentuk dengan bukti tersebut, tanpa ditemukan bukti pembelian sianida dan botol sianida, itu hanya akan sia-sia saja.

Karena kalau ingin berbicara pasal 340 KUHP yang dijeratkan kepada Jessica , hal tersebut makin sia-sia karena tidak akan bisa dibuktikan perencanaannya sama sekali. Karena jika bukti pembelian sianida ditemukan maka akan diketahui pada tanggal berapa, bulan berapa sianida itu sudah dibeli dan diketahui pula siapa nama kasir yang jaga pada saat pembelian itu dilakukan.

Tetapi kan sampai sekarang penyidik hanya terus mengatakan sudah memiliki bukti yang kuat, jika bukti itu kuat, maka bukti yang harus ada didalamnya adalah bukti pembelian sianda dan botol sianida. Jika itu tidak ditemukan, 99% Jessica berpeluang bebas di pengadilan karena bukti yang ada tidak akan mampu menbuat hakim yakin kalau Jessica pelakunya. Tidak akan berhasil karena yang dibutuhkan hakim adalah bukti langsung bukan bukti tidak langsung (CCTV). Tetapi kalau sudah memiliki bukti yang kuat mengapa berkas sampai dikembalikan sampai dua kali? Berkas dikembalikan sampai dua kali karena jaksa tidak melihat adanya bukti kuat dalam berkas perkara tersebut, semua bukt yang tercantum diduga sebatas bukti non fisik (bukti tidak langsung) 

[ricky vinando/ kompasioner]

Wednesday, April 27, 2016

Singapura, Musuh Dalam Selimut


Dunia Hawa - Singapura adalah negara yang sangat familiar di telinga masyarakat Indonesia. Karena lokasi negara yang satu ini berbatasan langsung dengan Indonesia. 

Selain itu singapura juga menjadi destinasi wisata Masyarakat Indonesia, Tempat belanja, Berobat, dan tak kalah terkenalnya adalah Singapura surga para Koruptor. Banyak penjahat penjahat kerah putih dari Indonesia yang melarikan diri ke negeri bergambar singa tapi kelakuan kaya tikus got. Seharusnya singa itu ganas dan pemburu bukan seperti tikus got yang selalu sembunyi sembunyi. 

Negara singapura tidak mempunyai sumber daya alam maka bagi mereka Koruptor yang dilindungi adalah investasi.

Indonesia sebagai negara besar sudah terlalu lama membiarkan negara kecil ini menginjak - injak kedaulatan dan harga diri suatu bangsa. Mereka berani seperti itu karena merasa terbekingi atau menjadi sekutu amerika dan inggris. 

Singapura seperti Israel. Apabila Indonesia tidak sigap dalam propaganda singapura yang ingin mengatur indonesia maka indonesia bisa dikendalikan singapura.

Pengusaan zona terbang yang dimiliki singapura yang mencakup wilayah Indonesia adalah salah satu bukti bahwa singapura merendahkan kita. Seharusnya yang besar yang mengusai bukan si kecil yang mengatur. Indonesia setiap walau terbang di wilayah sendiri harus lapor ke otoritas penerbangan singapura. 

Membiarkan pesawat negara lain hilir mudik apalagi pesawat militer sudah menginjak injak harga diri bangsa.

Pengusaan secara ekonomi juga mulai di gunakan Singapura dalam mengatur indonesia. Bagaimana Indosat saat itu dibeli Temasek yang di Tukangi oleh singapura membuat luka yang paling dalam di hati ini. Bagaimana Bank - bank Singapura mulai mengepakkan sayap nya ke indonesia sedankan Bank kita dipersulit membuka cabang di Singapura serta Bagaimana arus barang melalui laut juga dikontrol penuh oleh pelabuhan singapura.

Yang jelas singapura juga mulai tidak nyaman dengan kondisi yang seperti itu ada ketakutan kalau sampai indonesia bangkit dari tidur panjangnya. Dan ketakutan singapura di antisipasi dengan penguatan anggaran militer. Bagaimana singapura gila - gila membeli peralatan tempur dari negara sekutunya amerika dan Inggris.

Saat ini Indonesia adalah idola baru didunia investasi bukan lagi singapura, Jokowi sekarang menyiapkan semua hal yg bisa menyaingi singapura, pelabuhan barang sei mangke di sumut akan membuat pelabuhan singapura bangkrut total, singapura tak akan menjadi tujuan utama bongkar muat kapal2 barang di selat malaka. 

Saat ekonomi negri ini bangkit maka akan diikuti kekuatan militer yg mumpuni. Dgn keadaan yg serba terbatas saja kita sudah menjadi negara dgn kekuatan militer terkuat di Asean dan No 12 di Dunia, bisa dibayangkan kalau sampai dana pengampunan pajak yg ditafsir senilai 4.000T di singapura belum lagi yg di swis, panama dll yg katanya mencapai 11.450T andai benar bisa dibawa kembali ke Indonesia mgkn akan membuat pertumbuhan ekonomi dalam negri mencapai 10% pertahun mengalahkan India dan Cina.

[Sanji Ono]