Saturday, April 30, 2016

Belajar Menghargai Perbedaan Keyakinan


Dua perempuan Irak membawa Al-Quran dan Al-Kitab di tanah kelahiran mereka.

Catatan dari Notre Dame

Dunia Hawa - Akhir semester musim semi di Universitas Notre Dame. Berarti, sudah dua setengah tahun saya mengajar di kampus yang indah ini. Menyenangkan. Humbling experience.

Bagi seorang dengan minat kajian lintas agama, tak ada kampus yang lebih tepat dan mengasyikkan selain Notre Dame. Di tempat ini saya belajar betapa bermaknanya sikap apresiatif terhadap keragaman yang ternyata memperkaya jati diri, bukan mengaburkannya.

Tata ruang kampus berarsitektur bangunan klasik sungguh mempesona. Daun-daun hijau musim semi dihiasi bunga yang merekah menambah kedamaian hati. Tapi, lebih dari segalanya ialah sambutan hangat kolega-kolega di Department of Theology dan Kroc Institute. Saya memang bekerja di dua unit itu, mengajar di departemen teologi dan mengkoordinasi proyek penelitian di Kroc.

Di kampus ini ada cukup banyak mahasiswa Muslim. Muslim Student Association (MSA) juga aktif menyelenggarakan kegiatan. Minggu lalu, saya lihat sejumlah mahasiswi Muslim berjilbab memperkenalkan kerudung di pintu masuk gedung tempat saya mengajar. Mereka menyebutnya “Hijab Day”. Acara itu dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa solidaritas bagaimana rasanya pakai jilbab. Dan banyak mahasiswi non-Muslim mencoba mengenakan kerudung.

Menariknya lagi, seorang mahasiswi Muslim berjilbab mau mencoba bagaimana rasanya tidak pakai jilbab. Dan, betul, hari itu dia menanggalkan jilbabnya ketika di kelas atau belanja. Seharian.

Sikap Apresiatif

Orang boleh menganggap apa yang dilakukan mahasiswa di Notre Dame itu urusan remeh-temeh. Saya menganggap kreativitas mereka cukup menggugah. Di waktu yang lain, mereka ajak teman-temannya di kampus berpuasa. Hal-hal “kecil” seperti itu kadang lebih bermakna ketimbang khutbah lantang di masjid atau gereja.

Kadang saya berpikir naif mengaitkan aksi membangun solidaritas di luar kelas itu dengan apa yang terjadi dalam diskusi-diskusi intens di kelas. Satu hal yang menjadi ciri mahasiswa di sini ialah critical thinking. Saya dulu sempat kaget saat masuk kelas pertama di University of California, Los Angeles (UCLA). Maklum, saya lulusan pesantren yang diajarkan ta‘lim muta‘allim untuk manut sama ustadz.

Waktu belajar di Pakistan pun suasananya kurang lebih sama karena menekankan baca buku diktat. Apalagi kalau dosennya berasal dari negara Arab. Hampir tak ada ruang untuk mempertanyakan. Hari pertama di UCLA, saya kaget lihat mahasiswa beradu argumen dengan dosen senior, dan memanggil sang profesor dengan nama.

Di Universitas Chicago, suasana kritis lebih terasa lagi. Kalau ada dosen baru masuk kelas menyapa “How are you?” dia akan diserbu dengan pertanyaan, “What do you mean by ‘how’ or ‘you’?” Maksudku, tak ada yang tak mereka pertanyakan.

Makanya, ketika mulai mengajar di Notre Dame, saya sudah siap dengan critical thinking, dan sangat menikmatinya. Diskusi di kelas sangat aktif dan kompetitif. Mereka berebut untuk bertanya atau mempertanyakan. Sebagian mengajukan argumen tandingan. Di kelas “Islam and Christian-Muslim Relations” yang saya ajar semester ini, bercampur mahasiswa S1, S2, dan S3. Tak ada gap di antara mereka. Tingkat partisipasi dan engagement mereka setara, dan sering beradu argumen satu sama lain.

Tapi kalau sudah menyangkut pandangan mereka tentang agama lain, yang mereka kedepankan ialah sikap apresiatif. Mereka mencoba memahami “yang lain” dari perspektif “insider”, baru kemudian mengeksplorasi berbagai kemungkinan yang beragam.

Di Notre Dame, sekitar 80% mahasiswa beragama Katolik. Kalau Anda tanya mereka, apakah Muslim akan masuk neraka? Saya jamin, sangat jarang yang meng-iya-kan. Ini bertolak belakang dengan sikap siswa dan mahasiswa di tanah air. Beberapa penelitian menunjukkan, tingkat radikalisasi agama di kalangan kaum muda sangat mengkhawatirkan. Jangankan soal sikap mereka terhadap “nasib” penganut agama lain. Kerap ditemukan siswa (dan juga guru) yang bahkan menolak hormat bendera saat upacara karena dianggap syirik.

Apa yang saya lihat di kelas sebenarnya mencerminkan spektrum yang lebih luas. Tanpa bermaksud mengeneralisir, modernitas di Barat telah menjadikan toleransi sebagai virtue. Baik-buruk diukur seberapa toleran kita pada “yang lain.” Paham dan keyakinan berbeda harus dihargai dan ditoleransi.

Michael Cook, Profesor di Princeton, melukiskan situasi masyarakat Barat begini: “It would be considered ill-mannered and parochial to refer to the religious views of others as false and one’s own as true; for those fully educated into the elite culture of Western society, the very notion of absolute truth in matters of religion sounds hopelessly out of date.”

Beban Masa Lalu
Bagaimana mereka bisa sampai pada sikap apresiatif dan toleransi seperti itu? Pertanyaan ini mengusik pikiran saya sejak lama. Lebih-lebih setelah saya bergabung dengan Notre Dame.

Saya dosen Muslim pertama yang mengajar di departemen teologi di salah satu kampus Katolik terbaik ini. Ada beberapa dosen Muslim di departemen lain, tapi tidak di teologi yang menjadi “jantung” universitas Katolik. Jadi, ini perkembangan menarik, bahwa departemen teologi merekruit dosen Muslim untuk mengajar Islam dan juga teologi Kristen.

Kebetulan semester depan, saya berencana mengajar “Islam and Christian Theology” yang merupakan mata kuliah wajib bagi seluruh mahasiswa Notre Dame. Walau baru akan dimulai akhir Agustus, kelas itu sudah penuh dan beberapa mahasiswa complain karena tidak dapat lagi mendaftar.

Yang paling mengesankan ialah sambutan hangat kolega-kolega dosen di departemen, yang umumnya sarjana-sarjana Katolik dengan nama besar di bidangnya. Salah satu pencetus teologi pembebasan, Gustavo Gutiérrez, berada di sini. Saya tak bermaksud menyebut mereka satu per satu. Sungguh suatu kehormatan bergelut dengan kesarjanaan serius bersama mereka.

Waktu di Chicago, saya pernah ambil mata kuliah Gabriel Reynolds. Sekarang kami berdua mengampu satu mata kuliah bersama. Mereka bukan saja sarjana-sarjana yang dihormati di bidangnya, tapi juga teman yang sangat baik.

Bagaimana mereka bersikap begitu baik, menyambut hangat dan memperlakukan keyakinanku dengan penuh penghormatan?

Kalau kita menoleh ke belakang, sikap Gereja terhadap Islam jauh berbeda dari yang kita lihat sekarang. Memang, tidak mengenakkan bicara pandangan Kristen terhadap Islam di masa lalu. Tapi mengetahui itu akan membantu kita mengapresiasi kerja-kerja teologis yang dilakukan pemuka agama ini dalam beberapa abad terakhir, yang berkulminasi pada Konsili Vatikan II, tahun 1962-1965.

Dua dokumen historik yang dihasilkan Vatikan II, Lumen Gentium dan Nostra Aetate, mengubah cara-pandang Kristen dari semula melihat Islam sebagai sekte sempalan menjadi agama yang diapresiasi sepenuhnya.

Untuk memahami posisi Gereja sebelum Vatikan II, perlu diberikan konteks dahulu. Biar mudah memahami situasi Kristen, coba renungkan: kenapa begitu sulit bagi kaum Muslim menerima kehadiran Ahmadiyah, yang memandang Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi? Jawaban ialah karena kaum Muslim meyakini tidak ada nabi setelah Muhammad.

Umat Kristiani juga meyakini tak ada wahyu setelah Yesus karena dialah wahyu yang sempurna sebagai inkarnasi Tuhan. Baca, misalnya, Kitab Ibrani 1:1-2 dalam Perjanjian Baru. Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalui berbagai cara, tapi di akhir masa berkulminasi dengan Yesus.

Dari situ kita bisa mengerti kenapa Kristen sulit menerima klaim Nabi Muhammad menerima wahyu dari Tuhan. Jauh sebelum Islam datang, pada abad ke-2 sudah dirumuskan doktrin “Seseorang hanya dapat masuk kerajaan Tuhan apabila menerima Yesus.” Abad berikutnya, Gereja menyepakati “extra Ecclesiam nulla salus” (tidak ada keselamatan di luar Gereja).

Maka, “wahyu” yang diklaim Muhammad tak mungkin bersumber dari Tuhan, tapi setan. Ini bisa dibaca dari risalah seorang Kristen, Abdul Masih bin Ishaq al-Kindi. Kendati kemungkinan al-Kindi ini figur fiktif, pandangan itu menggambarkan sikap Kristen di zamannya.

Sebelum al-Kindi, Yuhanna al-Dimasqi (John of Damascus) menyebut Islam sebagai “Christian heresy.” Abbot Hugh, pemuka Kristen berpengaruh akhir abad ke-11, menulis surat kepada Khalifah Muqtadir Billah mengaitkan Islam dengan tipuan setan. Dan begitu seterusnya.

Sungguh suatu lompatan penting ketika Konsili Vatikan II memposisikan Islam tak lagi sebagai “heresy” tapi agama, seperti halnya Kristen, yang mengimani Tuhannya Ibrahim. Sikap Gereja terkait hambatan masa lalu, seperti termaktub dalam Nostra Aetate, ialah “mari lupakan masa lalu dan bekerja sama untuk mewujudkan keadilan sosial, perdamaian, dan kebebasan.”

Perubahan sikap tersebut hanya dimungkinkan melalui refleksi teologis yang mendalam. Kaum Muslim perlu belajar berendah hati merefleksikan sikap teologis mereka terhadap yang lain, termasuk Kristen.

Semestinya Islam lebih mudah mengapresiasi dan menjalin hubungan baik dengan Kristen karena al-Quran sendiri mengakui Kitab Suci mereka bersumber dari Ilahi. Isa dan Maryam ditempatkan pada posisi sangat spesial. Walaupun terdapat perbedaan, pijakan teologis untuk membangun kehidupan harnomis tidak seberat yang dihadapi kaum Kristiani.

Tapi, kenapa pandangan kaum Muslim tak banyak beranjak? Barangkali yang hilang dari diri kita ialah sikap rendah hati. Yang ditonjolkan justeru arogansi keagamaan. Merasa paling benar sendiri. Refleksi teologis harus dilakukan dengan kerendah-hatian memperlakukan komunitas agama lain sebagai sesama hamba Tuhan, yang secara inheren dianugerahi kemuliaan.

Itulah secuil yang saya rasakan di Notre Dame. Suasana intelektual yang menantang dan pergaulan kolegial yang hangat sungguh terasa humbling experience.

[mun'im sirry/ geotimes.co.id]

Mun'im Sirry

Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA. Dua karyanya berjudul "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015) dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014)

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment