Friday, April 29, 2016

Garuda Penangkal 'Banjir Abadi' Jakarta


Berita Lawas dari Liputan6.com pada Tanggal 29 Des 2014 

Dunia Hawa - Hujan belum mau bergeser dari pesisir laut Teluk Jakarta, Muara Karang, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat petang 26 Desember 2014. Saat itu ada sekitar 20 orang yang sibuk mengisi tanggul dengan adukan semen.

Guyuran air dari langit membuat pekerjaan makin berat. Namun, mau tak mau, para mereka harus mengisi tanggul dengan adukan. Jangan sampai lapisan bawahnya terlanjur mengering, semen yang baru bakal sulit menyatu, bangunan pun akhirnya tak kokoh.

Para pekerja tengah mengerjakan secuil bagian proyek pembangunan Giant Sea Wall atau tanggul raksasa yang merupakan bagian dari program Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).

Pemancangan tiang baja pertama dilakukan di Muara Baru, Jakarta Utara pada Kamis 9 Oktober 2014. Tanggul ini untuk mencegah terjadinya banjir akibat naiknya air laut di Jakarta dan penurunan tanah. Diharapkan bisa menuntaskan 'banjir abadi' yang terjadi khususnya di wilayah utara Ibukota.

Di sisi atas tanggul yang telah selesai dibangun, seorang pria bertopi putih dan mengenakan sweater abu-abu, melihat jauh ke lepas pantai teluk Jakarta. Dia salah satu petugas dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang mengawasi jalannya pekerjaan tanggul, Ferdi.


"Ini mah belum apa-apanya. Ini baru awal sekali. Masih jauh buat melihat Garuda di lepas pantai. Makanya waktunya sampai 2030," kata Ferdi saat ditemui Liputan6.com di bawah guyuran hujan deras di pesisir Muara Karang, Penjaringan, Jakarta Utara sore itu.

Dia menerangkan, selama ini, yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta, hanya meninggikan tembok yang ada di pesisir Muara Karang atau tepat di RW 17 Penjaringan, dekat rumah pompa Waduk Pluit.

"Tahap A di sini kita perkuat tanggulnya, pinggirnya," ujar Ferdi. Menurut dia, saat ini tanggul dengan lebar 10 meter itu dan kedalaman sekitar 6 meter dari atas tanah itu baru selesai sepanjang 7 km dari. Dan total panjang tanggul di pesisir diperkirakan sekitar 32 km -- yang akan mengikuti lekuk ekor model burung Garuda di lepas pantai.

"Baru 7 km, ini sudah beruntung, sedikit lagi buat yang di sini tahap A.  Tahap A, 54 kilometer atau 34 kilometer, belum jelas. Dan 32 km yang masuk dalam tahap A itu, peruntukannya terutama dominan untuk  perlindungan pantai," beber Ferdi.


Pantauan Liputan6.com, tanggul yang tengah dikerjakan berbentuk letter L. Beton bulat dan adukan semen dari truk molen menjadi pondasi tanggul itu. Puluhan pekerja terlihat membuat belitan kawat-kawat besi untuk dijadikan rangka dari atas tanggul. Beberapa pekerja juga terlihat mondar-mandir untuk mengontrol kerja mesin truk molen.

Tanggul itu berada tepat di belakang rumah pompa waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Sementara sisi sebelah kiri tanggul terdapat kompleks di mana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tinggal. Untuk sisi yang sebelah kanan, merupakan area parkir kapal-kapal nelayan.


Ferdi mengatakan, pembuatan tanggul itu masih menemui beberapa kendala.  Di antaranya, dana yang diperlukan sebesar Rp 500 triliun atau separuh dari APBN.

Selain itu, banyak area pesisir pantai yang harus diperbaiki dan dibuat tanggul agar pemukiman di sekitarnya tidak kena limpasan air laut. Kesadaran warga yang menolak pindah dari pinggir pesisir juga menjadi salah satu kendala. "Waduk Pluit saja belum selesai warganya. Jadinya ya kita kerjakan dulu yang sudah bisa dikerjakan. Ini saja sebenarnya juga masih bersentuhan sama rumah warga," ujar Ferdi sambil menunjuk rumah warga yang hanya berjarak 3 meter dari proyek pembangunan tanggul.

Ia mengatakan, tanggul yang kini dibangun tersebut memiliki posisi paling dominan menentukan ketepatan waktu jadinya Giant Sea Wall pada 2030. Belum lagi pembangunan tanggul akan dilakukan di beberapa titik yang saat ini diketahui menjadi area tempat tinggal warga.

"Dalam 32 km tanggul masuk tahap A, ini peruntukannya dominan perlindungan pantai. Model Garuda itu untuk kemajuan ekonomi bangsa. Ini mikronya (tanggul di pinggir pantai). Kalau bentuk Garuda (di lepas pantai) itu makronya," jelas Ferdi.

"Di dalam tahap A pertama kita perkuat tanggulnya pinggirnya. Itu Muara Baru, Cakung Muara, Muara Angke dulu mesti diperkuat," tandas dia.


Hanya Fokus di Hilir

Dalam pembangunan yang hampir 2 bulan setelah peletakkan tiang pancang pada 9 Oktober, pemerintah melalui rapat koordinasi yang digelar Menteri Koordinator Perekonomian memutuskan, proyek Giant Sea Wall berbiaya Rp 500 triliun itu akan ditinjau ulang. Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, peninjauan ulang lantaran kajian proyek tersebut belum selesai sepenuhnya.

Keputusan itu mendapat dukungan dari Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Sebab, kajian proyek tersebut belum memiliki studi yang matang, walaupun dia pernah menyatakan, pembangunan tanggul raksasa harus  segera dilakukan untuk mencegah Jakarta tenggelam. 

Ahok mengatakan, studi tersebut yaitu menyangkut dari hulu sampai hilir seperti penanganan banjir di DKI Jakarta sebelum menggarap megaproyek tanggul berbentuk burung garuda raksasa itu.  "Ya itu memang harus dikaji ulang, mesti ada studinya itu," ujar Ahok kepada Liputan6.com.


Ahok khawatir, bila proyek tersebut tetap dilanjutkan tanpa kajian yang matang, proyek tersebut bisa bernasib sama seperti proyek-proyek besar pemerintah pusat lainnya yang terbengkalai.

"Ya karena memang belum dikaji, kalau dia nutup (proyek dihentikan) bagaimana? Kan yang rugi besar. pemerintah sendiri," kata dia.

Pria asal Bangka Belitung itu  menegaskan, untuk menyelesaikan permasalahan banjir tak bisa selesai dengan cara membangun tanggul di daerah hilir. Pembangunan waduk dan tanggul juga harus dilakukan di daerah hulu. 

Salah satunya, pembangunan Waduk Ciawi yang digagas Joko Widodo atau Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur DKI. Proyek tersebut hingga saat ini masih terkendala masalah pembebasan lahan. "Ini saja belum beres, makanya tahun depan pembebasan lahan lagi," ucap dia. 

‎Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Andi Baso Mappapoleonro juga mengatakan, proyek tanggul raksasa mesti dikaji ulang. Alasannya, konsep dan desain yang ada saat ini hanya terfokus di hilirnya saja.


Menurut dia, megaproyek yang dikenal Giant Sea Wall itu bakal menyelesaikan permasalahan banjir yang ada di Jakarta bila konsep dan kajiannya benar-benar dilakukan secara mendetail dan dengan perencanaan yang matang. 

"Sekarang konsepnya lebih banyak di hilir. Padahal penyebab banjir di Jakarta itu berasal dari hulu. Hulu ini belum disentuh secara detail," ujar Andi. 

Andi mengatakan, sebagai upaya membangun wilayah hulu, pembangunan Waduk Ciawi wajib dikerjakan dan tidak bisa lagi ditunda pengerjaannya. Lantaran, proyek tersebut merupakan bagian dari pembangunan proyek NCICD. 

Menurutnya, menambahkan proyek NCICD harus berfokus pada air limbah yang berasal dari hulu. Konsep yang ada saat ini hanya mengolah air limbah yang datang dari Jakarta. "Limbah dari Bogor, Bekasi, dan Depok juga harus diolah," kata dia.

Jakarta Terancam Tenggelam...
Sementara, Kepala Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta Sarwo Handayani mengatakan, walau diprediksi pengerjaannya akan molor karena peninjauan ulang megaproyek itu, pemerintah pusat harus segera memulai pengerjaan Giant Sea Wall sesegera mungkin. 

"Giant Sea Wall itu yang diprioritaskan dan yang disepakati itu tahap I, tahap I itu penguatan tanggul di bibir pantai, sepanjang 32 kilometer, itu di pantai yang ada, supaya menjamin Jakarta nggak kena rob dalam jangka pendek atau menengah," ujar Yani saat berbincang dengan Liputan6.com. 

"Kalau tahap I itu harus, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Nggak bisa ditawar-tawar lagi. Kalau nggak dikerjakan, Jakarta bisa banjir besar," tegas mantan Deputi Gubernur Bidang Tata ruang dan lingkungan hidup DKI Jakarta itu.


Pekerjaan tahap I yaitu pembangunan tanggul raksasa sepanjang 32 km garis pantai dan memperkuat tanggul tanggul sungai‎ yang bermuara di Teluk Jakarta. Dari 32 km total garis pantai, 8 km merupakan tanggung jawab pemerintah yang diperkirakan memakan dana Rp 3,2 triliun dan 24 km akan dikelola swasta.

Penguatan tanggul ini diperlukan karena adanya land subsidence (penurunan muka tanah) di Jakarta Utara yang terjadi dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan yaitu 7,5 cm per tahun. Jika hal ini tidak dilakukan diperkirakan Jakarta akan berada di‎ bawah permukaan laut pada 2030. 

Akibatnya pada waktu tersebut ke 13 sungai yang melewati Jakarta tidak dapat mengalirkan airnya lagi secara gravitasi ke Teluk Jakarta.

"Untuk sekarang kan sudah pengerjaan desainnya kan oleh Kementerian PU, kemudian disepakati dengan DKI untuk kita lakukan kelanjutannya," ucap Bu Yani. 


Dia menjelaskan, peninjauan ulang bukan pada perubahan skema pembangunan infrastruktur, namun peninjauan pembiayaan. Selain itu, peninjauan dilakukan pada pembangunan tahap II dan III. "Kalau yang tahap I itu harus, nggak bisa ditawar-tawar lagi. Nanti yang di tahap yang di laut bebas, itu yang masih harus disempurnakan," kata dia. 

Peninjauan ulang tersebut menurut Yani dilakukan lantaran kajian dan penelitian terhadap proyek tersebut belum lengkap dan dilakukan secara lebih detail. Karena itu, Yani mengatakan, pihaknya bersama Kementerian PU dan Perumahan Rakyat saat ini masih akan melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut. 

"Memang belum tuntas, belum final, kita akan lakukan dukungan-dukungan penelitian, studi,bagaimana perilaku laut yang sampai minus 20 meter, terus gimana subsidence-nya. Bagaimana kalau sudah ditanggul, bagaimana pemberlakuan orang melarang pengambilan air tanah dengan sudah datangnya air dari Jatiluhur, berarti kan nanti orang ambil air tanah berkurang, itu kita mesti lihat, berapa pengurangan subsidence yang berkurang," kata Yani.

Nasib Garuda yang Megah?

Dari Master Plan Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), ada 3 tahapan dalam proyek ini. Tahap pertama yakni pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall (GSW), tahap kedua adalah pengembangan kawasan seperti reklamasi, dan tahap ketiga adalah pengembangan jangka panjang di timur Teluk Jakarta.

Rancangan dasar Garuda yang megah ini berukuran 1.250 hektar dan menawarkan tempat tinggal untuk 650.000 orang dan tempat kerja untuk 350.000 orang.

Kemudian, lahan reklamasi tambahan dapat dikembangkan pada perairan dangkal di waduk raksasa ini jika kebutuhan untuk real estate diperlukan. Sebanyak 15 persen lahan Garuda ini dialokasikan untuk Kawasan Pusat Bisnis (CBD) baru dan 30% untuk perumahan sosial.

Lahan dengan total 23,7 juta m2 juga akan diwujudkan, 61% untuk perumahan, 35% untuk pertokoan dan kantor, dan 4% untuk industri.

Prioritas akan diberikan untuk penciptaan fasilitas yang berkelanjutan untuk masyarakat nelayan yang harus direlokasi dari garis pantai saat ini. Pelabuhan nelayan baru akan ditempatkan di ujung sayap Garuda yang dekat dengan daerah penangkapan ikan saat ini.

CBD baru ini akan mempunyai sambungan MRT ke pusat kota yang telah ada dengan panjang 11,2 kilometer.

Jalan bebas-hambatan Tangerang–Bekasi dengan panjang menyeluruh 43 kilometer dan 2 x 4 lajur akan membentangi Teluk Jakarta dan melewati Garuda. Di bawah CBD akan dibangun jalan bawah tanah dengan panjang 2 kilometer. Jalan bebas-hambatan ini akan melewati jalur- laut ke arah Tanjung Priok dengan jembatan berbentuk ikon yang megah dengan jarak-bebas 70 meter.


Dalam impresi 3D awal, secara jelas ditunjukkan potensi Garuda untuk menjadi penampilan wajah Jakarta. Jadi ikon baru. Daerah tengah yang berada pada perluasan pusat kota mempunyai kepadatan tertinggi dan gedung-gedung menjulang tinggi. Daerah tengah ini juga menjadi tempat ruang warga di jantung daerah kota baru ini.

Garuda  menempatkan jaringan hijau sebagai salah satu kriteria susunan ruang inti. Ruang-ruang hijau mencakupkan taman kota, taman blok, jalan raya, boulevard berbatas-perairan, hutan bakau dan rawa, cagar alam, dan jaringan jalanan kota.

Untuk menghasilkan pendapatan maksimum dan menggenjot minat para investor besar, pemerintah sangat disarankan untuk menjadikan Garuda megah ini sebagai tempat perkantoran pemerintah pusat dan merelokasi sebagian besar fungsi penting pemerintahan dan sipil ke tempat ini. Agar bisa tumbuh, CBD Garuda megah ini membutuhkan penyewa utama dan pemerintah dapat memainkan  peran penting untuk merangsang pertumbuhan di CBD baru ini. 

Dalam melakukan peran ini, lahan di daerah kota yang ditempati oleh fungsi-fungsi pemerintahan ini akan dijadikan sebagai tempat untuk melakukan pengembangan baru.


CBD ini membutuhkan infrastruktur. Rancangan ini akan melengkapkan dua jalan lingkar luar Jakarta di bagian utara dan akan dibuat lebih banyak koneksi lokal dengan daratan induk. Kereta api kecepatan tinggi akan menghubungkan CBD dengan bandara dan bagian-bagian Jawa lainnya. Jalur MRT akan menghubungkan CBD dengan pusat kota yang ada saat ini untuk memastikan keterkaitan.

Sementara, sayap Garuda megah ini akan mempunyai dua kawasan berbatas-perairan baru, satu sisi terbuka ke arah laut dan sisi lain terbuka menghadap laguna air tawar. Di sisi laut telah tercipta bentangan pantai panjang sementara pada sisi laguna tercipta dermaga, jetti, dan perkantoran berbatas-perairan, kompleks komersial, peristirahatan, dan perumahan. Menciptakan lingkungan perumahan yang memadai dan campuran antara tempat kerja dan tempat hunian di CBD adalah penting agar CBD dapat berfungsi.

Pada setiap sayap terdapat banyak blok perkotaan yang lebih kecil yang masing-masing dipisahkan oleh ruang penyangga hijau. Jalan utama yang melewati koridor hijau, dan pada bentangan terluar kedua sayap ini terdapat sejumlah taman dan tempat untuk pengembangan habitat.

Sisi timur Teluk Jakarta akan didominasi oleh kegiatan yang ada sekarang. Tanjung Priok akan mempunyai lebih banyak ruang untuk pengembangan lebih lanjutan tetap terhubung dengan laut. Hal yang baru adalah Jalan Bebas-Hambatan Tangerang – Bekasi yang menghubungkan Garuda megah ini dengan provinsi Jawa Barat yang mana memulihkan mata rantai yang hilang pada koneksi timur-barat Jawa.

Pertanyaannya, seperti apa hasil kaji ulang nantinya. Akankah Garuda Raksasa tetap mengepakkan sayapnya di Teluk Jakarta? (Mvi/Ein)

Lela Fitriyani, Blogger

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment