Thursday, April 28, 2016

Kelompok Islam Radikal Serang NU Mati-Matian, NU Tetap Cool dan Keren


Dunia Hawa - Statement Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj yang mengatakan “ pemimpin yang adil meski itu non-Muslim tapi jujur, itu lebih baik daripada pemimpin Muslim tapi zalim” menjadi perdebatan, khususnya di masyarakat pengikut paham wahabi. 

Perdebatan karena perbedaan pandangan itu sejatinya merupakan hal yang biasa karena Indonesia yang menganut paham demokrasi membebaskan seluruh warga negara untuk berpendapat dan menyalurkan pikirannya. Namun yang patut disayangkan adalah bagaimana perbedaan pendapat itu menjadi senjata untuk menghujat hingga menjatuhkan citra diri  seseorang, apalagi bila perbedaan pendapat ini meluas hingga menyeret orang lainyang tak bersalah. 

Ya, perdebatan ini lama-kelamaan menjadi bias dan menyeret hal-hal berbau SARA. Sebuah contoh nyata dalam kasus ini Hary Tanoesoedibjo. Kunjungannya dijadikan bahan fitnah oleh kaum radikal. Padahal kunjungannya tak lain untuk bersilaturahmi dan memberikan kuliah umum serta berbagi pengalaman kepada anak-anak santri disana. 

Apa salah HT? yang niatnya bersilaturahmi, memberikan semangat dan ilmu pengetahuan bagi anak-anak Indonesia. Apa karena berbeda agama? Bukankah dalam Islam, seorang mukmin wajib menghargai tamunya tanpa membedakan siapa dia, termasuk agamannya? 

Aneh rasanya, setelah saya baca di internet komentar-komentar orang-orang Wahabi ini, terlalu diada-ada saja. Mereka mempermasalahkan hal terkecil seperti  pakaian yang dikenakan HT, peci di kepalanya sampai santri yang mencium tangan HT pun di jadikan masalah. Kenapa tidak pernah ada gelombang protes ketika Michelle Obama yang datang ke Istiqlal menggunakan hijab padahal dia jelas-jelas berbeda keyakinan dan ras dengan kita? 

Saya ingin mengajak untuk melihat dari sudut pandang lain. Mari kita stop su'dzon dan mulai ber huznudzan, bukankah dalam persidanganpun selalu diuatamakan praduga tidak bersalah? Islam adalah agama yang indah karena toleransinya. Saya rasa kedatangan HT dengan menggunakan peci beserta baju koko merupakan salah satu indikator bahwasannya HT memiliki toleransi seperti yang diajarkan Islam pada umatnya. Ia menghormati cara berpakaian yang ada di dalam pesantren dan menerapkannya pada diri sendiri. 

Peci dan koko menurut hemat saya merupakan pakaian yang paaaaling pas digunakan ketika mengunjungi pesantren daripada setelan jas, kemejadan berdasi. Tak ada yang salah dengan hal tersebut. Dilihat dari sejarahnya, peci digunakan oleh Bung Karno sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Bahkan salah satu versi baju koko menyebutkan bahwa baju koko merupakan hasil asimilasi budaya yang diserap oleh orang betawi dari baju sehari- hari warga Tionghoa, yakni baju Tuikhim. 

Sekali lagi saya mengajak pembaca untuk berbaik sangka, dilihat dari segi kebiasaan, budaya cium tangan pada orang yang lebih tua sudah menjadi budaya di Indonesia. Saya bukan orang yang paham betul tentang agama, namun sedikit saya membahas melalui pandangan agama. Islam mengenal sebuah kaidah yang berbunyi: Al-`Aadatu Muhakkamah”. Sebuah adat atau tradisi itu bisa dijadikan dasar hukum. 

Tapi ada satu hikmah yang saya ambil disini kaum radikal begitu berapi-api menjatuhkan NU. Tapi api tersebut tak dibalas dengan api, melainkan kesejukan khas NU. Saya yakin fitnah semacam ini tak akan mengecilkan NU maupun HT. Saya malah salut kepada NU yang tetap tenang, dan HT teruslah bangun anak-anak Indonesia.  Kalau yang radikal radikal biar kami yang atasi. Karena leih baik membangun negeri daripada fitnah saudara sendiri. 

[moscoy/ kompasioner]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment