Tuesday, March 14, 2017

Surga Itu Murah Banget


DUNIA HAWA - Menjelang pemilihan Ketua RW 09, Kampung Apus, Cang Kosim lebih mengintensifkan pertemuan dengan warga pendukungnya. Selain meminta masukan dari warga soal program-programnya, dia juga berharap silahturahmi antar warga bisa semangkin erat. Hampir tiap malam warga berkumpul di Posko Tim Sukses Cang Kosim yang terletak di sebuah rumah kontrakan miliknya yang berjarak dua rumah dari kediaman Cang Kosim.

Madi, salah satu anggota Timses Cang Kosim didaulat sebagai tuan rumah posko yang selalu siap kapan saja menerima warga untuk berdialog, ataupun sekedar bertanya soal program-program Cang Kosim. Seperti biasanya, sehabis sholat Isya, Madi sudah standby di posko. Selain menunggu warga yang datang, sekali gus menyiapkan keperluan lainnya agar warga yang datang betah di posko. Terlihat beberapa orang warga sudah datang. Mereka duduk lesehan di lantai dengan beralaskan karpet.

Sudah sekitar lima orang warga yang sedang menunggu Cang Kosim. Mereka tampak ngobrol sambil minum teh dan kopi yang sudah disediakan oleh Madi sebagai tuan rumah posko.

“Biasanya jam berapa Cang Kosim datang, Di?” ujar Doni, salah seorang pemuda yang ikutan nimbrung di posko.

“Gak lama pasti dia datang. Kalau gak datang biasanya udah kasih tahu gua. Kalau gak kasih kabar apapun, berarti dia datang,” jawab Madi sambil menuangkan kopi dari teko.

“Assalammualaikum,” suara Cang Kosim memberi salam terdengar dari arah pintu masuk.

“Waalaikum salam,” jawab warga yang ada di ruangan serempak.

“Bagaimana nih kabarnya semua,” tanya Cang Kosim sambil menjabat tangan satu per satu warga yang hadir.

“Alhamdulillah, baik-baik semuanya, Cang,” ujar Hasbullah, warga Rt 10 yang hadir di posko.

“Syukur deh kalau pada baik-baik semuanya. Karena membangun harus dalam keadaan baik-baik, rukun, tenteram dan damai. Jadi apapun yang kita bikin akan lancar,” ujar Cang Kosim.

“Ini Cang kopinya,” tutur Madi sambil menyerahkan segelas kopi yang dibawanya.

“Makasih ya, Di. Nah, apa nih yang bisa kita diskusiin malam ini. Bebas-bebas aja deh. Ini buat pencerahan kita semua. Soalnya, belum tentu juga program gua bener. Pasti masih banyak celahnya untuk dikritisi. Siapa tahu ada warga yang juga punya usulan program bagus nih. Nanti, kalau gua jadi RW bisa kita kerjain bareng-bareng tuh programnya,” tutur Cang Kosim membuka diskusi.

“Kalau soal programnya Cang Kosim, buat kita-kita nih, sebagai warga gak ada masalah. Cang Kosim kan gak bakalan kerja sendirian. Pasti warga juga membantu,” ujar Dodi salah seorang warga.

“Iya. Kalau itu gak masalah. Tapi, ada masalah yang lebih serius di tengah-tengah warga nih. Ini yang kayanya kita harus sikapi,” kata Mad Rodin, warga lainnya.

“Masalah apaan tuh? Kayanya serius banget nih?” tanya Cang Kosim penasaran.

“Ini soal pilkada putara kedua, Cang,” ujar Doni.

“Apa masalahnya?” tanya Cang Kosim.

“Begini Cang. Warga nih binggung. Setelah masalah spanduk jenazah gak boleh disholatin, sekarang juga ada yang bilang, kalau milih si kotak-kotak kita masuk neraka. Soalnya kan si kotak-kotak non-muslim, kafir. Tapi kalau milih si baju putih, dijamin masuk surga. Soalnya dia muslim. Apa bener begitu, Cang?” papar Burhan dengan nada tanya.

“Soalnya, warga yang kurang paham soal ini jadi agak-agak ngeri dengan pilihannya nanti. Jadi takut dibilang kafir kalau pilihannya beda,” Toyib menimpali.

“Kaya gituan mah gak usah didenger. Orang frustasi yang nyebarin kaya gitu,” tutur Cang Kosim.

“Tapi di medsos viral banget tuh, Cang,” kata Doni.

“Sekarang gua tanya. Waktu putaran pertama, lu kan pada punya pilihan masing-masing. Gua yakin semua yang hadir di sini pilihannya pasti beda-beda. Kaya almarhum Sarip, yang beberapa hari lalu jenazahnya hampir gak diurus warga karena dituduh milih kotak-kotak. Katakanlah dia bener milih kotak-kotak, lalu apa lu semua yakin dia masuk neraka nanti? Kalau dia milih si baju putih, apa lu semua juga yakin dia pasti masuk surga? Ada yang bisa jawab gak?” tanya Cang Kosim.

“Ya… Mana ada yang tahu, Cang. Emangnya kita ikutan ke alam kuburnya, heheheh….” tutur Madi yang diselingi sedikit candaan.

“Madi bener. Urusan surga-neraka itu urusan Tuhan. Kita gak tahu siapa diantara kita yang masuk surga, siapa yang masuk neraka. Belum tentu orang yang kita anggap bejat dan ahli maksiat itu masuk neraka. Siapa tahu ada kebaikan yang dia lakukan dan kitan gak tahu kebaikan itu, ternyata kebaikan itu di mata Allah bisa menghapus dosa besarnya dia. Jadi, gak ada yang bisa jamin jika kita milih si baju putih kita masuk surga dan milih si kotak-kotak masuk neraka,” jelas Cang Kosim.

“Jadi begitu ya, Cang,” tutur Doni.

“Yang gua pahami sih seperti itu. Tapi gua gak tahu pemahaman orang lain. Kita kan bisa beda-beda pemahamannya. Yang perlu lu semua ketahui juga, partai-partai Islam di pilkada ada juga yang mencalonkan non-muslim. Kalau gak salah sih ada di 22 daerah. Banyak juga kan? Tapi gak diributin tuh. Gak ada yang teriak-teriak kafir. Semuanya santai aja,” tutur Cang Kosim.

“Yang bener, Cang. Bukan hoax kan?” tanya Hasbullah.

“Ya kagak. Ini berita resmi di media. Buat apa juga gua nyebarin hoax. Gak ada gunanya. Gua ungkapin ini biar kita bisa bikin perbandingan. Biar pikiran kita terbuka. Biar kita semua berpikir jernih. Biar kita semua tahu kalau di daerah lain ada juga partai Islam yang menundukung non-muslim, tapi gak dipersoalkan. Pertanyaannya, kenapa di Jakarta dipersoalkan? Ada apa ini?” papar Cang Kosim.

Suasana ruangan pun menjadi hening. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut warga yang hadir. Mereka nampak berkutat dengan pikirannya masing-masing.

“Kenapa ya si kotak-kotak diharamkan di Jakarta, sedangkan di daerah lain ada yang non-muslim tidak diharamkan? Bahkan sebelum kasus Al Maidah pun sudah diharmkan oleh pihak-pihak tertentu. Sepertinya gak adil deh kalau begini,” tutur Toyib.

“Bener yang lu bilang, Yib. Jadi gak ada hubungannya sama surga dan neraka,” kata Cang Kosim.

“Saya jadi inget postingan di media sosial. Cukup klik “suka” dan komentar “amin” bisa masuk surga. Kayanya surga itu murah banget deh. Gak perlu kita ibadah susah-susah. Cukup milih paslo itu, pasti masuk surga. Enak banget ya,” kata Doni.

“Kalau kita denger dari ulama-ulama nih, surga itu susah. Banyak syarat yang harus dipenuhi yang harus kita lakukan. Makannya hadianya itu surga. Jadi surga itu tidak murah dan tidak gampang,” tutur Mad Rodin.

“Ya udah, kita gak usah terlalu mudah dihasut sama yang begituan. Inget, pilkada ini urusan politik. Jadi, kita harus cerdas melihat info-info soal pilkada ini. Jangan sampe kita gampang ditakut-takutin. Kalau nilai-nilai agama yang dibawa ke ranah politik akan menjadi kemaslahatan. Tapi, kalau politik yang diseret-seret ke wilayah agama, akan melahirkan kerusakan. Kita herus jernih melihat persoalan yang ada. Jangan gara-gara soal pilihan yang berbeda kita dipecah-belah. Padahal kita sesama muslim bersaudara,” papar Cang Kosim panjang lebar.

“Ayo pada diminum kopinya. Jangan pada bengong aja. Otak boleh panas, tapi kopi harus habis, hehehehe…….” tutur Madi yang disambut dengan gelak tawa oleh yang lainnya.

@adhitia renata rakasiwi


Ahok Disidang Ke-14, DPR Ngamuk, Jokowi Vlog Kambing: Mbeeek


DUNIA HAWA - Sidang Ahok ke-14 hari ini adalah sidang kisah hidup nyata Ahok. Benarkah Ahok terlahir sebagai penista Agama? Apakah Ahok sejak anak-anak sudah menghina agama Islam? Apakah Ahok yang pernah menjadi Bupati di Belitung Timur merupakah musuh besar agama Islam? Apakah Ahok sepanjang hidupnya berkali-kali menista agama? Jawabannya ternyata tidak.

Dari kesaksian supir keluarga Ahok, Suyanto, diketahui bagaimana hidup nyata Ahok sebenarnya. Ahok memperkerjakan Suyanto yang muslim sebagai supir keluarganya sejak tahun 2003. Menurut Suyanto, Ahok pernah mengingatkannya untuk melakukan Solat Jumat. Ahok yang tinggal di sekitar perkampungan, kerap membantu pembangunan Masjid. Dan yang lebih hebat lagi, Ahok menurut Suyanto, pernah menaikkan haji 4 orang.

Fajrun, saksi fakta Ahok lain menyebut Ahok sebagai sosok yang tidak membeda-bedakan siapapun. Fajrun, teman Ahok semasa SD itu menyebut Ahok sebagai sosok yang berjiwa sosial tinggi. Saat ada Idul Fitri, Ahok bersilaturahmi ke rumah orang Muslim. Dan begitu sebaliknya. Saat Natal, orang-orang Muslim bersilaturahmi ke rumah Ahok termasuk Fajrun.

Ketika ada pemilihan Bupati Belitung Timur, Fajrun mengaku memilih Ahok. Padahal kakaknya sendiri, Abdul Fatah, maju dalam kontestasi Pilkada Belitung Timur itu. Fajrun mengakui bahwa dia memilih Ahok karena perhatian Ahok terhadap Muslim. Ahok kata Fajrun adalah sosok yang bisa memberantas korupsi karena Ahok sendiri anti korupsi.

Kesaksian Juhri, mantan Ketua Panitia Pengawasan Pemilu Bangka Belitung 2007, mengatakan bahwa setiap kali ada Pilkada dan ada calon nonmuslim mencalonkan diri, maka ada selebaran yang menyerukan untuk memilih pemimpin yang seiman. Herannya jika tidak ada calon dari non muslim maka selebaran masif untuk memilih pemimpin yang seiman, tidak ada.

Dari saksi-saksi fakta Suyanto, Fajrun dan Juhri, terlihat bahwa Ahok sejak di Belitung, tidak memiliki riwayat memusuhi agama Islam. Malahan Ahok dikenal banyak membantu pembangunan Masjid dan menaikkan haji 4 orang. Ahok juga sudah dikenal masyarakat sebagai sosok yang anti korupsi. Tak heran kalau Ahok pernah terpilih sebagai Bupati Timur yang mayoritas muslim.

Bahkan Ahok hampir memenangkan Pilgub Babel jika ia tidak diserang dengan SARA. Sejak di Belitung, Ahok sudah dijadikan sebagai korban SARA ketika ia mau mencalonkan diri menjadi kandidat kepala daerah dengan argumen Surat Al-Maidah ayat 51. Itu berarti dari kesaksian Suyanto, Fajrun dan Juhri, di Belitung ada oknum-oknum tertentu yang mempolitisir agama demi ambisi pribadi.

Jika kemudian saat melakukan kunjungan kerja 27 September di kepulauan Pramuka, Ahok menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51, itu karena muncul lagi oknum-oknum politikus busuk yang menggunakan tameng agama untuk menjegal Ahok. Jadi surat Al-Maidah ayat 51 sengaja digunakan oleh oknum-oknum politikus busuk itu untuk kembali menjegal Ahok, sama seperti di Belitung. Jadi Ahok pun mengingatkan masyarakat agar jangan mau dibodohi oleh oknum-oknum politikus busuk dengan memakai pembenaran Surat Al-Maidah ayat 51 itu.

Sementara Ahok sudah menjalani sidang ke-14, dalam beberapa hari ini, publik menyaksikan para anggota DPR Senayan mengalami kepanikan. Ketika bantahan-bantahan mereka yang terlibat korupsi proyek jumbo e-KTP, sama sekali tidak dipercaya oleh masyarakat, maka DPR semakin panik, marah dan mengamuk kepada KPK. Apalagi KPK sudah mulai menebar ancaman bahwa sebentar lagi ada tersangka baru terkait proyek e-KTP itu. Itu jelas sangat menakutkan anggota DPR.

Sekarang KPK benar-benar dijadikan musuh bersama oleh DPR. Para anggota DPR Senayan kini melantunkan suara koor sumbang untuk merevisi UU KPK. Tujuannya agar KPK di bumi Indonesia benar-benar tersunat dan terkebiri. Tidak puas sampai di situ, para anggota DPR kembali bersuara nyaring untuk menginvestigasi proyek e-KTP itu lewat hak angket. Nah, ini yang lucu nan gila. Para anggota DPR akan memeriksa dirinya sendiri. Jeruk makan jeruk, siapa yang percaya?

Jika hak angket terealisasi, maka anak dan nenek-nenek di Kampung pun sudah paham kesimpulan akhirnya. DPR  akan berkesimpulan bahwa tidak ada pelanggaran hukum dari proyek e-KTP itu. Bisa jadi DPR malah menghantam KPK dengan tuduhan bahwa KPK justru yang offside atau cari gara-gara dan membuat fitnah. Bukankah BPK yang disebut ‘ngaco’ oleh Ahok sudah sudah menyebut DPR dan pemerintah era SBY bersih tak bernoda terkait proyek e-KTP itu?

Seakan nafsu para anggota DPR masih belum tersalurkan, kini Fahri Hamzah mulai berkoak-koak dan berteriak nyaring agar Ketua KPK Agus mengundurkan diri dari ketua KPK. Alasannya karena Agus juga dituduh ikut terlibat. Padahal publik paham bahwa jika Agus ikut berdosa atas proyek e-KTP itu, ia pasti tidak lolos menjadi ketua KPK. Agus juga akan mencoba menjegal investigasi kasus e-KTP itu  agar tidak sampai di pengadilan. Namun Agus berani karena memang ia tidak terlibat.


Fahri Hamzah, anggota DPR Independen 

Nafsu membara anggota DPR untuk merevisi UU KPK, membentuk hak angket akan gagal dan menguap jika Presiden Jokowi tidak menyetujuinya. Dari pernyataannya terkait proyek e-KTP itu, Jokowi jelas mendukung KPK untuk memproses siapa saja yang ikut terlibat dalam proyek itu termasuk ketua DPR dan dua anggota menterinya. Jokowi sangat marah, bagaimana mungkin duit 5,9 Triliun itu dikorupsi secara ramai-ramai. Hasilnya KTP dalam bentuk kertas berubah menjadi plastik. Ini keterlaluan.

Saat ini para anggota DPR yang mengamuk sekaligus panik ketakutan karena akan ditelanjangi total oleh KPK, mencoba merayu Jokowi agar berpihak kepada mereka. Namun rayuan itu jelas tidak digubris Jokowi. Bukankah para anggota DPR itu ada yang ngotot membentuk Pansus Ahokgate karena Jokowi mengaktifkan Ahok menjadi gubernur? Pakde Jokowi pasti tersenyum-senyum menyaksikan tingkah dan perilaku anggota dewan yang gemar korup itu.

Sebagai respon rayuan DPR agar Jokowi menyetujui hak angket e-KTP itu, Jokowi meng-upload video blog (Vlog) tentang kambingnya yang sekarang berjumlah sudah 10 ekor. Suara-suara anak kambing yang baru lahir itu bersuara Mbeeeek mbeeek seolah mengejek para anggota DPR yang rakus korupsi.


Kambing-kambing Presiden Jokowi di Istana Bogor

Bahkan Jokowi ikut menyentil DPR dengan moment kelahiran anak kambingnya. Menurut Jokowi, lewat kelahiran anak kambing itu, maka ada lahirlah sebuah pembaharuan, amanah, dan berkah yang bermakna optimisme. Selama merekam Vlog, suara Jokowi diiringi oleh suara kambing-kambing peliharaannya: mbeeek….mbeeek….mbeeeek, jangan korupsi bro. Mbeeek…mbeeek. 

@asaaro lahagu


Saat Jokowi Terkaget-kaget Mendengar Ucapan Anggota DPR Independen


DUNIA HAWA - Fahri Hamzah memang hebat. Sebagai wakil ketua DPR Fraksi Independen yang tidak mewakili partai apapun, Fahri masih mampu menempati posisinya. Padahal DPR itu perpanjangan dari partai, bila partai ingin kebijakan A dijalankan maka anggota DPR harus ikut. Fahri tidak perlu ikut partai apapun, toh dirinya sudah tidak terikat. Mau jungkir balik di DPR pun tidak ada lagi yang bisa melarangnya.

Sekarang Fahri ingin ketua KPK Agus Rahardjo mundur karena mengusut kasus E-KTP. Hebat bukan? Seorang wakil rakyat ingin ketua KPK mundur karena mengusut kasus korupsi. Ini seperti ingin polisi diturunkan karena menangkap pencuri. Waras? Bagi kaum bumi datar sih itu wajar, toh semuanya harus ikut kemauan mereka.

Kita pun Kaget Indonesia Punya Wakil Ketua DPR Independen


“Saya bilang ini lebih baik kita investigasi secara menyeluruh supaya benar-benar bisa terbuka,” ujar Fahri usai pertemuan sebelum meninggalkan Istana.

Menurut dia, Jokowi menanggapi pembicaraan itu secara positif. Fahri menyebut Jokowi tak memiliki konflik kepentingan dalam kasus ini.

“Jadi tidak ada masalah. Toh, ini kasus di pemerintahan periode lalu kan? Bukan beliau. Artinya Pak Jokowi bersih tangannya di sini,” ujar Fahri.

Bila tidak tahu tentang apa yang dibicarakan oleh Fahri maka apa yang dikatakannya terkesan bagus. Tapi jangan salah, yang dimaksud dengan investigasi secara menyeluruh bukanlah soal kasus E-KTP itu sendiri. Tetapi tentang mengapa kasus ini diusut. Atau dengan kata lain, ingin hak angket atas pengusutan kasus E-KTP. Hal ini dapat berujung dengan penghentian kasus E-KTP

“Oleh sebab itu, untuk menghindari konflik kepentingan, saya meminta Agus mengundurkan diri jadi Ketua KPK. Kalau posisi dia sebagai mantan Ketua Lembaga Pengkajian Barang dan Jasa dan Ketua KPK sekarang, maka kasus ini bisa menyimpang. Dia tahu kasus ini, dia terlibat kasus ini, bahkan dia terlibat dalam melobi salah satu konsorsium meskipun itu konsorsium BUMN,” kata Fahri.

Jokowi pun terkaget-kaget saat Fahri mengatakan bahwa BPK sudah mengaudit proyek e-KTP sebanyak 3 kali dan menilai tak ada masalah. Tentu saja kaget, bagaimana mungkin BPK tidak bisa melihat indikasi korupsi yang luar biasa besar. Dari dakwaan saja setengah dari dana proyek E-KTP dibagi-bagikan. BPK antara kerjanya tidak becus atau ada titik-titiknya.

Tidak mungkin korupsi sebesar dan sekentara itu tidak bisa terlihat. Buktinya saja banyak di lapangan, dimana E-KTP hanya berganti dari kertas menjadi plastik. Chip E-KTP ada? Kalau ada pun tidak berguna, E-KTP tidak berbeda fungsi sama sekali dengan KTP biasa. Huruf E dari E-KTP hanya tinggal huruf, tidak ada fungsi elektronik dari E-KTP. Kartu Time Zone pun lebih canggih, bisa digesek.

Apalagi Fahri ini punya hak apa? Dirinya tidak mewakili partai, padahal hak angket itu memerlukan dukungan partai baru bisa lolos. Jabatannya sebagai wakil ketua DPR pun aneh, bukankah jabatan ketua dan wakil ketua DPR itu berdasarkan paket koalisi partai? Enttahlah, makin bingung melihat DPR sekarang.

Fahri yang menganggap BPK lebih benar dari KPK pun sudah sangat salah. Cara memeriksa BPK masih kurang transparan. Lihat saja jakarta yang saat Ahok sudah mulai bersih-bersih baru predikatnya tiba-tiba turun menjadi Wajar Dengan Pengecualian. Bagaimana saat masa jaya Jakarta dimana banjir berjam-jam? Predikatnya tertinggi yaitu Wajar Tanpa Pengecualian. Apakah itu berarti Jakarta itu wajarnya banjir?

BPK juga pernah salah melihat alamat dalam kasus Sumber Waras. BPK ngotot dengan posisi yang dituliskannya padahal BPK bukan penentu posisi tanah. Sudah jelas bukan kalau BPK masih banyak kesalahannya?

“Saya kira, sebaiknya sama-sama kita hormati proses hukum yang sedang berjalan ini. KPK saat ini sedang bekerja menangani perkara indikasi korupsi e-KTP yang diduga melibatkan cukup banyak anggota DPR, kalangan birokrasi, dan swasta. Jangan ganggu KPK dalam menuntaskan perkara ini. Proses hukum terhadap 2 orang (Irman dan Sugiharto, terdakwa kasus e-KTP) ini barulah langkah awal,” kata Febri, Kabiro Humas KPK

Memang betul KPK lebih baik tidak memperdulikan omongan Fahri Hamzah. Mending selesaikan dulu kasus nya. Kita semua masih menunggu, informasi siapa saja yang sebenarnya mendapatkan uang ini. 

Salam Independen

@evan kurniawan


Inkonsistensi Anies Baswedan


DUNIA HAWA - Suatu hal yang menyedihkan dan memprihatinkan dari seorang Anies adalah inkonsistensi. Hanya karena ambisinya ingin menjadi gubernur DKI Jakarta, Anies rela menjilat ludahnya sendiri dan melupakan begitu saja prinsip dan integritas dirinya.

Padahal, Seorang pemimpin sudah seharusnya memiliki integritas yang tinggi. Bagaimana konsisten antara tindakan dan ucapan. Di samping itu, bertindak tanpa kompromi terhadap orang-orang yang bersalah di mata hukum, bukan malah melindungi dan berkawan dengannya. Hal ini yang tidak ada pada diri Anies.

Dalam beberapa tahun belakangan, Anies terlihat seperti bunglon. Di mana ia hinggap, ia akan berubah warna seperti warna benda yang ia hinggapi. Tujuannya, tidak lain adalah untuk menguntungkan dirinya semata. Berikut fakta sikap Anies yang selalu berubah-ubah dan tidak konsisten hanya demi menguntungkan dirinya semata.

Pertama, sikap terhadap Jokowi, SBY, Prabowo, dan FPI. Soal Jokowi, pada tahun 2013 Anies pernah menyatakan gaya blusukan Jokowi hanyalah pencitraan semata. Namun, pada Pilpres 2014 Anies menjadi pendukung Jokowi dan rajin blusukan saat menjadi Cagub Pilkada 2017.

Tahun 2014, ketika Anies mengikuti konvensi pemilihan presiden dari Partai Demokrat, Anies memuji kepemimpinan SBY. Hal ini berbeda ketika Debat Pilkada DKI Jakarta kemarin. Anies menyindir Agus dengan kepemimpinan ayahnya, SBY selama 10 tahun bagaimana para penjahat dibiarkan bebas.

Berbeda dengan beberapa tahun lalu, Anies sekarang begitu dekat dengan Prabowo dan FPI. Padahal, pada Pilpres 2014 Anies menuduh Prabowo diusung oleh kelompok mafia dan merangkul kelompok ekstremis seperti FPI. Sekarang, Anies memuji Prabowo sebagai negarawan dan sowan ke markas FPI untuk meminta dukungan di Pilkada DKI Jakarta.

Kedua, Rumah dengan DP (down payment) 0%. Pada putaran pertama, kita sempat diramaikan dengan rumah apung ala AHY. Kini, Anies membuat  janji yang membuat semua warga DKI tercengang dengan Program Rumah DP 0%. Meski, akhirnya diganti dengan membangun rumah tanpa DP di atas tanah milik negara oleh Sandi.

Program Rumah DP 0% menjadi membangun rumah tanpa DP di atas tanah milik negara oleh Sandi sudah direvisi oleh kubu Anies sebanya 7 kali. Mulai dari DP 0% menjadi Rp.0 yang harus menabung dulu. Setelah itu, Mardani Ali Sera sebagai ketua tim pemenangan mengkalrifikasi dengan menyatakan DP tetap ada namun ditanggung pemerintah.

Selanjutnya, berubah menjadi Vertical Housing (rumah susun) dengan harga 350 juta dicicil selama 20 tahun. Lalu direvisi Anies yang katanya hanya mengelola pembiayaannya saja hingga akhirnya dijelaskan oleh sandi dengan membangun rumah tanpa DP di atas tanah milik negara.

Ketiga, penggusuran. Sedari awal Anies selalu berkampanye menolak adanya penggusuran. Namun, ketika mengunjungi kelurahan Bukit Duri tepatnya di RT01/RW12 pada tanggal 15 November, Anies menyatakan warga dikawasan itu mesti direlokasi karena sudah tidak bisa ditata lagi.

Sikap yang ditujukan Anies beberapa waktu lalu seketika berubah setelah warga Bukit Duri memenangi gugatan di PTUN. Bahkan, Anies membuat kontrak politik dengan warga untuk tidak melakukan penggusuran. Padahal kita tahu, banjir Jakarta tetap ada jika sungai-sungai di Jakarta tidak segera dinormalisasi.

Keempat, program 1 Miliar per RW. Tentu kita masih mengingat betapa gencarnya Anies menolak program AHY-Sylvi yang membagi-bagikan uang 1 Miliyar per RW. Ia menyatakan, program bagi-bagi uang versi AHY-Sylvi tersebut tidak jelas dan sudah ada dalam APBD DKI Jakarta.

Pada putaran kedua, Anies sepertinya lupa semua hal di atas. Bahkan, kini Anies akan mengadopsi program bagi-bagi uang AHY-Sylvi dengan nominal yang lebih besar, yakni 3 Milyar per RW.

Sebenarnya, program tersebut semenjak AHY-Sylvi mengkampanyekan sudah mendapat kecaman. Selain tidak mendidik, program tersebut rawan penyelewengan, pemborosan dan dikhawatirkan tidak tepat sasaran.

Pemimpin Harus Berintegritas


Anies sebagai calon pemimpin sudah sepatutnya memiliki integritas yang tinggi. Karena, dari integritaslah kita bisa mengetahui siapa seseorang tersebut. Jika dari tindakan dan ucapannya saja mencla-mencle, bagaimana dengan janji-janji yang selama ini ia kampanyekan, apakah mampu direalisasikannya atau hanya bersifat fleksibel saja dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Sungguh ironi, jika dilihat dari rekam jejak dan perubahan sikap Anies dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, bahkan hari ke hari yang menunjukan inkonsistensi, yang mana seseorang tersebut akan memimpin Jakarta.

Bukan tidak mungkin, janji-janji yang selama ini ia gembar-gemborkan hanyalah bualan belaka. Karena, untuk menjaga prinsip dan integritas dirinya saja tidak mampu bagaimana mungkin ia bisa menjaga kepentingan orang banyak, warga DKI Jakarta.

Sikap yang ditunjukkan Anies selama ini sangat berbeda jauh dengan sikap Ahok. Ahok begitu menjaga integritas dan konsistensinya. Kita tahu, sikap Ahok dalam melawan koruptor tidak pernah berubah dan ia masih terus memperjuangkan pembuktian harta terbalik para pejabat semenjak ia menjabat anggota DPRD Belitung sampai sekarang.

Soal penggusuran, Ahok tetap konsisten dengan program normalisasinya yang harus tetap berjalan. Toh, nantinya warga yang terkena penggususran akan dipindahkan ke rusunawa yang jauh lebih layak dan beradab daripada hidup di bantaran kali dengan ancaman banjir tiap saat dan tidak manusiawi jika dibiarkan begitu saja selama bertahun-tahun.

Oleh karena itu, memilih pemimpin yang mampu menjaga integritas dan selalu konsisten terhadap ucapan dengan tindakan itu sebuah keharusan.

Seorang pemimpin harus bertindak tegas dan tetap sejalan dengan kepentingan rakyat banyak, bukan untuk kepentingan segelintir orang saja. Sehingga, ia tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain dalam mencetuskan setiap kebijakan. Sementara itu, Ahok sudah membuktikan konsistensinya dalam setiap kebijakan yang ia ambil.


@muhammad ari setiawan


Menjadi Cina di Indonesia


DUNIA HAWA - Situasi membara pada Mei 1998. Saat itu saya baru kelas 1 SD dan, sungguh, saya tak paham apa-apa. Saya hanya ingat bahwa pada satu malam, mama dengan terburu menarik saya ke luar rumah, di mana orang-orang telah berkerumun dan berlalu lalang dengan muka tegang. Kompleks tempat saya tinggal di Jakarta Barat memang mayoritas dihuni warga keturunan Cina, termasuk juga saya dan keluarga.

Situasinya tak keruan. Kerusuhan tengah merebak, dan banyak warga keturunan Cina jadi sasaran amuk massa–entah dirampok, dibunuh ataupun diperkosa–sebagai “tumbal reformasi”. Sial, papa saya kala itu terjebak di bandara, tak bisa ke mana-mana karena situasi sedang panas-panasnya. Alhasil, hanya ada mama di rumah bersama tiga anaknya.

Kami bersiaga di luar agar bisa segera kabur bila terjadi apa-apa. Masalahnya, tak ada satu pun orang rumah yang bisa menyetir mobil kecuali papa. Saya ingat, mama segera menemui saudara jauh yang kebetulan tinggal bertetangga dengan kami. Di sana, ada satu sepupu perempuan saya yang baru saja belajar mengemudi.

“Kamu bisa nyetir, kan?” tanya mama.

“Ya kalau kondisinya begini, sih, ya mau enggak mau bisa,” jawab sepupu saya sembari tersenyum gugup.

Untungnya tak ada apa-apa pada malam itu. Semua masuk kembali ke rumah, dan sejauh yang saya tahu, kerusuhan tak sampai menjalar masuk ke kompleks perumahan kami.

Sekali lagi, kala itu saya betul-betul tak paham dan hanya bisa bertanya kenapa?

Tumbuh besar sebagai minoritas membuat saya menyadari bahwa saya adalah liyan di tengah masyarakat. Sejak lahir hingga kuliah, total saya sekeluarga telah pindah rumah tujuh kali, dari Ciledug, Tangerang, ke Margahayu, Bekasi, hingga ke Kebayoran Lama, Jakarta. Namun, di mana pun saya tinggal, kondisinya tak jauh beda.

Sering sekali, terutama saat masa SD hingga SMA, saya mendapati berbagai celetukan bernada tak enak soal latar belakang ras saya, entah kala berjalan santai sepulang sekolah, atau sekadar bermain futsal di sekitar kompleks perumahan.

“Dasar Cina.”

“Woi, Ncek.”

“Lo kira lo keren, hah?”

Begitu kira-kira kata mereka. Dan biasanya, saya bakal otomatis naik pitam, walau sesungguhnya tak bisa berbuat banyak menanggapinya.

Suatu hari, saya pernah mengadukan hal ini pada papa saya. Tapi dia hanya tertawa kecil dan berkata, “Bilang aja sama mereka, ‘ncek’ itu artinya ‘paman’ tahu. Memangnya gue paman lo?”

Saya sangat tak puas dengan jawaban papa saat itu.

Mau tak mau, karena merasa segan dan tak diterima oleh orang-orang non-keturunan Cina, pergaulan saya kian hari kian sempit saja. Hingga SMA, 95 persen teman main saya adalah sesama warga keturunan Cina, dan kebencian akan mereka yang bukan “bagian dari kami” rasanya terus membesar saja.

Biasanya, saya dan kawanan saya punya panggilan terhadap mereka yang mengaku sebagai pribumi atau warga asli itu. Misalnya saja “huanna” yang berarti “orang asing”. Sering pula kami menyebut mereka sebagai “tiko” atau “fan gui” yang sesungguhnya saya sendiri kurang paham artinya. Namun, banyak yang bilang bahwa masing-masing kata itu bermakna “babi” dan “setan”.

Walau tak paham betul maknanya, kata itu begitu sering terucap. Bila dipikir-pikir, rasanya aneh juga. Bila ingin balik mencerca, kenapa harus menggunakan bahasa asing yang sulit dimengerti oleh mereka? Saya merasa ini jadi salah satu bentuk inferioritas saya dan kawan-kawan kala itu, yang berusaha ingin mencela tanpa mereka sadari sehingga secara tak langsung berusaha menghindari konfrontasi.

Tak hanya di lingkup pertemanan, secara tak langsung keluarga besar pun ikut melanggengkan sekat-sekat sosial yang ada. Keluarga bisa geger bila ada salah satu sanak saudara yang menjalin hubungan dengan pribumi. Jangankan berpacaran, sekadar berteman saja bisa mendapat peringatan untuk berhati-hati.

Anehnya, saat masuk SMA saya mulai menemui teman-teman Cina yang takut untuk menjadi “terlalu Cina”. Bila ada seorang kawan yang rambutnya bergaya poni lempar dengan sedikit jabrik di atasnya, mengenakan kalung rantai atau celana panjang cutbray, pastilah ia akan dicela karena katanya terlihat seperti “Cina Kota” alias “Cinko”. Daerah Kota merujuk pada kawasan pecinan di sekitaran Glodok, Jakarta.

Mau tak mau, hal ini membuat saya tumbuh sebagai warga keturunan dengan lingkup pergaulan eksklusif, plus menyimpan perasaan inferior dan khawatir untuk menjadi terlalu Cina. Saya krisis identitas.

Semua baru berubah ketika saya masuk kuliah. Mengambil jurusan jurnalistik di sebuah kampus swasta, saya dihadapkan pada lingkup pergaulan yang jauh lebih beragam. Warga keturunan Cina di jurusan ini tidak dominan. Alhasil, saya perlahan mesti menyesuaikan diri.

Saya jadi berkawan akrab dengan teman dari berbagai latar belakang, entah yang berasal dari suku Jawa, Batak, Flores, Papua, dan sebagainya. Bertahun-tahun bersama mereka, mata saya jadi terbuka, bahwa dunia yang saya jalani sebelumnya begitu sempit dan penuh prasangka.

Pada April 2014, saya sempat mewawancarai Nosa Normanda dalam kapasitasnya saat itu sebagai dosen antropologi dan sosiologi Binus International. Ia menjelaskan, wajar bila seseorang memutuskan untuk berkumpul bersama kawanannya saja, apalagi di tengah kehidupan multikultur kota besar seperti Jakarta, untuk mencari rasa aman.

Namun, ketakutan untuk memperluas pergaulan, artinya semakin sedikit referensi kita akan kelompok lainnya, berpotensi memunculkan prasangka buruk yang berujung pada lahirnya beragam stereotip di tengah masyarakat.

“Semakin tidak ingin tahu semakin besar pula stereotipnya. Karena, ketakutan itu seperti ruang kosong di kepala kita yang kita isi terus dengan asumsi dan imaji. Seakan kita tahu banyak, padahal kita tak tahu apa-apa,” ujar Nosa.

Di sisi lain, mengutip kata-kata sosiolog Herbert Blumer, kelompok mayoritas pun kerap mengembangkan perasaan-perasaan penuh prasangka terhadap minoritas. Prasangka ini bisa mencakup perasaan bahwa diri mereka superior, perasaan bahwa minoritas adalah orang asing, perasaan wajar bila mereka mendapat berbagai fasilitas dan keistimewaan sosial, serta bahkan kekhawatiran bila minoritas bakal merebut berbagai keistimewaan yang mereka miliki sebagai kelompok dominan.

Ini mungkin dapat menjelaskan perlakuan diskriminatif kelompok dominan terhadap saya yang minoritas sedari kecil hingga remaja.

Lebih jauh, ada beberapa pilihan yang bisa diambil kelompok minoritas dalam hubungannya dengan mayoritas. Pertama, mengasimilasi diri mereka dengan mengenakan ciri-ciri yang menjadi atribut khas kelompok dominan. Saya rasa ini yang terjadi pada saya dan teman-teman semasa SMA kala kami khawatir untuk menjadi “terlalu Cina”.

Kedua, memisahkan diri dari masyarakat luas yang dominan dan mendiskriminasi minoritas. Ini pula yang terjadi pada saya sampai sebelum masuk kuliah.

Ketiga, melakukan pemberontakan frontal atau konfrontasi langsung. Yang satu ini tak pernah saya alami.

Mengetahui berbagai hal ini, saya mulai bisa melihat posisi saya di tengah masyarakat dengan lebih jelas. Terlebih lagi, salah satu perbincangan dengan dosen jurnalistik di masa kuliah, Raudy Gathmyr, cukup membuka mata saya.

Sebagai warga keturunan Arab, nyatanya Raudy juga kerap merasakan pengalaman pahit terkait rasisme sedari ia kecil. Hal ini jadi ironis karena garis keturunan keluarga Gathmyr sesungguhnya memiliki sejarah politik kental dan bahkan ikut serta dalam proses menuju kemerdekaan Indonesia.

Sebut saja Ali Gathmyr yang merupakan mantan pejuang dan perintis kemerdekaan asal Palembang, serta pernah menjabat sebagai Ketua DPRD pertama Sumatera Bagian Selatan (meliputi Lampung, Bengkulu, Jambi, dan Sumatera Selatan) 1945-1955. Belum lagi adiknya, Abdullah Gathmyr, yang merupakan anggota parlemen Indonesia dari Partai Masyumi di masa awal kemerdekaan.

“Setelah lama berkontemplasi, akhirnya saya dan banyak anggota keluarga kami berkesimpulan bahwa rasisme pada dasarnya tidak akan pernah mati selama ada perbedaan. Itu akan terjadi kapan pun dan di mana pun, selama masih ada relasi mayoritas-minoritas di tengah masyarakat plural. Jadi, it’s taken for granted. Itu kelaziman dalam setiap kemajemukan–meski itu tidak lantas dianggap sebagai sesuatu yang baik,” ujar Raudy.

Jauh menengok ke belakang, diskriminasi terhadap warga keturunan Cina pun sesungguhnya telah terjadi sejak era kolonial Belanda. Diperkirakan, kebijakan “apartheid” Belanda-lah yang secara artifisial menciptakan “minoritas Cina” saat itu, walau warga keturunan ini telah tinggal di Indonesia secara turun-temurun dan sebagian bahkan bisa ditarik garis genealogisnya hingga 1600-an.

Setelahnya, kerap muncul ketegangan dengan warga pribumi hingga keturunan Cina pun sering dijadikan kambing hitam, khususnya bila tengah terjadi krisis nasional, sebut saja kekerasan pada 1947 jelang peristiwa Madiun 1948 hingga pembantaian massal pasa tragedi 1965 yang membuka jalan bagi berdirinya pemerintahan Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto.

Di era Orde Baru tersebut, Soeharto sempat menerapkan kebijakan asimilasi bagi warga keturunan Cina. Dalam buku Orang Indonesia Tionghoa: Mencari Identitas karangan Aimee Dawis (2010), dijelaskan bahwa saat itu segala bentuk kebudayaan yang berbau Cina dilarang untuk ditampilkan di depan umum.

Pemerintah menutup semua sekolah berbahasa Mandarin. Penggunaan bahasa itu di muka umum juga dicekal. Warga Cina pun diimbau untuk mengubah namanya dengan nama pribumi untuk menunjukkan komitmen pada negara. Akibatnya, kebanyakan orang Cina yang lahir setelah 1966 hanya berbicara, menulis, dan membaca dalam aksara latin dan bahasa Indonesia. Memang ada kelompok Cina totok yang masih mewariskan bahasa Mandarin pada anak-cucunya, tapi itu terbatas pada bahasa percakapan sehari-hari dan biasanya tak dilakukan di depan umum.

Walau menekan warga keturunan Cina dengan kebijakan asimilasi, di sisi lain Soeharto juga memberi ruang besar bagi mereka untuk bergerak di bidang ekonomi. Dawis bahkan mencatat, warga keturunan Cina setidaknya mengendalikan 70 persen sektor perekonomian, walau secara jumlah mereka hanya setara 3 persen dari total 240 juta penduduk Indonesia saat itu.

Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terang-terangan, dan hak istimewa yang diberikan pada para cukong akhirnya kerap memantik amarah pribumi. Ini menimbulkan kecemburuan sosial dan perlakuan diskriminatif dari pribumi, khususnya kelas menengah ke bawah, pada warga keturunan Cina. Ini pun menjelaskan “ledakan sosial” yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998, kala orang-orang Cina tersebut jadi “target kolektif” massa.

Mempertimbangkan semua hal di atas, jadi wajar bila melihat gejolak sosial yang terjadi belakangan di sekitar pemilihan gubernur DKI Jakarta. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok belakangan begitu banyak mendapat tekanan akibat dugaan penistaan agama.

Mendadak, semua jadi serba hitam-putih. Bila Anda mendukung Ahok, seakan sudah pasti Anda mengkhianati ajaran-ajaran Islam. Bila Anda adalah Muslim sejati, sudah sepatutnya Anda menuntut Ahok untuk dipenjara.

Namun sesungguhnya, posisi Ahok serba salah karena ia adalah keturunan Cina, sesederhana itu. Sejarah bangsa ini telah berbicara dengan sendirinya bahwa ia adalah “target kolektif” di tengah pusaran politik nasional.

Belum lagi melihat berbagai cara yang dilakukan masing-masing kubu untuk “membakar” suasana. Dahulu, Vladimir Lenin telah menjelaskan pada kita soal propaganda dan agitasi.

Menurut Lenin, propaganda merupakan penggunaan argumen-argumen filosofis, sejarah, dan ilmu pengetahuan dengan cara persuasif untuk memengaruhi kaum terdidik dan yang berpikiran sehat. Sementara itu, agitasi adalah penggunaan slogan-slogan emosional, parabel-parabel, dan kebenaran yang diungkap sebagian untuk memengaruhi kaum yang tidak terdidik, kaum yang agak terdidik dan yang tidak berpikiran sehat.

Teori Lenin tersebut jadi relevan dengan keseharian kita saat ini, kala debat filosofis jadi keseharian rutin dalam membela pasangan calon favorit jelang pemilihan gubernur. Di sisi lain, kebenaran hanya diungkap sebagian untuk memproduksi hoax dan agama telah jadi bahan bakar utama dalam beragitasi.

Sementara saya, minoritas keturunan Cina ini, hanya bisa bertanya tanpa henti, “Apa ruginya bila saya mati hari ini?”

@viriya paramita