Wednesday, April 5, 2017

Prof. Dr Bambang Kaswanti Purwo, Sang Pencerah Buat Ahok


DUNIA HAWA - Tahun 1984, pemerintah mengeluarkan kurikulum untuk sekolah tinggi baik SMP dan SMA dilaksanakan secara nasional. Saat itu terjadi  Kebingungan guru bahasa Indonesia tentang kurikulum baru tersebut. Kejadian ini berdampak pada masifnya pendidikan bahasa Indonesia. Diindikasikan saat itu telah terjadi masa kegelapan, terutama menyangkut konteks (teknis dikenal sebagai pragmatik) yang diamanatkan dalam kurikulum.

Di tengah-tengah ketidakpastian itu, Prof. Dr Bambang Kaswanti  Purwo dengan susah payah mencoba untuk mencerahkan guru sekolah dan calon guru tentang mengajar bahasa Indonesia dengan cara pragmatis. Untuk mendukungnya, pria kelahiran Yogyakarta, 19 April 1951 ini mempublikasi Titian Kemahiran Bahasa: Sekolah SIGNIFIKAN PERTAMA (A Pathway to Language Proficiency) pada tahun 1994, sebanyak tiga volume.

Sebelumnya dia juga telah menulis sebuah buku pegangan untuk guru bahasa berjudul pragmatik Dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurrikulum 1984 (Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Mengungkap Kurikulum 1984), sebuah buku yang mencoba untuk mengungkap gagasan-gagasan yang dikenal paling pragmatik dan cara hadir merancang bahan ajar sesuai dengan didukung kurikulum 1984.

Jika dulu Bambang menjadi sang pencerah bagi para guru, kini dia hadir sebagai pencerah dalam sidang kasus dugaan penistaan agama yang didakwakan kepada Basuki Tjahja Purnama yang biasa dipanggil Ahok. Posisinya sebagai ahli bahasa benar-benar diperlihatkan oleh Bambang. Tidak hanya dalam memaparkan kasus ini dari tinjauan bahasa, tetapi juga dia meladeni pertanyaan hakim dan jaksa penuntut yang menggali soal kasus ini.

Dicerca JPU


Di sidang ini, dia ahli menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Misalnya saja ketika JPU mencercanya menganai kata ‘pakai” dalam kalimat ‘dibohongi pakai Al Maidah’.

Mendapat serangan dari JPU, dengan tegas Bambang menjawab penggunaan kata ‘pakai’ dalam konstruksi bahasa mirip dengan ‘berlindung di balik Surat Al Maidah’ seperti yang tertulis dalam buku.

Dalam sidang tersebut, nampaknya jaksa benar-benar penasaran dengan Bambang. Kali ini jaksa mempersoalkan jawaban Bambang dalam BAP yang mengatakan satu kalimat yang menjadi sumber perkara, “jangan mau dibohongi pakai Al Maidah,” merupkan bukan bagian yang penting dari konteks pidato Ahok. “Anda bukan psikolog, mengapa Anda bisa mengetahui mana yg penting mana yang tidak penting?” tanya Jaksa kepada Bambang.

Bambang yang kebutulan sudah menjadi saksi Ahok sebagai ahli bahasa sejak kasus ini masih ditangani pihak kepolisan sudah pasti tahu betul apa yang akan dijawabnya. “Penting dan tidak penting bisa lewat struktur bahasa. Ada induk kalimat, ada anak kalimat. Yang lebih penting muncul dalam induk kalimat. Analisa saya, struktur tadi, tidak dalam induk kalimat,” jawab Bambang.

Tak puas sampai disitu, Jaksa melanjutkan lagi pertanyaan dengan apakah ada hal sensitif atau tidak sensitif yang terkandung dalam kalimat. Dengan tegas pula Bambang menjelaskan, “sensitif atau tidak, tidak pernah dibahas dalam linguistik. Niat juga tidak ada dalam bahasa.”.

Tegas Manjawab Hakim


Sebelumnya, ketika dikejar dengan berbagai pertanyaan oleh Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto, Bambang pun dengan lugas, tepat dan kosisten menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Saat Hakim Ketua menanyakan yang dipermasalahkan itu dari kata mana samapai kata mana? Dengan tegas dijawabnya bahwa dia fokus pada persoalan yang diangkat di media sosial, dan pemberitaan media massa adalah ‘pakai Surat Al-Maidah 51’.

Kepada majelis hakim dia mengatakan sudah melihat video itu jauh sebelum diperiksa di Bareskrim Polri. Atas pernyataannya tersebut, hakim Dwiarso pun kembali bertanya alasannya melihat video tersebut sebelum diperiksa Bareskrim? Dengan lugas Bambang menjawab, dia melakukannya sebagai ahli. Karena ada kalimat yang dipersoalkan.

Pemahaman Tidak Sempurna


Selain itu, Bambang juga mengungkapkan, orang hanya memahami pidato Ahok sepotong-sepotong, sehingga pemahaman tidak sempurna. Karena tidak sempurna, maka siapa pun berpeluang untuk mengartikannya bermacam-macam. Menurutnya ini berbahaya.

Karena menurut Bambang, dalam pidato Ahok tidak ada kata-kata yang menodakan agama. Adanya kata Al-Maidah, lantaran Ahok menceritakan pengalaman dan keluar pernyataan itu secara spontan. “Konteks dan isi pidato yang sebenarnya adalah soal budidaya ikan dan kelautan. Al-Maidah keluar spontan saja,” Bambang menandaskan.

Untuk memaknai pidato Ahok yang membawanya ke kursi terdakwa itu, menurut Bambang, tidak cukup hanya dari transkrip saja. Karena sangat kecil sekali maknanya. Untuk memahami konteks pidato Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, harus pula melihat gerak-gerik serta mendengarkan intonasi serta memperhatikan tanda bacanya.

Tiga Situasi


Lebih lanjut Bambang mengatakan, ada tiga situasi dalam memaknai pidato Ahok. Situasi pertama, adalah mereka yang menyaksikan langsung. Kedua, mereka yang tidak menyaksikan pidato, tetapi menonton video. Dan ketiga, mereka yang tidak menyaksikan langsung dan tidak menonton video tetapi melihat di media sosial. Dari tiga situasi tersebut, lanjut Bambang, pemahaman paling sempurna adalah mereka yang menyaksikan langsung. Bambang juga mengatakan, hal tersebut tidak hanya berlaku bagi ahli bahasa, melainkan untuk seluruh orang.

Dalam kasus Ahok ini, Bambang melihat justru masyarakat Kepulauan Seribu yang menyaksikan langsung pidato tersebut tidak mempermasalahkan pidato Ahok itu. Karenanya hal tersebut yang dijadikan alasan buat dia tertarik dengan kasus ini.  “Saya hanya ingin memberi pemahaman ke masyarakat bahwa pemaknaan sangat (tergantung) konteks,” ujar Bambang.

Hanya Ilustrasi


Lebih lanjut Bambang menjelaskan, ilmu bahasa tidak membahas peka atau tidak. Juga tidak membahas niatnya. Melainkan hanya membahas makna dan maksud dari suatu kalimat. Karenanya harus diketahui tema atau topik utama yang ingin disampaikan Ahok ketika kunjungan kerja ke Pulau Seribu.

Baginya, secara pemahaman, saat itu Ahok sebagai gubernur ingin program yang dilaksanakan oleh Pemda DKI tetap berjalan di Pulau Seribu, meskipun ada kemungkinan adanya hambatan. “Di situ dia cerita program ini harus berhasil namun dia khawatir program ini tidak berhasil,” ujarnya.

Nah, karena kekhawatiran itu Ahok kemudian menceritakan pengalaman dia tentang Pilkada sebelumnya dibandingkan Pilkada yang akan terjadi. “Sehingga ketika muncul ‘dibohongi dengan Surat Al-Maidah,’ sebetulnya bukan itu fokus utamanya. Itu hanya ilustrasi saja. Yang penting program gubernur berhasil, program budi daya laut di Pulau Seribu,” tegas Bambang.

14 Kata


Dalam pengamatan Bambang, dalam konteks pemilihan kepala daerah di pidato Ahok itu muncul pada menit kesebelas dimana terdapat 14 kata yang menyinggung pilkada. Kata-kata itu antara lain ‘kalau saya tidak terpilih’ dan ‘kalau tidak bisa pilih Ahok program jalan terus’, “Namun dalam pidato tetap yang mayoritas adalah tentang program,” tuturnya.

Dalam sidang tersebut Bambang juga menjelaskan terdapat 2.987 kata dalam pidato Ahok secara keseluruhan. Masing-masing kata ‘Al-Maidah’ dan ‘dibohongi’ muncul sebanyak satu kali dan kata lainnya seperti ‘program’ dan ‘ikan laut’ banyak muncul.

Berdasarkan data tersebut dia berpendapat, pidato Ahok itu tidak ada unsur kampanyenya. “Dalam pidato itu inti yang diangkat adalah mempromosikan progam budidaya kelautan dan budiyaya hasil benih, itu yang saya lihat dari inti pidatonya,” ujar Bambang.

Kuliah Tamu di Universitas Internasional


Guru besar linguistik di Universitas Atma Jaya Jakarta ini memperoleh gelar doktor linguistik di Universitas Indonesia pada tahun 1982 dengan disertasi “Deiksis dalam Bahasa Indonesia”, di bawah bimbingan ahli bahasa Indonesia asal Belanda almarhum John WM Verhaar. Setelah itu ia kuliah tamu di berbagai universitas internasional, termasuk University of Michigan, Ann Arbor, Institute for Advanced Study, Princeton, New Jersey, Institut Max Planck untuk Antropologi Evolusi di Leipzig, dan Northern Illinois University.

Beberapa pekerjaan yang pernah digelutinya antara lain sebagai editor Seri NUSA (Linguistik Studies in Indonesian and Languages in Indonesia) (1980–2013). Kemudian Ketua Program Studi Linguistik Terapan Program Pascasarjana Unika Atma Jaya (1992–1999). Ketua Masyarakat Linguistik Indonesia (1994–1997, 1997–1999).

Masih di lingkungan Universitas Atma Jaya, dia juga pernah dipercaya sebagai Kepala Lembaga Bahasa Atma Jaya (1995–1997). Selanjutnya Kepala Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya (1999–2006). Direktur Eksekutif Penerbit Universitas Atma Jaya (2005–2008) dan Ketua Dewan Guru Besar Unika Atma Jaya (2007–2011, 2011–2014).

Bambang juga termasuk produktif menulis buku. Beberapa karyanya antara lain Deiksis dalam Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1984). Ada juga Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984 (Kanisius, 1990) dan Kekhasan Bahasa Indonesia: Hasil Penelitian 1978–2012 (Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia, 2012)

@adithia renata rakasiwi

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment