Wednesday, April 12, 2017

Penyebab Novel Baswedan Diserang Berulang


DUNIA HAWA - Ada yang bertanya: “Novel diserang berulangkali koq yang lain belum pernah mengalami?” Tidak. Penyidik lainnya juga diteror berulang.

Yang tersulut angkara menghardik:”Pengecut biadab”. Presiden Jokowi murka mendeklarasikan: ”Itu tindakan brutal saya mengutuk keras”. Tim khusus pemburu telah terbentuk.

Tak sedikit kelompok putus asa. Tak lagi mampu berpikir. Antenanya meleot memelas:”Ya nasib mau dibilang apa”. Armada wadah KPK merapatkan barisan:” Novel adalah kami. Kami adalah KPK. Kami tidak takut”

Kenapa Lagi-Lagi Novel Yang Diserang


Dia penyidik senior. Bukan semata itu. Dia paling paham penyidikan. Bukan juga. Terus apa. Dia berani! Keberanian menguak pintu kebebasan berpikir. Keberanian mengokohkan akal sehat.

Berpihak kemuliaan memutus urat takut. Tak lapuk oleh teror. Bukan teror menentukan nasibnya tapi teror ada ditapak kakinya. Memilih dengan sadar rawan risiko adalah sahabatnya.

Orang bilang dirinya telah dia wakafkan. Artinya dia juga telah selesai dengan dirinya. Anti suap siap tak henti melawan korupsi. Mengepalai satuan tugas KPK. Sasarannya sering spesial. Spesial besar dan kuat. Ya ini!

Korupsi Wisma atlet Palembang, suap gubernur BI, suap ijin kebun sawit bupati Buol, korupsi simulator SIM Lantas Polri, jual-beli sengketa pilkada ketua MK Akil Mochtar. Sekarang kasus E-KTP dalam proses.

Semua perkara tuntas. Novel jumpalitan tak karuan. Motornya ringsek ditabrak pengawal bupati Buol. Dikriminalisasi kasus penembakan pencuru burung wallet di Bengkulu. Terluka-luka motornya ditabrak kala menuju KPK. Sekarang disiram air keras.

Mega korupsi E-KTP jaringannya nyaris sempurna. Lebih dua trilliun duit bertaburan. Warna-warni gepokannya menyembur bak cahaya mengisi gerbong-gerbong besar.

Gerbong para anggota DPR, mantan menteri dan menteri. Ada gubernur. Hanya satu yang menolak. Ahok. Memang ada satu lagi penolakan jenis lain yaitu penolakan tak memenuhi kriteria. Kriteria ketamakan. Kiriman gepokan kurang.

Akankah semburannya melintas makin jauh hinggap hingga lori-lori banyak tokoh atau partai atau golongan? Tunggu saja. Bukan tak mungkin dari kawasan luas inilah penyerang bisa berasal.

Pagi tadi di Metro TV Taufiqulhadi dari komisi III DPR berkomentar kasus ini. Tapi komentar beliau sangat normative tak menggigit apapun. Terkesan tak siap tampil.

Diawal berkomentar lebih banyak melihat dibawah meja. Mungkin contekan. Cenderung membela DPR. Antara lain: “Paling penting agar Polri segera mengungkap kasus ini. Kemungkinan diluar sana banyak”.

Tak layaklah bersikap karena pelakunya mayoritas “korps” anggota DPR. Terkesan alergi komen dan penilaian masyarakat dan LSM terhadap DPR. Padahal justru itulah yang dibutuhkan DPR. Poinnya, semua pasti menuntut DPR semakin bermutu.

Masyarakat kadang  skeptis.Tak sedikit pejabat negara lebih bermodalkan ngotot. Yang penting berkuasa dulu kemudian ngotot. Ini juga pernah disetir pakar hukum Yuzril IM.

Kenapa tak komen netral saja misalnya:” Memang disayangkan banyak anggota DPR tersangka korupsi E-KTP. Penyerang Novel bisa datang darimanapun, bisa dari anggota DPR yang terlibat korupsi E-KTP bisa juga bukan”. Lebih elegant.

Masyarakat lebih kritis. Masyarakat akan cenderung lebih percaya kemungkinan jauh lebih besar penyerang datang dari dalam yang terkait korupsi E-KTP.

Wapres JK sendiri berpendapat tak masuk akal pelaku penyerangan semacam ini dilakukan dari mereka yang perkaranya kecil. Mestilah dari yang perkaranya besar.

Kenapa menyerang dengan air keras? Kenapa tak menembak berperedam? Atau cara lain? Tak lagi penting soal apa bentuk dan kadar serangannya. Yang pasti serangan ini adalah signal perlawanan. Perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi oleh KPK.

Sekilas Beratnya Korupsi Di Indonesia


Diyakini mega korupsi E-KTP hanyalah puncak gunung es. Salah satu dari sekian banyak yang belum tampak.  Ketahuannya 4 tahun kemudian. Bahkan yang sudah nampakpun BLBI dan sekian lainnya tak kunjung tuntas.

Andai saja semuanya disasar dan disidik, bukan tak mungkin serangan-serangan balik perlawanan koruptor akan lebih hebat daripada serangan terhadap Novel. Dengan kata lain pemberantasan korupsi di Indonesia jelas bukan perkara enteng.

Ada yang mencetuskan pertanyaan: “Apa ada solusi cepat, masif, praktis dan revolusioner hingga hanya dalam tempo setahun korupsi lenyap dari bumi Indonesia?” Jawaban 1 tidak ada. Jawaban 2 Ada. Jawaban 2 Ada, diulas kelak. Sekarang khusus jawaban 1 tidak ada.

Tak masuk akal mau melenyapkan korupsi di Indonesia dalam setahun. Sejak reformasi lalu sampai sekarang  korupsi menjadi-jadi. Hingga Jokowi menjabat dua kali sekalipun sampai 2024 korupsi takkan lenyap tanpa ada perubahan mendasar dan besar-besaran menyeluruh. Berikut beberapa komparasi berdasarkan info media.

1. Kapasitas KPK. Penyidiknya hanya 150 orang. Jelas tak imbang beban. Bandingkan dengan Hongkong atau Korea yang maju tanpa sumberdaya alam. KPK Hongkong penyidiknya berjumlah 1200 personil. Penduduknya hanya 7,9 juta, Indonesia 250 juta.

Sekedar berdasarkan jumlah penduduk maka seharusnya KPK Indonesia memiliki penyidik 37.500 orang. Luas wilayah Hongkong hanya 1100 km2, sedang Indonesia 5.200.000 km2. Juga bila sekedar berdasarkan luasan wilayah ini seharusnya Indonesia memiliki 5,7 juta penyidik. Intinya hanya bayangan KPK Indonesia miskin jumlah penyidik.

Hongkong dan Korean sama-sama maju. Lebih bermodalkan dan mengedepankan integritas. Harus dimiliki masyarakat. Pemerintahnya harus bebas korupsi. Dunia percaya. Investor percaya.

2) Hukuman Mati Koruptor. Bukan jaminan. Negara yang memiliki hukumam mati membuktikan. China, Taiwan, Singapore, dan Vietnam. China dan Vietnam  korupsi tak mesti triliunan rupiah cukup tigaratusan juta rupiah hukumannya mati. Bukannya korupsi berkurang. Nyatanya menurut CPI dari TI China 4 tahun terahir korupsi semakin bertambah.

Apalagi Indonesia. Surga koruptor. Tak ada hukuman mati. Ada UU no.20/2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Koruptor bisa dihukum mati ketika korupsi dilakukan dalam keadaan negara sedang mengalami bencana alam atau dilanda krisis. Tapi belum pernah dilaksanakan.

3) Tingkat Pertumbuhan bukan referensi handal. TI juga mendapati korupsi terkorelasi kuat dengan kondisi tiap negara. Antara lain GDP/cap. Tapi mana duluan telur atau ayam. Makmur dulu baru korupsi turun atau sebaliknya. Indonesia harus sebaliknya.

@bara bubungan


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment