Monday, April 10, 2017

Karena Kalian, Saya Bosan Menjadi Muslim


DUNIA HAWA - Dalam hidup ini, ada yang membuat saya menjadi seorang muslim, ialah kedua orang tua saya. Almarhum abah saya adalah ketua Tanfidhiah NU di kota saya lahir. Ibu saya muslimat, dan kakak saya fatayat NU. Sedari kecil, saya diajari untuk membaca tahlil, yasinan, al-barjanji, dziba’an, mauludan, ziarah kubur, dan seterusnya.

Saya suka mengamalkan tradisi-tradisi itu, persis seperti kesukaan saya pada layar tancap waktu itu. Tak peduli film apa yang diputar—biasanya sih Rhoma Irama, Warkop DKI, atau suzana—saya akan dengan bangga dan sepenuh keyakinan berjalan kaki berkilo-kilo demi menyaksikan layar tancap di lapangan kecamatan. Saya tak peduli filmnya bagus atau tidak, sebab saya suka menonton film. Saya praktekkan tradisi-tradisi itu, tak peduli apakah tradisi-tradisi itu menyimpang atau tidak.

Tetapi, waktu kecil, saya telah yakin bahwa tradisi-tradisi itu tak menyimpang. Seingat saya, kedua orang tua saya tak pernah terlibat dalam perdebatan tentang tradisi-tradisi tersebut, bukan karena abah saya tak mampu diajak debat, tetapi karena meyakini bahwa mengamalkan tradisi-tradisi tersebut dapat membuat hati merasa tenang dan bahagia.

Bukankah inti dari penghambaan diri kepada Tuhan adalah hati yang tenang? Bagaimana hati bisa mendapatkan ketenangan? “Alaa bizikrillahi tathmainnul qulub”—dengan berzikir. Tahlilan, yasinan, dzibaan, mauludan, dan ziarah kubur adalah bentuk-bentuk zikir kepada Tuhan. Mengingat Tuhan. Merasakan hubungan dengan Tuhan. Menikmati hubungan itu. Bercinta dengan Tuhan.

Dengan pemahaman yang seperti itulah saya diajari kedua orang tua saya untuk mengamalkan tradisi-tradisi itu. Tanpa perlu debat. Tanpa perlu bersitegang soal bid’ah atau tidaknya. Tanpa harus takut dikata-katai bahwa ziarah kubur adalah perkara sesat.

“Biar saja orang bilang perkara ini sesat,” begitu suatu ketika abah saya berkata, “asalkan lebih cepat mengantarkan hati kita untuk mencintai-Nya.” Sesat kata orang, belum tentu sesat di mata-Nya.

Dapat saya katakan: Cara saya di waktu kecil mengamalkan tradisi-tradisi tersebut adalah murni karena dorongan spiritual. Dorongan cinta. Suatu dorongan yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan perdebatan secara akal. Terhadap cinta, akal memang memahaminya. Tetapi tentang rasa cinta, itu adalah wilayah hati. Akal memahami cinta, tetapi hati-lah yang merasakannya.

Dari tradisi-tradisi yang demikian itu, seiring umur saya bertambah, saya semakin tenggelam dalam keIslaman saya. Sedikit demi sedikit, pengetahuan saya tentang agama ini bertambah. Wilayah pengetahuan adalah akal. Semakin ke sini, akal saya semakin terbuka. Seperti tempat penampungan, akal saya menerima pengetahuan-pengetahuan tentang berbagai-bagai ajaran agama ini, dari soal Tauhid, Ibadah, hingga Muamalah. Akal saya mempelajari soal kaidah-kaidah hukum Islam (ushul fiqh), mempelajari pula hukum-hukumnya (fiqh).

Akal saya semakin mengembara. Menyerap segala pengetahuan tentang agama ini. Menyeret saya pada satu kelompok ke kelompok lain, satu madzhab ke madzhab lain. Saya yang sejak kecil secara kultural berIslam secara NU, mendadak dihimpit kegelisahan yang luar biasa. Saya hampir gila. Pertanyaan-pertanyaan memenuhi akal saya soal agama ini. Saya berguru ke mana-mana, dari ustadz-ustadz/tokoh-tokoh Muhammadiyah, kejawen, NII, wahabi-salafi, Hizbut Tahrir, hingga Syiah.

Saya hampir gila karena semakin lama hati saya semakin gelisah seiring otak saya yang terus-menerus bertanya-tanya. Di antara kelompok-kelompok Islam itu, di antara madzhab-madzhab Islam itu, di antara manhaj-manhaj itu—manakah kelompok, madzhab, atau manhaj yang paling benar yang harus saya ikuti??

Saya tuangkan kegelisahan itu dalam suatu naskah yang amat tebal. Bentuknya novel. Judulnya “Kang Narimo Melawan Kodrat”. Saya wakilkan diri saya sendiri pada tokoh fiktif bernama “Narimo” yang karena dihantam berbagai kegelisahan dan pemberontakan batin berupaya hendak melawan takdir-Nya. Naskah itu saya tulis pada tahun 1998, saat dimana saking bingungnya saya tinggalkan semua ritual agama karena saya tidak tahan terhadap klaim-klaim kebenaran dari masing-masing kelompok yang saya ikuti.

Sungguh, hubungan saya dengan Tuhan waktu itu adalah hubungan yang menjengkelkan. Saya jengkel: Sekiranya Islam adalah agama kebenaran, lantas kenapa saya susah sekali menemukan mana kelompok, madzhab, atau manhaj yang paling benar sebab semuanya saling merasa benar sendiri?

Kalau Islam adalah agama pencerahan, kenapa justru ummatnya suka ribut sendiri-sendiri? Kalau Islam adalah agama pembebasan, kenapa ummatnya justru saling terkungkung dengan doktrin-doktrinnya sendiri? Dan kalau Islam adalah agama keselamatan, kenapa sesama muslim justru saling bunuh-membunuh sendiri?

Saya bosan menjadi seorang muslim. Semakin gede, semakin bertambahnya umur, keberIslaman saya sewaktu kecil semakin sirna. Islam yang semestinya menjadi solusi atas segala persoalan, justru menjadi persoalan itu sendiri. Malah, dari buku dan pengetahuan, pada akhirnya saya dapati betapa persoalan ini tidak hanya terjadi dalam komunitas Islam, tetapi terjadi pula pada komunitas non muslim. Saya pelajari sejarah agama-agama, dan justru mengantarkan saya pada kesimpulan: Agama yang sejatinya bisa menjadi solusi terhadap problem kemanusiaan dan keTuhanan justru menjadi problem itu sendiri.

Lalu, sampailah saya pada kesimpulan: Lebih baik saya tak beragama saja. Saya merapatkan diri pada barisan kawan-kawan yang tak beragama. Malah, di antara mereka ada yang percaya untuk tidak percaya Tuhan alias Atheis. Sungguh asyik dan menyenangkannya bisa berkumpul dengan orang-orang yang tidak terlibat dalam problem yang disebabkan oleh agama. Saya menjadi orang yang merdeka!

Itu terjadi beberapa saat. Semakin dalam saya terlibat pada komunitas anti-Tuhan, saya merasai jiwa saya semakin gersang. Hati saya semakin gelisah. Kepada hati ini saya berkata: Tiap orang punya masalah. Masalah yang dimiliki oleh tiap orang bisa sama, bisa pula berbeda. Masalah pun bertingkat-tingkat. Jika 10 orang punya masalah sendiri-sendiri yang harus dipecahkan, apakah sesama mereka bisa saling memberi solusi?

Anda punya masalah cinta. Saya pun punya. Maka, apakah antara saya dan anda bisa saling menasihati tentang cinta dan bisa saling menyelesaikan problem cinta padahal saya dan anda sama-sama menderita cinta?

Pada titik yang demikian, saya sadar kembali bahwa di atas langit masihlah ada langit. Dan langit-langit itu tak ada dengan sendirinya. Pasti ada yang membentangkannya. Jika semua orang memiliki masalah, psatilah harus dicari dan didapatkan Dzat bisa memecahkan masalah. Dzat itu pastilah Maha Segalanya. Dan Dialah Allah SWT.

Pelan-pelan saya bangkit dari keterpurukan jiwa. Saya bebaskan akal saya dari belenggu-belenggu pengetahuan tentang agama-agama. Cukuplah pengetahuan-pengetahuan itu—beserta pemahamannya—untuk diri saya sendiri, tanpa saya harus perdebatkan dengan orang lain. Saya tidak ingin jatuh dalam perdebatan lagi. Toh, tak ada manusia di dunia ini yang sudah pernah tinggal di surga atau mencicipi neraka, lalu berhak mengklaim bahwa dirinyalah yang telah menemukan kebenaran dan berhak mengklaim satu-satunya pihak yang benar.

Jiwa ini saya pupuk kembali dengan amalan-amalan, dengan tradisi-tradisi, dengan cinta dan kerinduan sebagaimana waktu kecil pernah saya miliki. Dan bila saya merasa bosan menjadi seorang muslim (kembali), itu dikarenakan tingkah laku dan teriakan-teriakan kalian yang sok merasa paling suci, paling membela kebenaran, paling Islami sendiri. Islam yang sejati ada pada jiwa. Jiwa yang merdeka adalah jiwa yang saling mengasihi antar sesama manusia, saling menyayangi, saling menebarkan kedamaian. Bukan jiwa bahlul yang saling mencaci-maki….


@taufiqurrahman al azizi


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment