Tuesday, April 11, 2017

ISIS Dibentuk AS, Lalu Umat Islam Ngapain?


DUNIA HAWA - Serangan rudal AS ke Suriah tanggal 7 April lalu memberikan “angin segar” buat ISIS yang semula posisinya sudah terdesak. Pasalnya, yang diserbu AS adalah pangkalan militer yang selama ini dijadikan basis tentara Suriah dalam melawan ISIS. Lalu, serbuan-serbuan AS selanjutnya (dan sebelumnya) yang konon dalam rangka menggempur ISIS selalu saja salah sasaran, yang tewas malah rakyat sipil di Suriah dan Irak. Sudah banyak pengamat menuliskan analisis, dengan berbagai data, bahwa ada AS di balik ISIS. Di video juga ada pengakuan dari Hillary Clinton bahwa AS-lah yang mendanai Al Qaeda, “kakek” yang akhirnya melahirkan ISIS.

Sejarah memang sudah mencatat bahwa AS adalah penjahat perang nomer wahid. Namun, ada satu hal yang penting dicatat terkait ISIS: organisasi teror ini tidak lahir dari ruang hampa. ISIS tidak muncul tiba-tiba saja. Ada sejarah panjang ideologis yang harus diperhatikan dalam mencermati fenomena ISIS.

Genealogi ISIS


ISIS lahir dalam proses Perang Suriah. Secara umum, upaya penggulingan Presiden Suriah, Bashar Assad, dilakukan oleh dua faksi. Pertama, faksi sekuler yang mengusung narasi demokratisasi. Namun narasi ini tidak berhasil. Demo-demo anti Assad tidak pernah mencapai klimaks seperti terjadi di Tunisia atau Mesir. Akhirnya, kelompok-kelompok bersenjata pun turun ke lapangan, diinisiasi oleh jaringan jihad Al Qaida Irak yang membentuk Jabhah Al Nusra di Suriah dan Free Syrian Army (Ikhwanul Muslimin). Selain Al Nusra dan FSA, ada ratusan kelompok jihad lainnya yang ikut bertempur dengan cara-cara khas Al Qaida, meledakkan bom di kerumunan sipil, bom bunuh diri, dan pembantaian massal dengan cara-cara non militer, misalnya dengan menggorok leher. Meski terdiri dari banyak kelompok, para jihadis itu membawa narasi yang sama: penegakan khilafah dan penggulingan Rezim “Syiah” Assad.

Problem utama muncul di titik ini: mereka menggunakan informasi palsu yang sangat masif untuk membuktikan dosa Assad. Misalnya, foto korban pembantaian tentara AS di Irak, atau video kekerasan di Jordan, disebut sebagai korban kekejaman Assad. Bahkan video-video baru sengaja diproduksi masif (misalnya video karya White Helmets). Media-media berlabel Islam bergandengan tangan dengan media mainstream menyebarluaskan foto-foto dan video palsu mengerikan yang menimbulkan histeria kaum Sunni yang mengira saudara seakidah dibantai oleh kaum Syiah. Narasi anti-Syiah ini berhasil membuat puluhan hingga ratusan ribu Muslim dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong datang ke Suriah untuk ‘berjihad’.

Bulan April 2013 menjadi titik balik dari Perang Suriah. Saat itu, dua kelompok bersenjata yang sama-sama lahir dari rahim Al Qaeda, mulai berseteru. Abu Bakr al-Baghdadi (pemimpin Al Qaida Irak) menyatukan ‘perjuangan’ di Irak dengan Suriah, dengan membentuk Negara Islam Irak-Suriah (ISIS). Deklarasi ini ditentang oleh kelompok Jabhah Al Nusra pimpinan Al Julani. Lalu, dimulailah pertikaian di antara kedua kubu, mereka mengafirkan dan saling bantai dengan cara-cara mengerikan: menggorok leher atau membakar kepala terpenggal.

Dan inilah ideologi dasar kelompok-kelompok jihad Suriah dan Irak itu: takfirisme. Mereka merasa sah berperang dan membunuh siapa saja yang dianggap kafir. Definisi kafir menjadi semakin bias: bahkan sesama Muslim pun bisa didefinisikan kafir. Sayangnya, ini pula ideologi yang dimiliki oleh ormas-ormas (dan partai tertentu) di Indonesia yang sejak awal Perang Suriah terang-terangan menyatakan dukungan kepada para ‘mujahidin’. Satu-satunya alasan dukungan mereka adalah ‘kekafiran’ Rezim Assad.

Mereka selalu menolak melihat konflik dari sudut pandang yang lebih luas. Misalnya, aspek geopolitik dan sikap frontal Suriah terhadap Israel. Sebagaimana terdokumentasi dengan jelas, Suriah selama ini justru pendukung utama perjuangan Hamas. Khaled Mashal selama bertahun-tahun berkantor di Damaskus dan mendapatkan perlindungan keamanan penuh. Oleh UNHCR, Suriah pun tercatat sebagai negara pemberi pelayanan terbaik kepada pengungsi Palestina.

Jihadis Itu bukan Robot, Kan?


Para simpatisan mujahidin di Indonesia secara umum terbagi 3 faksi: pro-milisi Ikhwanul Muslimin (dengan berbagai nama: Free Syrian Army, Jaish al Islam, dll), pro-Al Qaida (antara lain, HTI ada di sini; nama milisinya juga macam-macam, Jabhah al Nusra, Ahrar al Sham, dll), dan pro-ISIS. Dua kelompok pertama mengaku anti-ISIS dan menyatakan diri sebagai “mujahidin murni” sedangkan ISIS adalah adalah buatan AS dan Israel Itulah sebabnya, kalau kita menyebut mereka pro-teroris, mereka akan menolak, soalnya mereka tidak merasa teroris, yang teroris itu ISIS. Di antara mereka ini juga ada yang menulis, ISIS dibikin sendiri oleh Suriah dan Iran, sampai-sampai saya pingin nanya: situ sehat??

Seperti terlihat di video, benar, Barat memang mendukung menyebarnya paham Wahabisme dan terciptanya milisi-milisi berpaham ini. Namun, datangnya para jihadis ke Suriah dan Irak, semata-mata konspirasi AS-kah? Sedemikian hebatnyakah AS dan Israel, sehingga bisa membuat puluhan ribu muslim dari berbagai penjuru dunia datang dengan sukarela ke Suriah dan Irak, mempertaruhkan nyawa, “berjihad”, menjagal sambil berteriak Allahu Akbar? Apakah mereka robot yang bisa disetir dengan remote control?

Tidak, tentu saja. Mereka semua datang karena didorong oleh ideologi kebencian dan takfirisme. Dan siapa yang menanamkan ideologi ini kepada mereka? Tak lain, para ustadz, ustadzah, ormas, partai, atau lembaga yang memiliki ideologi sejenis. Mereka selama puluhan tahun menyebarkan ajaran kebencian itu. Mereka menanamkan doktrin kebencian pada semua orang yang ‘berbeda’ serta kesetiaan kepada syekh-syekh asing dan organisasi transnasional. Ajaran Islam hakiki, yaitu cinta kasih dan rahmat, justru diabaikan.

Mereka, meskipun saat ini mengaku anti-ISIS dan menyebutnya buatan AS, tak bisa menghapus catatan sejarah masa lalu. Yaitu bahwa merekalah yang sejak awal konflik Suriah telah berkeliling Indonesia, menyebarkan kebencian yang dilandasi informasi palsu, sambil menggalang dana, untuk disalurkan kepada para jihadis. Kebencian itu pun disebarkan secara masif melalui jejaring sosial, dengan bantuan para simpatisan, ibu-ibu, mahasiswa, dan masyarakat awam, yang merasa sedang ‘berdakwah’ saat menyebarluaskan berbagai manipulasi informasi konflik Suriah.

Model penyebaran kebencian ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Karena mereka memang berjejaring secara transnasional. ISIS lahir dari sebuah proses panjang ajaran kebencian yang akhirnya mencapai puncak kebengisannya, yang menakutkan semua orang, kecuali pemerintah AS.

@dina sulaeman



Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment