Sunday, March 12, 2017

Inilah Pemenang Sebenarnya di Pilgub DKI 2017


DUNIA HAWA - “ … secara ksatria dan lapang dada saya menerima kekalahan saya dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta ini.” Itu sepenggal pidato “kekalahan” Agus Harimurti Yudhoyono setelah jumlah suara yang ia peroleh dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu paling sedikit dibanding kedua pasangan calon (paslon) lain, Ahok-Djarot dan Anies-Sandi.

Agus mengaku kalah. Dengan begitu, logikanya, ada yang menang. Dalam hal ini, pemenangnya akan ditentukan di putaran kedua April nanti. Ketika pola pikir ‘bertarung’ dikedepankan dalam mencari solusi, pada akhirnya memang akan ada yang menang dan ada yang kalah.

Segala amunisi pun disiapkan untuk perang. Penganut agama Islam yang mayoritas terlihat begitu seksi untuk dijadikan target meraup suara. Maka, agama yang seharusnya ada di level tertinggi kesadaran hidup manusia pada frekuensi ilahiah dengan mudah diturunkan ke level yang sangat rendah pada frekuensi hewaniah demi kepentingan nafsu. Isu-isu sensitif dimainkan dengan menggedor akal dan mengocok emosi secara kasar.

Amunisi lain: membidik kelemahan atau kekurangan lawan. Ini sangat terlihat dalam sesi debat di putaran pertama lalu. Dan sudah barang tentu Ahok sang petahana-lah yang menjadi sasaran serang kedua paslon lain. Sekecil apa pun kekurangan yang dilihat, jadikan itu titik sasaran tembak. Buat hal itu menjadi seolah begitu besar artinya. Abaikan betapa banyak keberhasilan yang sudah ia capai selama ini. Kasih saja nila setitik, kan bakal rusak susu sebelanga.

Sedihnya, mereka tampak menikmati cara-cara yang tidak ‘berhati’ tersebut dan sekaligus dampaknya. Setidaknya, tidak terlihat ada upaya mendinginkan suasana dari kubu para paslon. Saling cela, saling ancam, olok-olok, caci-maki, hingga saling tuntut di ranah hukum berseliweran di dunia maya dan dunia nyata.

Sukses atau Sukses?


Serangan dari masing-masing kontestan begitu dahsyat. Sukseskah? Kalau tujuannya mengobrak-abrik ketenteraman dan kedamaian rakyat, bolehlah dibilang sukses. Lihat saja, tak hanya rakyat Jakarta tapi juga rakyat Indonesia secara umum ikut bertarung. Yang tadinya berteman, sekarang jadi lawan. Yang awalnya follower, sekarang harus rela di-unfollowed. Yang semula memuji, sekarang membenci.

Tak hanya kondisi politik yang jadi karut marut, tapi juga sosial makin kusut. Rakyat terpecah, bangsa pun, duh (bisa-bisa), terbelah. Tapi memang itulah konsekuensi dari sebuah pertarungan. Harus ada korban.

Tapi jika tujuannya mengalahkan lawan, tunggu dulu. Sebagai pihak yang ‘harus dilawan’ untuk dikalahkan, Ahok-Djarot justru meraup suara terbanyak pada putaran pertama. Kalau sistem Pilkada DKI sama dengan daerah lain, tentu pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Sandi sudah terlempar kalah, dan Ahok-Djarot menang.

Namun begitu, tetap saja kemenangan Ahok-Djarot akan tetap meninggalkan ‘kekalahan’ di sisi lain: kekecewaan, kesedihan, dendam, amarah, dan sakit hati dari para pendukung paslon yang dikalahkan. Untuk mengembalikan suasana hati mereka tentu butuh waktu yang tidak sebentar. Buktinya, sampai sekarang barisan sakit hati dari ajang Pilpres 2014 lalu tetap dengan garang mengumbar dendam.

Ubah Pola Pikir, ah!


Akankah pola pikir “bertarung” masih dianut pada putaran kedua Pilgub DKI ini untuk menjatuhkan sang petahana dari kursinya? Kemungkinan sangat besar, masih. Kubu Anies-Sandi terus menggalang kekuatan untuk mengalahkan Ahok-Djarot. Setali tiga uang, kubu Ahok-Djarot juga terus memperkokoh barisan untuk mempertahankan kemenangan.

Sementara itu, di akar rumput, ejek-mengejek, umpat-mengumpat, dan sejenisnya juga tetap terjaga kelestariannya. Capek, bukan? Bahkan hanya membaca tulisan ini hingga baris ini, energi kita seakan terisap nyaris kering.

Sebetulnya, untuk mencari dan memilih pemimpin Jakarta mendatang tidak harus mengorbankan begitu banyak energi dan meninggalkan begitu banyak dendam dan sakit hati. Cukup dengan mengubah pola pikir “bertarung” dengan pola pikir “berembuk”.

Dengan mindset tersebut, kampanye tetap diadakan, bukan untuk saling berkompetisi, tapi bagaimana membangun kolaborasi. Debat tetap dilakukan, bukan lagi menggunakan akal untuk mencari-cari kelemahan lawan, tapi menggunakan hati untuk merangkul kelebihan lawan. Bukan berusaha mengungguli lawan, tapi berusaha saling melengkapi. Tidak lagi memaksakan kehendak, tapi menyelaraskan kehendak. Sebab, tujuan akhir mereka sama, kok: membangun Ibu Kota dengan lebih baik.

Bisa dibayangkan dampak dari itu. Rakyat justru akan bersatu dan bergotong royong (satu ciri khas bangsa Indonesia yang makin langka sekarang ini) karena bakal punya pemimpin yang berbudi. Tak ada lagi perpecahan di akar rumput akibat berpihak pada satu paslon—lha wong kedua paslon saja berangkulan mesra.

Jika Anies-Sandi memang menjual kepemimpinan yang adem dan tidak membuat rakyatnya ketakutan—seperti yang mereka gembar-gemborkan selama ini, inilah saatnya untuk menunjukkan bahwa merekalah calon pemimpin dengan kualitas seperti itu.

Bukankah akan adem jika dalam debat nanti Anies-Sandi mengakui semua keberhasilan program Ahok-Djarot selama memimpin (karena saya yakin dalam hati kecilnya mereka mengakui itu), dan kemudian meminta izin kepada sang petahana untuk melanjutkan keberlangsungannya jika mereka terpilih.

Bahkan jika perlu mengajak Ahok-Djarot untuk membantu program-programnya dari sisi lain. Dengan begitu, rakyat Jakarta tetap diuntungkan. Bukan mengecilkan keberhasilan dan membesarkan kekurangan lawan, lalu menawarkan program baru yang membuat rakyat bingung.

Bukankah akan adem jika dalam kampanyenya, Anies-Sandi melontarkan pernyataan yang membesarkan hati Ahok untuk tetap tegar menghadapi masalah dan mengajaknya untuk fokus membangun Jakarta. Bukan malah memanfaatkan keterpojokan Ahok itu untuk menjatuhkannya.

Kalaupun ternyata akhirnya Anies-Sandi tidak terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta nanti, mereka tetap akan menjadi pemenang. Menang karena telah mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Menang karena telah menyelamatkan rakyat dari perpecahan yang mungkin terjadi. Dan, ini yang penting, menang atas dirinya sendiri. Karena, bukankah musuh terbesar manusia itu adalah dirinya (baca: nafsunya) sendiri.

@hyu


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment