Friday, March 31, 2017

Aksi 313: Murni Kepentingan Politik Anis-Sandi


DUNIA HAWA - Sudah lama tak menulis. Kali ini rasanya tak terbendung lagi menuangkan isi budi ini. Tak tertahankan karena begitu banyak peristiwa yang harus kita maknai akhir-akhir ini.

Apalagi semakin mendekati tanggal pencoblosan putaran kedua Pilkada DKI, tensi politik semakin tinggi. Kedua pasangan semakin gencar meluncurkan taktik dan intrik politiknya masing-masing. Mereka berlomba meyakinkan warga Jakarta untuk memilih mereka. Seluruh kemampuan dan senjata politik dikerahkan. Mulai dari program-program sampai pada blusukan-blusukan untuk mengkomunikasikan programnya kepada warga DKI. Seharusnya seru dan asyik.

Tapi sayang. Hari ini, Jumat, 31 Maret 2017, ada demonstrasi, yang dinamai dengan aksi 313, yang mengajukan tiga tuntutan. Pertama, meminta pemerintah menghentikan upaya kriminalisasi terhadap para ulama. Kedua, meminta Presiden Joko Widodo bertemu dengan perwakilan massa aksi. Ketiga, meminta Presiden Joko Widodo untuk segera memberhentikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari jabatan Gubernur DKI Jakarta karena menjadi terdakwa kasus dugaan penodaan agama. 

Mari kita perhatikan ketiga tuntutan ini terlebih dahulu. Tuntutan pertama meminta pemerintah menghentikan upaya kriminalisasi terhadap para ulama. Terhadap tuntutan ini kita harus katakana sedikit mengada-ada, sebab sejauh kita ketahui bersama tidak ada ulama yang dikriminalisasi. Dikriminalisasi di sini harus dimengerti dijadikan seperti seorang kriminal, dihukum sekalipun tidak bersalah. Sejauh ini, siapa ulama yang dilaporkan ke kepolisian tanpa ada dugaan? Lagi pula, siapa pun orangnya, baik warga biasa, pejabat maupun pemuka agama, sama kedudukannya di hadapan hukum. Maka jika ada dugaan tindakan pidana, silakan dihukum.

Tuntutan kedua meminta Presiden Joko Widodo bertemu dengan perwakilan massa aksi. Terhadap tuntutan kedua ini harus kita tanya, ‘untuk apa?’ Ada dua kemungkinan. Pertama, karena mereka tidak dipanggil presiden ke istana ketika beberapa waktu lalu presiden mengundang ormas-ormas Islam ke Istana. Kedua, ingin mencederai presiden jika tuntutan ketiga tidak dikabulkan, sebab pada aksi 212 mereka tidak berhasil ‘menyandera’ presiden. Kenapa presiden tidak menemui mereka? Karena tidak perlu. Sebab jawaban dari tuntutan mereka sebenarnya sudah mereka dapatkan jauh hari sebelumnya.

Tuntutan ketiga meminta Presiden Joko Widodo untuk segera memberhentikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari jabatan Gubernur DKI Jakarta karena menjadi terdakwa kasus dugaan penodaan agama. Terhadap tuntutan ketiga ini harus kita katakan, ‘Kok tidak bosan-bosannya yah menuntut sesuatu yang tidak perlu dituntut melalui demo (aksi)?’ Sebenarnya tuntutan ini sudah diajukan sejak Ahok menjadi gubernur DKI, setelah Jokowidodo menjadi presiden, dengan alasan kafir dan aseng.

Lalu kalau hari ini mereka menuntut hal yang sama dengan alasan seorang terdakwa sudah sepatutnya diberhentikan jadi gubernur, apakah sebenarnya sama saja mereka mau menuntut hal yang sama dengan alasan yang lebih masuk akal. Maka sebenarnya tujuan tuntutan ini hanya untuk memberhentikan Ahok dari jabatannya sebagai gubernur. Padahal sejak Ahok aktif kembali sebagai gubernur pasca cuti, Mendagri sudah menjawab tuntutan ini. Jadi tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi.

Akal busuk dibalik aksi 313


Jika ketiga tuntutan itu sudah terjawab jauh hari sebelumnya, untuk apa aksi 313? Untuk jalan-jalan, menghabiskan waktu, tamasya, atau …..?

Dua kemungkinan. Pertama, makar dengan menjatuhkan pemerintah yang sah saat ini. Hal ini sangat masuk akal jika dikaitkan dengan tuntutan kedua yang meminta presiden menemui mereka. Bisa saja ketika sudah ditemui, mereka punya alasan untuk melakukan makar. Hal ini dikonfirmasi pula penangkapan korlap aksi dan sekaligus sekjen FUI, Khaththath beserta empat terduga lain dengan dugaan makar.

Apakah yang akan terjadi andai polisi tidak menangkap terduga makar dan presiden menemui mereka? Mungkin saat itu juga Indonesia akan kehilangan pemimpinnya. Tetapi syukurlah itu tidak terjadi dan memang melakukan makar itu tak semudah yang mereka pikirkan. Dan semoga juga mereka tidak ingin melakukan makar.

Kedua, kepentingan pilkada DKI dengan tujuan menghentikan langkah sang petahana melalui pemerintah dan sekaligus menunjukkan bukti bahwa intimidasi di setiap TPS itu bisa saja terjadi pada saat pencoblosan 19 April nanti.

Apalagi di satu kesempatan, Al- Khaththath mengatakan:

“Karena ini (aksi 313-red) dalam rangka konsolidasi umat Islam dalam menghadapi 194 (19 April), umat Islam tetap harus semangat dan memenangkan gubernur muslim Jakarta,”

“Ini bagian dari kelanjutan aksi nanti adalah agar umat Islam tetap semangat bela Allah, bela Rasul, bela Al Quran, bela Islam dan memenangkan gubernur muslim Jakarta,” 

Jadi tak bisa dipungkiri bahwa aksi ini sarat kepentingan politik, bahkan bisa kita katakan aksi ini murni kepentingan politik. Kepentingan politik cagub-cawagub no. 3, sebab hanya pasangan nomor tiga yang cagubnya seorang muslim. Dan ini sangat mengerikan.

Mengerikan, sebab jika hari ini pilkada DKI sudah diwarnai SARA, maka akan sangat mungkin ke depan, di mana pun di Indonesia ini, isu SARA khususnya agama akan menjadi alat politik. Jika mereka menang, dapat dipastikan seluruh pilkada dan pemilu ke depan akan sarat isu SARA khususnya agama.

Mengerikan, karena agama yang mestinya membawa damai dan menjadi sarana Allah untuk menyelamatkan manusia dari perbudakan dosa, akan menjadi alat manusia memuluskan hasratnya meraih kekuasaan pemerintahan. Agama yang sakral itu akan menjadi sekular. sayang yah…..

Mengerikan, karena jika sesuatu yang sakral saja sudah menjadi alat, apalagi kekuasaan akan sangat rentan digunakan demi memuaskan keinginan pribadi. Maka kita jangan berharap lagi ada pemimpin di negeri ini yang bersih dari kepentingan. Jangan lagi berharap pemimpin yang memimpin pemerintahan demi kemajuan daerah, bangsa dan negara. Ngimpi.

Mengerikan, karena Indonesia akan kembali ke masa lalu ketika jargon mayoritas dan minoritas kembali ke takhtahnya. Indonesia, yang notabene terdiri dari pulau-pulau, yang penduduknya terdiri dari mayoritas dan minoritas keagamaan, akan terpecah-belah. Di mana agama mayoritas akan menjadi penguasa. Ah… Mirisnya… Bhineka Tunggal Ika akan lenyap.

Mengerikan, karena demokrasi yang sudah kita perjuangkan sampai berdarah-darah ini akan hancur lebur tak berbekas. Perjuangan para pahlawan demokrasi masa lalu itu akan tinggal nama, bahkan mungkin dianggap penghianat.

Dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, dengan jargon tenun kebangsaan dan pemimpin pemersatunya, menganggap ini hanya kebebasan berpendapat-karena mendukung dirinya. Sementara lawan, yang diserang kanan-kiri-muka-belakang, tidak berhak mengungkapkan pendapatnya, yang Anies anggap sebagai pemimpin yang memecah-belah bangsa.

Anies… sebenar-benarnya, jika engkau sadar bahwa Andalah pemecah belah bangsa. Engkau memantik perpecahan dengan membawa agama sebagai alat kampanya. Tolong, jangan bawa Allah berkampanye, demi bangsa Indonesia ke depan!

Dan jika aksi ini tidak ada hubungannya dengan kampanye dan kepentingan politik Anies-Sandi, verifikasi, luruskan dan himbau agar tidak ada lagi politik berbau SARA.

Salam dari rakyat jelata

@mora sifudan


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment