Dunia Hawa - Salah satu biang kerok kesemrawutan pengelolaan negara kita adalah partai politik. Partai-partai kita diisi oleh tikus-tikus, maling-maling. Anggaran kita sudah dipreteli sejak di komisi anggaran DPR. Orang-orang partai berlomba menyunat anggaran, untuk memenuhkan kocek mereka, serta pundi-pundi partai. Korupsi dimulai di situ. Nanti di daerah duit itu diperebutkan lagi oleh tikus-tikus di daerah.
Parpol sering kali jadi penyandera. Ada orang-orang baik di DPR atau eksekutif. Tapi mereka masih tergantung pada parpol. Pilihannya, melawan dengan resiko terlempar dari dunia politik, atau patuh pada partai. Kebanyakan memilih patuh. Akhirnya kita terus menerus disuguhi pemandangan lingkaran setan kebusukan politik. Tidak ada akhirnya.
Ahok mungkin satu-satunya yang berani melawan. Ketika Jokowi menjadi presiden, Ahok yang akan jadi gubernur mulai hendak disetir oleh Gerindra, partai yang mencalonkannya. Tapi dia menolak disetir. Akhirnya Ahok memutuskan untuk keluar dari partai. Kini saat hendak maju lagi pada pilkada, Ahok dengan berani membuat keputusan untuk lepas dari ikatan partai.
Sebenarnya mudah bagi Ahok untuk dapat dukungan partai. Ia adalah pertahana, sekaligus calon kuat untuk terpilih kembali. Partai-partai akan antri meminangnya. Tapi tentu mereka tidak akan mau mendukung tanpa syarat. Syarat mereka sungguh banyak. Para calon yang akan maju biasanya harus menyiapkan sejumlah mahar untuk bisa dicalonkan. Berapa jumlahnya? Bisa belasan bahkan puluhan miliar rupiah. Itu untuk tingkat kabupaten/kota. Untuk tingkat provinsi, apalagi provinsi "basah" seperti DKI, mahar mungkin bisa mencapai seratus miliar.
Inilah salah satu pangkal korupsi. Orang butuh modal banyak untuk berpolitik, dan terpilih untuk jabatan politik. Maka ketika ia terpilih, ia akan korupsi untuk mengembalikan uang yang sudah mereka setorkan tadi. Maka ia akan mencari berbagai jalan untuk mencuri uang rakyat.
Pada setiap pemilu kita selalu dihadapkan pada keranjang-keranjang berisi buah-buah busuk. Kita dipaksa memilih di antaranya. Tidak memilih tidak akan membuat keadaan lebih baik. Karena dengan tidak memilih, tetap saja akhirnya buah-buah busuk yang terpilih. Karena itu kita perlu saluran penyelamat, yaitu saluran independen.
Ibu ibu menyumbangkan KTPnys buat Ahok |
Pada pilkada sudah mungkin adanya calon non-partai. Ridwan Kamil adalah orang non-partai yang jadi walikota, meski ia tetap memakai dukungan partai. Ahok nanti akan mencoba maju tanpa partai. Kalau Ahok sukses, besar kemungkinan Kamil juga akan mengikuti jejaknya. Keduanya akan menjadi preseden baru dalam politik kita.
Di masa depan kita harus mendorong agar calon-calon independen non partai untuk bisa bertarung di pemilu. Harus makin banyak orang merdeka di pemerintah maupun parlemen kita. Hanya dengan cara itu partai-partai akan berubah sikap menjadi lebih baik. Karena bila tidak baik, orang akan lari meninggalkan mereka. Sekarang ini orang hanya bisa lari dari satu partai ke partai lain. Keluar dari kubangan taik kerbau, masuk ke kubangan taik sapi. Sama saja. Dengan adanya calon independen, maka orang mungkin akan punya pilihan, tidak lagi masuk ke kubangan.
Jadi, mendukung Ahok bukan saja mendukung kepala daerah yang baik, tapi juga mendukung bergeraknya arus baru, arus perubahan dalam politik Indonesia.
[DR.Hasanudin Abdurakhman]
No comments:
Post a Comment