Wednesday, February 15, 2017

Surat Cinta Terbuka Buat SBY

DUNIA HAWA 

Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang semoga tetap kuat, tabah, dan tidak galau dengan peristiwa-peristiwa mengejutkan yang dapat mengganggu kenyamanan Bapak.

Izinkan saya menulis surat terbuka ini dengan konsekuensi diketahui banyak orang layaknya Bapak menulis “rintihan hidup” di Twitter setelah Antasari Azhar mengungkapkan perasaan karena dalam sejarah hidupnya pernah diperlakukan tidak adil.



Menurut saya apa yang disampaikan Antasari sah-sah saja, sama dengan Bapak yang merasa diperlakukan “tidak adil” oleh (maaf) Presiden Jokowi karena keinginan Bapak bertemu dengan Beliau sampai sekarang belum terealisasi, padahal Bapak akan blak-blakan menyangkut masalah (?) di negeri ini.

Sebelumnya, saya perlu sampaikan kepada Bapak bahwa dalam dua kali Pemilu, saya memilih Bapak, sehingga “alhamdulillah” Bapak menjabat Presiden RI hingga dua periode. Saya senang, suara saya tidak sia-sia.

Susilo Bambang Yudhoyono
Bahwa dalam perjalanannya, Bapak sebagai pemimpin negeri ini menghadapi tantangan dan godaan, sehingga banyak hal yang seharusnya dinikmati rakyat belum terwujud, menurut saya biasa-biasa. Wajar, tidak ada manusia yang sempurna.

Saya sampai sekarang menutup mata terhadap informasi juga kritik yang menyebutkan bahwa Bapak gagal memimpin negeri ini selama 10 tahun. Persetanlah itu musuh Bapak yang mencoba “menghidupkan” kembali kegagalan Bapak seperti proyek Hambalang, puluhan pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain. Saya tidak peduli, Pak.

Saya juga tak peduli dengan suara-suara sumbang yang menyebutkan bahwa pemerintahan di Indonesia pernah menerapkan sistem auto pilot saat Bapak menjadi Presiden. Artinya tanpa Presiden (Bapak), semua proses kehidupan dan pemerintahan akan berjalan seperti biasa.

Sekali lagi saya tidak peduli dengan itu semua, meskipun hati kecil saya bersuara: “Malu juga saya memilih Bapak.” Sebagai rakyat biasa yang tidak punya kekuasaan apalagi pengaruh, saya tidak bisa membela Bapak.

Oleh sebab itu saya memberikan apresiasi dan angkat topi kepada Bapak, setelah tidak lagi menjadi Presiden, Bapak masih punya keberanian melakukan pembelaan melalui media sosial (Twitter, Facebook, dan lain-lain) dan sesekali mengundang wartawan lewat acara jumpa pers.

Zaman memang sudah terbuka, tak lagi berjarak dan berbatas. Oleh sebab itulah saya memberanikan diri menulis surat ini secara terbuka. Anggap saja ini surat cinta terbuka saya kepada Bapak.

Seperti halnya Bapak, saya sungguh amat terkejut ketika mendengar Antasari Azhar — dia Ketua KPK saat Bapak menjabat Presiden — mengungkapkan rahasia yang selama ini disimpan rapat-rapat bahwa Harry Tanoesoedibyo (HT) pada suatu hari pernah menemuinya ketika Aulia Pohan, besan Bapak, tersandung kasus korupsi.

Mengutip pengakuan Antasari, HT (katanya atas permintaan Cikeas) minta kepada Antasari agar jangan menahan Aulia Pohan. Tapi Antasari tak mempedulikan pesan HT dan tetap memproses besan Bapak sesuai dengan koridor hukum. Dari sinilah kemudian berkembang opini bahwa Antasari akhirnya dipenjara karena bersangkut paut dengan sikap tegasnya (ketika itu) sebagai Ketua KPK.

Dalam keterangan persnya di Bareskrim Polri kemarin (14 Februari), Antasari juga minta agar Bapak jujur atas kasus (rekayasa pembunuhan) yang menimpanya. Memangnya Bapak selama ini tidak jujur atas ketidakadilan yang menimpa Antasari?

Terserahlah apa jawaban Bapak, yang pasti, saya bisa pahami jika Bapak marah dan merasakan “sakitnya tuh di sini” karena Antasari mengungkapkan fakta-fakta yang dirasakan dan dialami sehari sebelum pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta, perhelatan demokrasi di mana Mas Agus Harimurti, putra mahkota Bapak, ikut di dalamnya.

Saya bisa pahami jika Bapak kemarin pusing tujuh keliling karena apa yang diungkapkan Antasari pasti akan berdampak dengan suara yang akan diraih putra Bapak. Apalagi Bapak sudah terlanjur kepalang basah meminta Mas Agus keluar dari dinas kemiliteran. Kalau batal jadi gubernur, rusak semua impian Bapak.

Jangan putus asa, Pak. Saat saya menulis surat cinta ini, proses pemungutan suara masih berlangsung. Saya yakin, umat tradisional (maaf, Pak, mungkin pendidikannya terganggu) yang tempo hari Bapak galang untuk memenangkan Mas Agus pasti akan konsisten memilih Mas Agus.

Saya percaya semangat “dwi tunggal” yang telah terbangun antara Mas Agus dan Mas Anies tempo hari di Masjid Istiqlal tetap akan terjaga. Seperti yang Bapak lihat, mereka bergandengan tangan mesra sekali, sehingga membuat pasangan Cagub lain cemburu, lho.

Bekas rakyat Bapak bisa memahami mengapa Mas Agus dan Mas Anies harus membangun kemesraan, sebab Anies Baswedan pernah ikut konvensi Partai Demokrat. Informasi yang saya dengar, Anies bahkan pernah berniat maju sebagai Cagub DKI lewat partai yang Bapak pimpin sebelum Bapak memanggil pulang Mas Agus.

Kembali ke soal pernyataan Antasari. Bekas rakyat Bapak bisa memahami jika Bapak langsung bereaksi dan berkomentar lewat Twitter lalu malam tadi menggelar jumpa pers.

Di Twitter, Bapak menulis seperti ini:

“Satu hari sebelum pemungutan suara Pilkada DKI (saya duga direncanakan), Antasari lancarkan fitnah dan tuduhan keji terhadap saya.”

Saya tidak tahu, apakah Antasari juga merasakan hal yang sama seperti yang Bapak rasakan saat ini bahwa lebih dari delapan tahun yang lalu ia pernah difitnah dan mendapatkan tuduhan keji, sehingga harus masuk penjara?

Izinkan saya berpendapat, fitnah dan tuduhan keji terhadap Antasari jauh lebih maut daripada yang Bapak rasakan. Maaf, Pak, Bapak terpaksa menulis curhat itu lantaran kebetulan Mas Agus mencalonkan diri jadi Gubernur DKI, dan sialnya, Antasari mengungkapkan soal tuduhan itu sehari sebelum pencoblosan.

Saya memberikan apresiasi kepada Bapak yang melalui tim penasihat hukum Bapak telah mengadukan Antasari ke polisi. Jangan setengah-setengah, Pak. Beberkan semuanya di ruang sidang. Jangan merasa gengsi Pak kalau Bapak dipanggil sebagai saksi. Kebenaran harus diungkap. Siapa yang benar, Antasari atau Bapak, biar pengadilan yang memutuskan.

Cobalah Bapak menempatkan posisi sebagai Antasari, Bapak pasti akan merasakan betapa sakitnya diperlakukan tidak adil entah oleh siapa. Saya tidak tahu kadar ketidakadilan, fitnah dan tuduhan keji yang dirasakan Antasari apakah sama kadarnya dengan yang Bapak rasakan?

Saya salut dengan Bapak yang setiap saat selalu mengatakan akan menjunjung tinggi proses hukum dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kasus fitnah penistaan agama yang menimpa Ahok.

Bapak luar biasa. Anjuran Bapak sangat dipatuhi oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menurut saya bahkan mendapat fitnah super keji (menistakan agama) dan memaksanya harus bolak-balik ke pengadilan di saat masa kampanye guna mencari keadilan.

Bapak, lihatlah Ahok yang dengan kepala tegak siap menghadapi segala risiko. Bahkan mati pun Ahok siap, sebab baginya mati adalah keuntungan. Dengan begitu proses hukum terhadap Ahok tidak harus menunggu lebaran kuda.

Semoga Bapak bisa mengikuti jejak Ahok. Ingat, lho Pak, dalam kasus fitnah Antasari, Bapak sebagai pelapor. Posisi Bapak kuat, sama kuatnya dengan para saksi kasus Ahok yang akhirnya ketahuan bohong semua. Masa sih Bapak nantinya tega berbohong di depan pengadilan?

Oleh sebab itu, jika memang kasus-kasus lain yang selama ini cuma sebatas bisik-bisik dan kelak dibongkar Kejaksaan atau KPK, hadapi saja Pak. Kebenaran, jika memang itu benar, pasti akan berada di tempat tinggi. Di tempat yang terhormat. Semoga Bapak berada di sana.

Masih di Twitter, Bapak menulis:

“Apa belum puas terus memfitnah dan hancurkan nama baik saya sejak November 2016 agar elektabilitas Agus hancur dan kalah”.

Maaf, Pak, setahu saya elektabilitas Mas Agus cenderung menurun justru setelah Bapak sering mengeluarkan pernyataan lewat Twitter.

Saya tak habis mengerti, mengapa elektabilitas positif yang sebelumnya berada di putra Bapak, justru beralih secara mencolok ke pasangan Anies-Sandi. Saya hanya bisa menebak-nebak, Anies-Sandi didukung PKS, partai yang lihai membangun opini publik lewat media sosial.

Karena Bapak rajin mengetwit, akhirnya semua kawan dan lawan Bapak berkonsentrasi atau fokus ke pesan-pesan Bapak di Twitter dan melupakan strategi bagaimana memenangkan Agus. Bapak malah jadi olok-olok para netizen. Sedih saya Pak.

Melihat Mas Agus mendapat serangan, termasuk dari kubu Anies-Sandi, di Twitter Bapak juga menulis bernada tanya apakah Agus tidak boleh jadi gubernur?

Sekali lagi saya memberikan apresiasi kepada Bapak, sebab bekas rakyat Bapak akhirnya  juga bisa mengajukan pertanyaan reflektif yang sama: “Apakah Ahok tidak boleh lagi menjadi gubernur?”

Ya, kata-kata seperti yang Bapak tanyakan, sepertinya juga pantas buat Ahok, sebab teriakan teman-teman Bapak, seperti “tangkap Ahok”, “penjarakan Ahok”, bahkan “bunuh Ahok” sudah menjadi makanan sehari-hari buat Ahok dalam hajatan Pilkada Jakarta. Ahok pun berkali-kali digeruduk para pendemo yang jumlahnya mencapai “7 juta” orang. Ngeri sekali, Pak.

Saya tidak bisa memahami perasaan menyayat seperti apa yang Bapak tanggung manakala Mas Agus diperlakukan seperti Ahok.

Saya pikir itu saja dulu surat cinta terbuka saya kepada Bapak. Sudahlah, Bapak tidak perlu galau dan sakit hati.

Ingatlah hari-hari yang telah berlalu saat Bapak membangun kekuatan bersama para pecinta dan penjaga sorga selama masa kampanye. Doa-doa pun kerap Bapak panjatkan, bukan?

Percayalah, Pilkada DKI Jakarta pasti akan berlangsung satu putaran dan memberi kemenangan gemilang buat Mas Agus. Mari kita tunggu beberapa saat lagi.

@gantyo koespradono


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment