Friday, February 3, 2017

NU-Muhammadiyah, Radikalisme, dan Pembaruan Penafsiran

DUNIA HAWA - Beberapa tahun, bulan, dan hari belakangan ini, gejolak radikalisme kembali semarak di Tanah Air. Setidaknya sejak peristiwa Bom Sarinah 14 Januari 2016 lalu, isu demikian kembali bergema dengan kencang di tengah-tengah masyarakat. Berbagai perbincangan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, baik oleh kalangan tua maupun anak muda, sama-sama tak lepas dari hal-hal yang masih bersangkut-paut dengan radikalisme dan terorisme.


Terakhir, aksi 411 dan 212 yang dipelopori oleh FPI dan GNPF-MUI telah membuat persoalan ini memasuki babak baru yang lebih terang sekaligus mengkhawatirkan. Terlepas dari unsur politik yang membungkus kedua demonstrasi itu, agitasi massal di hadapan khalayak plus sorotan kamera media yang terjadi pada keduanya telah menjadikan krisis radikalisme ini jauh lebih besar daripada sebelumnya.

Presiden Jokowi, guna menangkal efek beracun dari radikalisme yang tengah naik daun ini, beberapa kali melakukan kunjungan ke berbagai instansi, termasuk ke kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah.

Tercatat, tiga hari sebelum aksi 411, Presiden Jokowi mengumpulkan para petinggi NU dan Muhammadiyah beserta MUI di Istana Negara untuk membahas aksi yang akan berlangsung. Tiga hari seusai aksi 411, Presiden mengunjungi Sekretariat PBNU lalu melanjutkan sowan ke Kantor PP Muhammadiyah sehari setelahnya.

Dalam pertemuannya dengan kedua organisasi Islam terbesar di Tanah Air tersebut, Presiden secara garis besar mengapresiasi dan memotivasi keduanya untuk terus menjadi pengayom bagi moderasi Islam di Nusantara.

NU dan Muhammadiyah sejak dulu senantiasa didengang-dengungkan sebagai penjaga garda terdepan bagi citra Islam yang moderat, toleran, dan ramah di Negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Dilihat dari kiprah keduanya sepanjang lintasan sejarah, peran NU dan Muhammadiyah dalam menjaga kebhinnekaan Republik Indonesia, terutama di kalangan internal umat Islam, memang tidak dapat dimungkiri begitu saja.

Namun, satu hal yang patut disayangkan adalah bahwa roh dan marwah tersebut kini tengah mengalami sakaratul maut akibat tumor ganas radikalisme yang kian parah dari hari ke hari. Bukti yang paling jelas akan hal tersebut adalah masih adanya orang-orang dari kalangan akar rumput NU dan Muhammadiyah yang ikut dalam kedua aksi 411 dan 212 padahal kedua organisasi itu secara resmi mengimbau para anggotanya untuk tidak berpartisipasi.

Bahkan, yang lebih memilukan lagi adalah tidak digubrisnya fatwa terbitan PBNU yang melarang umat untuk tidak beribadah salat Jumat di jalan. Sebagaimana kita ketahui, alih-alih menuruti fatwa itu, umat dari berbagai daerah di Tanah Air justru datang membludaki Jakarta sesuai dengan arahan para pemuka FPI dan GNPF-MUI sehingga jalan sepanjang Monas dan Bundaran HI penuh akibat massa yang melaksanakan salat Jumat.

Mengapa realitas ini bisa sampai terjadi? Dalam pandangan saya, yang demikian itu disebabkan oleh suatu fakta konkret bahwa penafsiran-penafsiran keagamaan mendasar dari NU dan Muhammadiyah pada hakikatnya tidaklah jauh berbeda dengan penafsiran kaum radikal.

Jadi, ketika sebagian warga NU dan Muhammadiyah sadar akan kemiripan tersebut, mereka dengan senang hati bergabung dan mendukung perjuangan kaum radikal, meninggalkan nama organisasi di belakang punggung.

Berikut akan saya ketengahkan beberapa poin mengenainya yang paling umum dan masyhur diperbincangkan.

Masalah Jihad


Kelompok-kelompok radikal memiliki keyakinan teguh bahwa jihad melawan orang-orang kafir, yakni para non-Muslim, adalah satu bentuk kewajiban dan keniscayaan.

Mereka mendasarkan keyakinan ini pada sebuah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Muhammad SAW diutus untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, serta menunaikan zakat.

Barulah kala mereka bersaksi seperti itu, darah dan harta mereka aman dari tangan umat Islam. Mengutip Ibnu Rajab al-Hambali, salah satu ulama klasik yang menjadi rujukan kaum radikal, dalam Jami‘ al-‘Ulum Wa al-Hikam, “Fayuqtalu man aba-l’ Islam,” yakni “Dibunuhlah siapa yang menolak Islam.”

Dengan legal standing seperti itu, mereka meyakini – dan itulah harapan mereka pada masa kemunduran Islam seperti sekarang – bahwa ketika Imam Mahdi dan Nabi Isa datang pada akhir zaman, kedua sosok tersebut akan membunuhi semua manusia, kecuali yang mengucapkan kalimat syahadat.

Dengan begitu, menurut Mulla ‘Ali al-Qari’ dalam Mirqat al-Mafatih, “La yabqa ‘ala wajhil ardhi kafirun ma dama ‘Isa hayyan fil ardh.” Artinya, “Tidak ada tersisa di atas muka bumi seorangpun kafir selama Isa masih hidup di bumi.”

Penafsiran-penafsiran yang diikuti oleh kalangan NU dan Muhammadiyah tidaklah berbeda nyata dengan penafsiran kelompok-kelompok radikal dalam masalah jihad ini.

Pada Muktamar Ke-33 NU di Jombang 2015 lalu, dibentuk rumusan “Khasha’ish Ahl as-Sunnah Wa al-Jama‘ah an-Nahdhyiyyah” yang berisikan karakter-karakter khusus yang mencirikan ke-NU-an. Dalam daftar ciri khas tersebut, hadis tentang memerangi orang-orang kafir sampai mereka memeluk Islam juga dibahas.

Hadis tersebut digunakan sebagai dalil penunjang akan beratnya mengafirkan seorang Muslim karena dengan kekafiran itu, sembari menukil Abdurrahman Ba‘alawi dalam Bughyat al-Mustarsyidin, darah dan harta mereka menjadi tidak terjaga lagi.

Artinya, kendati tidak sekentara kaum radikal, kaum Nahdliyin secara tidak langsung juga berkeyakinan bahwa darah dan harta orang-orang non-Muslim yang tidak menerima Islam tidaklah bisa dipastikan keterjagaannya. Hal tersebut jelas mengarah pada tendensi yang sama dengan kecondongan kaum radikal

Oleh karena itu, bukanlah hal yang aneh ketika kaum Nahdliyin memegang pula keyakinan bahwa Nabi Isa akan turun dari langit untuk membanjiri bumi dengan darah manusia mengingat Imam Nawawi pernah mengatakan, “Wash-shawab anna ‘Isa la yaqbalu illa-l’ Islam.” Maknanya, “Yang benar adalah bahwa Isa tidak akan menerima apapun dari seseorang, kecuali keislamannya.” Begitulah bunyinya seperti dinukil oleh Imam Suyuthi dalam At-Tausyih.

Masalah Meninggalkan Salat dan Menjadi Murtad


Selanjutnya, masalah yang patut menjadi perhatian adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan salat dan murtad.

Dalam hadis Imam Bukhari dikatakan bahwa batas yang membedakan keislaman seseorang dengan kekafiran adalah salat. Barangsiapa yang meninggalkannya, ia telah kafir.

Hadis ini secara bulat disepakati baik oleh Mazhab Syafi‘i yang menjadi rujukan NU maupun kaum radikal serta jumhur ulama lain sebagai legitimasi bahwa orang yang meninggalkan salat telah murtad dari Islam sehingga wajib dibunuh.

Asy-Syaukani menyatakan dalam Nail al-Authar, “Wa illa qatalnahu,” yakni, “Jika ia tidak bertaubat, ia kita bunuh.” Praktis, hanya Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya yang lebih “moderat” kala mereka menghukumi para peninggal salat dengan hukuman penjara, bukan hukuman mati.

Masalah Khilafah


Apabila pada ketiga masalah di atas NU-Muhammadiyah memiliki kebersetujuan dengan kelompok-kelompok radikal, kini kedua organisasi Islam terbesar di Negeri Zirbad ini boleh dibilang tidak berdaya menghadapi argumentasi kaum radikal.

Kaum radikal sangat menjunjung tinggi eksistensi khilafah yang hanya dengannyalah, bagi mereka, umat Islam bisa meraih kejayaaan di dunia. Mereka berdalil dengan hadis yang termaktub dalam Musnad Ahmad bahwa kekhilafahan Islam akan muncul sekali lagi setelah lewat masa kerajaan-kerajaan yang menyombong dan lalim.

Dalam pandangan mereka, setelah Dinasti ‘Utsmaniyyah runtuh pada 3 Maret 1924 dengan lengsernya Sultan Abdul Majid, kekhilafahan Islam pasti akan muncul lagi sesuai dengan janji Nabi Muhammad SAW. Karenanya, berbagai golongan dalam umat telah berupaya mendirikan lagi institusi khilafah sejak awal kejatuhan Ottoman terlepas dari manhaj atau cara mereka yang berbeda dalam mematerialisasikan ide itu.

Orang-orang NU dan Muhammadiyah tidak bisa menampik keadaan ini sebab hadis yang dijadikan hujah oleh kaum radikal adalah sahih berdasarkan keterangan para ahli hadis sehingga tidak memungkinkan untuk ditolak. Seumpama hadis tersebut ditolak, artinya iman kepada segala ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW tidaklah sempurna.

Harus Berani Memperbarui


Berkaca pada realitas di atas, bila NU dan Muhammadiyah tetap ingin menjadi pelindung keberwujudan NKRI dari himpitan kaum radikal, pembaharuan penafsiran-penafsiran keagamaan yang bersenada dengan penafsiran radikal harus dikerjakan.

Memang, pembaharuan yang mesti dilaksanakan di sini pun cukup radikal karena menyangkut pendapat ulama-ulama terdahulu yang amat dihormati. Namun, jika dipahami bahwa sosok-sosok alim itu hanyalah berijtihad sampai batas kemampuan dan informasi yang tersedia bagi mereka, yang dalam berijtihad pun mereka bisa saja melakukan kesalahan, niscaya pembaharuan ini akan terwujud.

Para cendekiawan NU dan Muhammadiyah hendaknya selalu ingat bahwa Islam adalah agama yang, “Shahih li kulli zaman wa makan,” yakni, “Cocok bagi setiap zaman dan tempat.” Ketika Islam adalah agama yang kompatibel dengan perubahan zaman dan perbedaan kondisi masing-masing tempat di mana manusia berada, membebek nilai-nilai lawas yang berbahaya secara terus-menerus justru bertentangan dengan prinsip utama tadi.

Oleh sebab itu, ulama-ulama NU dan Muhammadiyah haruslah berani.

@r. iffat aulia ahmad argawinata



Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment