Wednesday, February 15, 2017

NU dan Pluralisme Politik

DUNIA HAWA - Melejitnya isu-isu politik menjelang Pilkada serentak pada hari ini, semakin membuat masyarakat terombang-ambing dalam berbagai pusaran kepentingan suara. Bukan itu saja, segala daya dan upaya dilakukan untuk dapat mendulang suara. Terlebih khusus wilayah DKI, di mana Ahok sebagai petahana mencalonkan kembali sebagai calon gubernur.


Ahok yang notabene non-Muslim dianggap sebagai penyulut polemik kepemimpinan dalam Pilkada DKI. Ditambah lagi kasus penistaan agama yang didakwakan kepadanya, menjadikan polemik kepemimpinan dalam bingkai keagamaan semakin pelik.

Hal itu tentunya dijadikan sebagai dalih atas nama agama, untuk tidak memilih atau pun melarang pemimpin non-Muslim. Serangkaian aksi telah dilakukan untuk dapat menyukseskan wacana tersebut.

Apa yang terjadi di DKI justru sangat berbeda dengan daerah lain. Meskipun di daerah lain ada calon yang non-Muslim atau berbeda suku dan ras, tetapi tidak menjadikan polemik tersendiri. Kata orang sih, mungkin gara-gara DKI dan sosok Ahok yang membuat iklim Pilkada DKI berbeda dengan daerah lain.

Sebagai respons politik-keagamaan, Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan ormas keagamaan telah menyatakan sikapnya. Dalam hal ini, dengan dikeluarkannya himbauan dalam penyataan secara tertulis (10/02) oleh Said Aqil Siradj selaku pimpinan tertinggi.

Said menyatakan dalam pernyataannya bahwa warga NU diperbolehkan memilih calon siapa saja dan nomor berapa saja. Akan tetapi, harus tetap bertanggung jawab atas pilihannya. Lebih lanjut lagi, apabila ada organisasi NU mulai dari pusat hingga ranting, mengarahkan pada partai dan calon tertentu, maka itu tidak sah.

Pernyataan tersebut merupakan respon positif dalam suasana Pilkada yang semakin pelik. NU mencoba menghidupkan wujud inklusivisme politik dalam pelaksanaan Pilkada sebagai bentuk ijtihadnya. Bahkan, sebagai ormas keagamaan pun, NU berupaya untuk memegang teguh khittahnya, yakni tetap mengutamakan inklusivisme keagamaan.

Hal itu menjadikan persoalan agama (berbeda keyakinan) dinetralisirkan dengan cara yang bijak dalam berdemokrasi. NU bisa saja memilih dengan satu pengarahan kepada calon atau partai tertentu. Bisa saja NU pun menjadi bagian dari calon atau partai tertentu. Namun, indepedensi warga NU secara personal dalam memilih tidak bisa digalangkan dalam mendulang suara. Warga NU diberi kebebasan dan kepercayaan untuk memilih dengan hati nuraninya.

Itu semua sebagai bentuk pengakuan hak untuk  memilih. Ya, tentunya dengan melihat kompetensi calon, bukan sedakar “ikut-ikutan” atau gara-gara “satu haluan”.

Apa yang dilakukan NU sebagai wujud inklusivisme politik yang didasarkan pada pluralisme politik. Agama dalam persoalan ini bukan menjadi polemik, tetapi justru kesatuan dalam perbedaan agama menjadi distingtivitas tersendiri.

Inklusivisme politik yang dilakukan NU merupakan wujud pluralisme politik yang perlu disebar-luaskan. Sentimenisasi yang begitu kuat dan mudah terjadi dalam masyarakat Indonesia, atau dengan istilah lain masyarakat Indonesia gampang marah, ngamukan, tersinggung, mudah terhasut, dan lain sebagainya. Yang kemudian menjadikan pluralisme politik menjadi sesuatu yang tidak boleh tidak, untuk diaktulisasikan.

Masyarakat Indonesia yang beragam telah menjadi syarat pluralitas didalamnya. Mengenai pluralitas, menurut Diana Ekc (2003) pluralitas sebagai sesuatu yang alami, given sifatnya. Artinya, itu sebagai sunnatullah dalam Islam. Sedangkan, pluralisme muncul sebagai sebuah prestasi (achievement) dengan diakuinya dan dilaksanakannya nilai-nilai pluralitas tersebut.

Termasuk dalam politik, maka pluralitas yang ada didalamnya tidak dapat dihindarkan. Terlebih lagi, Indonesia yang sangat beragam, menjadikan politik di Indonesia akan senantiasa diwarnai dengan keberagaman. Jadi, sangat mustahil politik di Indonesia akan monolitik dengan para aktor politik yang seluruhnya sama.

Pluralisme politik merupakan solusi alternatif untuk menangkal eklusivisme politik, sehingga diharapkan akan tercapai harmonisasi sosial-politik didalam masyarakat. Bukan itu saja, prestasi (achievement) politik pun akan dapat tercapai dengan mudah, sebagai ganjaran dari pluralisme politik.

Popularitas Indonesia yang dikenal sebagai negara Muslim dengan sistem demokrasi yang baik perlu dijaga dan dirawat dalam dimensi sosial-politik. Bukan berarti ketika ada calon yang berbeda ideologi menjadikan politik demokrasi di Indonesia terpecah-belah, tetapi justru semakin semarak dengan pluralisme di dalamnya.


@ahmad zaki muntafi

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment