Wednesday, February 15, 2017

Ahok dan FPI yang Tidak Pernah “Sehati”

DUNIA HAWA - Kasus Ahok telah berjalin kelindan dengan berbagai kompleksitas persoalan yang melengkapi. Tidak ada yang bisa menebak kapan semua sengkarut yang membelit akan usai. Sementara, di ujung sana perpecahan demi perpecahan dalam ranah sosial kehidupan tak mampu lagi dibendung.


Arus media digital turut memberi kecamuk psikologi masyarakat yang memang sedari awal tengah dirundung dilema. Semua masih menunggu dengan harapan membuncah agar pelik persoalan dalam kehidupan berbangsa segera mereda.

Kita semua mafhum bila jeli mengamati situasi, kasus Ahok tidaklah berdiri sendiri. Banyak aktivitas dan kepentingan politik menggelayut menanti jatuhnya buah masak untuk dimakan bersama demi mengenyangkan kelompok mereka. Lebih tepatnya sekarang ini asumsi atas Polemik Ahok disebut sebagai bagian utuh untuk menjegal langkah Ahok agar tidak terpilih kembali.

Tingginya elektabilitas dan tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja Ahok menjadi alasan bagi lawan politik untuk mencari cara agar persepsi masyarakat dapat berubah. Sehingga menurut survei dari Denny JA, isu SARA menempati puncak tertinggi dalam hirarki strategi untuk menerjun bebaskan tingkat elektabilitas Ahok.

FPI-Sentris


Maka tak ayal dimulailah, langkah-langkah picik yang dimainkan aktor-aktor politik dalam gelanggang pilkada DKI, melibatkan FPI adalah salah satunya. Bila ditarik ke belakang, pertentangan antara FPI dan Ahok telah dimulai jauh sebelum hingar-bingar Pilkada DKI berlangsung.

Anda pasti mengingat dengan baik, bagaimana FPI mengangkat Gubernur tandingan sewaktu Ahok diangkat menjadi Gubernur Jakarta oleh Presiden Jokowi. Pemandangan yang terbilang unik dalam dinamika perpolitikan bangsa saat itu.

Hadirnya gubernur tandingan FPI tentu tak lepas dari perpecahan ditubuh legislatif yang turut menjadi inspirasi bagi mereka. Sehingga apabila isunya telah menggelinding hebat sampai saat ini adalah satu kekonsistenan dalam memainkan social hegemonic. Sifat tak kenal lelah diusung oleh FPI dalam melakukan demi penolakan terhadap Ahok.

Terlepas dari spekulasi yang membayangi, gerak FPI dalam membangun satu speech act dengan maksud memberikan pesan ke masyarakat bahwasanya DKI Jakarta dan Indonesia pada umumnya tengah berada pada ketidakstabilan politik dan ekonomi adalah langkah yang terbilang hebat dalam membangun sekuritisasi (adanya ancaman besar). FPI mempropagadakan seolah PKI dan persoalan Aseng-Asing tengah menjalar di Indonesia.

Otomatis masyarakat awam dengan psikologi sosial yang dominan irasional dan terkesan emosional akan menjadi sasaran empuk dari setiap propaganda. Psikologi masyarakat dimainkan dengan menghembuskan propaganda haramnya memilih pemimpin non-muslim, berkembangnya paham-paham yang menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai keislaman dan berkuasanya Asing-Aseng di bumi pertiwi.

Bila dibawa pada teori struktur dan agen, Bourdieu, FPI saat ini tengah melancarkan doxa (doktrin) secara terus-menerus dalam kesadaran kolektif masyarakat sehingga akan terbentuk habitus (nilai-nilai yang dipahami bersama) berdasarkan pada konstruksi FPI. Sehingga, agen-agen FPI melalui laskar-laskar yang dimiliki akan bergerak ke basis masyarakat untuk kemudian bersama-sama mendobrak struktur baku agar digantikan sesuai dengan nilai-nilai FPI dan masyarakat pada umumnya.

Dengan mengatakan rezim sekarang ini (struktur yang ada) tengah dikuasai oleh dedengkot PKI, liberalis, dan jauh dari nilai-nilai keislaman adalah senjata ampuh dalam membangun common issues yang memudahkan dalam melakukan mobilisasi massa secara besar-besaran.

Miskonsepsi


Nah, oleh karenanya sebelum jauh terhegemoni, masyarakat mesti diajak berpikir kritis dalam menanggapi persoalan yang muncul. Fenomena FPI sebenarnya tidak terlepas dari kesalahan kita dalam memahami antara terma Islam dan Islamisme, dua konsep yang diusung oleh Bassam Tibi. Konsep ini sangat tepat dalam menganalisis pelbagai isu yang kadung dibalut dengan jubah agama.

Saya tidak ingin berdebat perihal al-Maidah ayat 51 dan Ahok yang dikatakan representasi asing, namun sejauh ini untuk alasan apapun yang lebih rasional bukan bermaksud memuji ataupun berbicara sebagai simpatisan Ahok, tidak, sebab secara subjektif penulis menilai Ahok masihlah dalam koridor yang tepat dalam memimpin berdasarkan indikator-indikator yang ada.  

Menurut Bassam Tibi, konsepsi Islam dan Islamisme adalah dua terma yang mesti dipisahkan secara makna dan implementasi. Islam merupakan suatu kesadaran keimanan, sedangkan islamisme adalah politik yang diagamaisasikan. Meskipun, tidak sedikit yang menentang argumentasi tersebut. Dominan dari sarjanawan islam menyatakan antara islam dan islamisme tidaklah terpisah, konsepsi ini merupakan kesatuan utuh satu sama lain.

Namun Tibi menyangkal, dengan menyebutkan pemahaman akan islamisme bukanlah tafsir tunggal. Baginya, tidak ada satu rujukan otoritatif yang bisa membenarkan bahwa pemahaman islam versi merekalah yang paling benar.

Hal ini, justru memicu perpecahan di kalangan muslim sendiri-suatu sikap yang sangat dibenci oleh Rasulullah. Beragamnya mazhab dalam Islam mesti diterima sebagai bentuk penafsiran atas agama yang tidak kaku. Oleh karenanya, garis demarkasi antara islam (kesadaran keimanan) dengan islamisme (politik yang diagamaisasikan) harus jelas.

Munculnya FPI dapat dikatakan meneguhkan tesis berkembangnya islamisme. Misi-misi keagamaan yang dibawa oleh mereka tidak serta merta membuatnya menjadi rujukan otoritatif atas pemahaman terhadap islam. Masih banyak diluar sana, muslim-muslim yang tidak sepakat dengan cara-cara keras dan memaksa yang dilakukan FPI. Apabila sampai menebar kebencian terhadap sesama dan umat agama lain.

Dalam hal ini tafsiran islam versi FPI dan masyarakat secara umum terjadi, oleh karenanya, tafsiran atas islamisme tidak dapat disamakan merujuk pada konteks ini. Sehingga tak dapat dinafikan, kesadaran kritis masyarakat perlu dibangun dalam memahami tafsiran agama.

Berkembangnya pemahaman islamisme yang terkesan radikal dan keras, disertai misi terselubung untuk menegakkan hukum syariah melalui negara khilafah harus di counter dengan tafsiran islam yang ramah dan universal. Sebab, islamisme yang diusung oleh kelompok fundamentalis ekstrem layaknya FPI didasari atas pemahaman din wa daulah, yang diwujudkan melalui nizam islami (negara islam).

Inilah yang menjadi tugas muslim kritis dan rasional untuk menanamkan pemahaman bahwasanya nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bertanah air sebenarnya telah melingkupi nilai-nilai keislaman didalamnya.


@nabhan aiqani


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment