Monday, January 16, 2017

Moralitas Anies Baswedan

DUNIA HAWA - Dulu saya sangat respek kepada orang ini. Mantan rektor, cerdas dan low profile. Siapa menduga dia bakal jadi orang hebat (saat itu belum jadi menteri). Saya nyaris berpikir orang ini sangat sempurna. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Anies, dirawat sedemikian rupa sehingga nikmat dicerna.


Bayangan saya, kalau orang ini jadi presiden, Indonesia pasti maju. Dia ibarat berlian yang terkubur dalam lumpur.

Tapi tak dinyana, di balik siluet bayangan purwa rupa, ternyata tersimpan sosok ambisius. Manusiawi memang. Tahun 2014, pada saat semua orang berlomba untuk maju sebagai capres, dia pun bertekad maju untuk ikut menjadi Capres.

Dia mulai mengikuti konvensi partai biru berlogo segitiga tribina (Demokrat). 11 nama beredar mengikuti konvensi itu. Tak tanggung-tanggung, nama beliau tepat berada di urutan kedua setelah Ali Masykur Musa yang berada di urutan pertama.

Sayangnya, konvensi segitiga tribina itu gagal meraih simpati. Ekspektasi tidak tercapai, tak ada partai-partai lain yang melirik untuk ajang bergengsi ini karena aura Jokowi sangat kuat. Sulit ditandingi.

Alhasil, presidential treshold yang menjadi syarat mutlak bagi partai-partai untuk menyodorkan calonnya tidak terpenuhi. Jadilah, konvensi itu seperti sayuran basi, nikmat dilihat tapi kecut dikecap.

Lalu ke mana dia berlabuh? Jelas, jalan yang paling aman adalah berkiblat di rute yang benar, karena di sana ada harapan untuk meniti karier yang lebih prestisius. Jadilah dia didaulat sebagai Juru bicara kampanye Jokow-JK. Tagline yang paling fenomenal waktu itu adalah "Gerakan urun tangan".

"Politik itu terlalu penting untuk kita serahkan pada orang-orang tidak terhormat. Urusan pangan, pendidikan, transportasi, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain, itu diputuskan oleh politik. Saatnya kita semua bersama turun tangan untuk mendukung orang-orang terbaik yang menjadi pemimpin politik. Jangan biarkan yang memimpin kita adalah orang-orang yang salah." (Anies).

Dari sini, terceburlah dia ke dalam magnitudo politik yang begitu kuat. Kata-katanya menyuburkan hati pemuda yang penuh jerami, tiba-tiba berubah menjadi hati penuh berani. Singkat kata, Jokowi-JK menang telak. Dia dipilih menjadi menteri.

Namun memang, yang namanya sebuah jabatan tidak pernah berumur panjang. Jokowi punya target yang harus dipenuhi, sementara yang bersangkutan tidak sanggup mengeksekusi. Jokowi tidak butuh retorika, tapi kerja nyata. Sang mantan, akhirnya diresuffle.

Di lain pihak, ada gelagat tercium. Dia menyusun kekuatan untuk 2019, mirip yang dilakukan SBY ketika mempecundangi Mega. Ada pembangkangan terselubung. Tak pelak, Jokowi pun harus mendepaknya.

Menariknya, kali ini dia mulai maju di DKI mengambil peran antagonis, bukan protagonis lagi. Kata-kata yang dulu kerap menjadi inspirasi, kini sudah menguap bersamaan dengan khayalan tingkat tinggi.

Sejak saat itu, saya mulai tidak respek kepada sosok yang satu ini. Terlalu banyak retorika, minim solusi. Seperti kita saksikan bersama debat perdana Gubernur dan Cawagub DKI Jakarta 2017, Anies Baswedan dengan gaya kesantunannya mengatakan, "bukan hanya kerja, kerja, kerja, setiap kerja selalu ada kata atau gagasan."

Dan yang membuat saya sedikit tercengang, Anies Baswedan menekan soal bangun manusia bukan bangun fisik saja. Kata- kata yang begitu syahdu didengar, bak suara alam yang begitu tenang dan damai untuk dihuni.

Memanusiakan manusia itu kadang kontraproduktif bagi mereka yang kurang paham akan nilai-nilai kemanusiaan. Meluruskan benang basah dengan dijemur itu baik, tetapi alangkah lebih bernilainya jika dipastikan terlebih dahulu bahwa sinar matahari cukup cekatan untuk mengeringkan benang basah itu.

Persoalan relokasi adalah persoalan pro kemanusian. Mungkin butuh orang khusus untuk memahahaminya. Tapi kalau menurut saya, itu sudah tepat sasaran.

Apa sebab? Relokasi sudah jelas-jelas menyediakan tempat yg layak huni disertai jaminan kehidupan lainnya. Fenomena relokasi serupa meluruskan benang basah dengan terlebih dahalu memastikan sinar matahari yang cukup cekatan.

Apa daya, dikabarkan pak Anies Baswedan menerobos jalur Busway saat acara debat berlangsung.

Pak Anies Baswedan, minta maaf itu yang disebut dengan moral yang amoral. Kata dan perbuatan harusnya sejalan.


@damianus febrianto edo



Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment