Thursday, December 29, 2016

Perampokan Pulo Mas dan Orang Batak

DUNIA HAWA - “Heii Japikir…kau belikan dulu rokok gudang garam merah di kedai mamakmu..” ujar Tulang Surung sambil memberikan uang receh kepadaku.


Aku bingung. Siapa si Japikir? Namaku Birgaldo. Bukan Japikir. Mengapa aku dipanggilnya Japikir?
“Ya tulang” jawabku sekenanya. Aku cuek saja. Mungkin Tulang Surung sudah pikun. Namanya juga masih bocah umur 6 tahun, tidak banyak tanya ini itu, mengapa begini mengapa begitu.

Aku berlari ke kedai kelontong mamak. Kami tinggal di rumah asrama polisi Jalan Jati Medan. Rumah sederhana itu disulap jadi kedai kelontong.

Sore hari aku melapor sama emak. “Mak siapa Japikir…masak aku dipanggil Japikir sama tulang Surung?”, tanyaku ingin tahu. Emak tertawa. Sambil mengupas kulit bawang emak cerita.

Adalah Japikir Sinaga, di era tahun 1970-an, memadu asmara dengan Santi Boru Butar butar di wilayah Simalungun, pinggiran Siantar.
Saking cintanya, Japikir tidak rela kehilangan kekasih hatinya ini.

Japikir memutilasi Santi Butar butar. Ia lalu memasak organ tubuh kekasihnya. Memakan jantung dan hatinya dan sebagian daging dan sop tubuh pacarnya diberikannya ke tetangga sekitar.

Ujung kisah cinta di kebon kelapa sawit pinggiran Pematang Siantar Sumatera Utara akhir tahun 1972 itu menjadi kisah pembunuhan terheboh di tanah air. Indonesia geger saat itu apalagi Sumatera Utara.

Imbas dari peristiwa pembunuhan yang dilakukan Japikir Sinaga berujung olok-olok. Semua marga Sinaga dipanggil Japikir. Nama Japikir mendadak ngartis. Mirip kisah Sumanto kanibal pemakan mayat atau dukun AS di Deli Serdang.

Sejak saat itu, sebutan Japikir identik dengan marga Sinaga. Di lapo lapo tuak cerita Japikir jadi trending topik istilah jaman sekarang. Kisah cinta paling tragis sepanjang sejarah yang berujung semua marga Sinaga terkena getahnya. Padahal apa hubungannya si Japikir dengan aku bocah kecil yang tidak tahu menahu? Aneh.

Beberapa hari lalu Indonesia mendadak heboh. Pasalnya hampir satu keluarga di Pulomas tewas dibunuh komplotan perampok. Kondisi korban mengenaskan. Mereka dikurung di kamar mandi sempit.

Keenam korban tewas yakni: Ir Dodi Triono, Diona Arika Andra Putri (16), putri Dodi, Dianita Gemma Dzakfayla (8), anak ketiga Dodi, Amel, teman anak korban, Yanti, sopir Dodi dan Tarso (40)

Tidak sampai duapuluh empat jam, polisi berhasil meringkus para pelaku. Keduanya dilumpuhkan di Bekasi. Dua pelaku pembunuhan bernama Ramlan Butarbutar alias Pincang dan Erwin Situmorang.

Tak kalah heboh dengan peristiwa peumbunuhan ini, kehebohan netizen Batak semakin menambah bumbu peristiwa tragis ini. Kontan orang Batak yang kebetulan bermarga Situmorang dan Butarbutar merasa malu dan terpukul. Kutuk sumpah serapah membahana di medsos.

Seorang pemuka Batak yang cukup dikenal tulisannya Suhunan Situmorang seperti kehilangan akal melihat ada dongan tubunya bisa berlaku biadab seperti itu.

Ia bahkan mengecam keras dan meminta maaf sesedih sedihnya kepada keluarga korban. Padahal mungkin Pak Suhunan bukanlah keluarga si pembunuh, hanya karena terikat kekerabatan semarga dari nenek moyang.

Hampir semua netizen Batak mengumpat dan mengutuk perbuatan jahat mereka. Lebih ekstrim lagi caci maki itu dilampiaskan dengan hujatan caci maki seraya bilang bikin malu orang Batak. Bikin malu marga. Tak pantas hidup. Bagusnya ditembak mati saja. Dilenyapkan.

Sumpah serapah juga mengalir deras memenuhi ruang dinding kita dari banyak orang. Netizen yang non Batak juga mengolok olok dengan ekspresi kebencian. Isu Sara berkeliaran. Memancing emosi dan debat kusir yang jika tidak bijak dikelola bisa memantik permusuhan antar suku.

Orang Batak memang punya budaya khas. Budaya Batak itu diikat oleh falsafah dalihan na tolu. Ikatan kekerabatan antar marga yang saling kait mengkait. Setiap orang Batak memiliki family name atau nama keluarga.

Contohnya saya adalah keturunan nomor 17 Sinaga dari cabang Bonor Pande. Berarti generasi ke 17. Ayah saya generasi ke 16. Semua marga Sinaga tentu akan merasa dekat bila bertemu meski secara kekerabatan sudah jauh. Orang Batak menyebutnya dongan tubu atau kawan satu darah dari moyang Sinaga pertama.

Kekuatan falsafah dalihan na tolu ini membentuk tata nilai masyarakat Batak yang menjaga adat dan istiadat tetap lestari.

Dimanapun orang Batak berjumpa, entah di Amerika atau Rusia, mereka akan mudah akrab mesra apalagi jika satu marga. Pembicaraan akan di mulai dengan cerita asal usul atau tarombo. Dari cerita silsilah itu akan tahu di mana bertemu garis keturunan nenek mereka. Hebat bukan?

Nah itu sisi baiknya. Sisi buruknya tentu saja seperti yang aku alami saat masih bocah. Cap atau stempel seperti Japikir tiba tiba menempel di wajahku. Padahal apa urusannya si Japikir yang tinggal di luar kota Medan dengan aku yang tinggal di Kota Medan? Kenal saja tidak. Jumpa saja tidak pernah. Ujug ujug hanya karena ada embel embel marga Sinaga di belakang namanya apakah otomatis aku seperti si Japikkir? Sebel tau!!

Andai si pelaku bernama umum tanpa ada marga tentu lain ceritanya. Misalnya  Juanda si pelempar bom molotov yang membakar bayi Intan Olivia di Gereja Oikumene Samarinda dua bulan lampau. Kita mengutuk dan mengecam dengan keras atas perbuatan si Juanda. Tapi siapa yang tahu siapa Juanda? Sukunya apa? Tidak ada orang yang merasa malu dan bersumpah serapah atas perbuatannya seperti orang Batak kasus Pulomas sekarang. Juanda hanya dirinya sendiri.

Atau juga kisah Sumanto kanibal mayat. Atau kisah dukun Ahmad Suradji seorang pelaku pembunuhan terhadap 42 orang wanita yang mayatnya dikuburkan di perkebunan tebu di Desa Sei Semayang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dari tahun 1986 hingga 1997.
Siapa mereka? Apa sukunya? Tidak ada sumpah serapah caci maki seperti umpatan orang Batak pada kasus Pulomas ini.

Dari sini seharusnya kita bisa belajar bahwa tercorengnya muka akibat perbuatan jahat pelaku pembunuhan yang kebetulan semarga dengan kita tidaklah harus lebay. Boleh marah dan berekspresi mengecam dan bersimpati kepada keluarga korban. Namun hujatan sumpah serapah menuding orang Batak bla bla bla juga salah.

Kejahatan itu lintas suku dan agama. Ia ada karena memang begitulah manusia. Pembunuhan pertama sejak manusia diciptakan itu sudah tercatat di kitab suci. Kain membunuh adiknya Habel hanya karena cemburu Tuhan lebih dekat Habel.

Memaki maki bikin malu orang Batak dan marga serta mengolok oloknya lalu meratapi seakan akan, seolah olah, bukanlah ekspresi bijak yang menyelesaikan persoalan. Saya adalah korban stigma yang tidak adil. Dicap dan distempel sama seperti si Japikkir si pembunuh yang memakan organ jantung hati pacarnya Santi Butarbutar.

Kejahatan itu individual dan tidak terkait dengan suku, agama, keyakinan dan golongan. Tidak fair rasanya dengan pelaku kejahatan lain yang juga brutal dan sadis tapi tidak punya embel embel nama keluarga.

Yang terpenting dan terbaik bisa kita lakukan adalah mendidik anak anak kita dengan nilai nilai kebaikan dan kemanusiaan.
Dari sanalah akan lahir penghormatan akan sesama manusia sehingga setiap anak akan hidup untuk menjaga kehidupan. Merawat kehidupan. Menyiram kehidupan dengan cinta.

Turut berduka cita yang sedalam dalamnya buat keluarga korban. Semoga Tuhan menguatkan dan memberi penghiburan.

Salam

@birgaldo sinaga


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment