Saturday, January 28, 2017

Ketika Blunder-blunder Sylvi Malah Menguntungkan Ahok

DUNIA HAWA - Dulu, saya selalu membanggakan Sylvi kepada rekan-rekan saya yang bertanya tentang politik. Tujuannya supaya rekan-rekan saya tidak terlalu meremehkan pasangan Agus-Sylvi.


Saya selalu mengatakan, pilihan timses Agus untuk gaet Sylvi itu tepat, sebab Sylvi adalah birokrat lama di Jakarta, termasuk di era Ahok. Keuntungannya, dia bisa tunjukkan kekurangan dan aplikasikan apa yang sudah ia pelajari dari Ahok.

Pikir saya, dia sudah termasuk ahlinya. Itu di luar kemungkinan dia bakal jadi tersangka atau tidak lho.

Sayangnya, dalam banyak kesempatan, Sylvi malah sering melakukan blunder. Blunder-blunder itu jelas makin menyulitkan dan memperlemah performa paslon.

Contoh pertama adalah pendapat Sylvi mengenai penggusuran yang berbeda dengan Agus. Agus selalu berujar bahwa tidak akan ada penggusuran terhadap rumah-rumah yang ada di bantaran sungai. Dia akan menciptakan pembangunan yang manusiawi katanya.

Entah apapun caranya. Selama kampanye Agus sempat bilang bahwa nanti akan dibuat mengapung. Yang penting pemimpinnya harus kreatif. Mungkin karena begitu kreatifnya, rumah-rumah bisa dibuat mengapung. Ahok tidak sekreatif itu.

Di sisi lain, Sylvi malah melakukan blunder dengan mengatakan pada warga bahwa warga harus cerdas dalam melihat penggusuran. Apa yang nampak seperti penggusuran itu adalah tindakan untuk membuat warga mendapat hidup yang lebih baik.

“Mereka minta, Bu, jangan digusur. Saya selalu katakan masyarakat harus cerdas. Kenapa mau digusur? Karena akan ditata,” ujar Sylvi di Krukut, Tamansari, Jakarta Barat, Selasa (3/1/2017), seperti yang ditulis detik.com.

Sampai di sini saja, saya yakin Ahok sudah pasti senyum-senyum tidak simetris. Ahok sudah melihat celah untuk menunjukkan ketidakharmonisan pasangan tersebut. Buktinya, di debat pertama Ahok sempat singgung, “Saya bingung. Yang satu bilang mau dibuat mengapung, … tapi Bu Sylvi bilang masyarakat harus cerdas.”

1-0 untuk Ahok.

Blunder yang kedua terjadi di debat pertama. Masih ingat kejadian menarik di sesi 4? Anies memaparkan tentang banyaknya rakyat Jakarta yang tersaingi oleh orang-orang dari luar Jakarta. Artinya, lapangan pekerjaan banyak direbut oleh imigran. Anies kemudian bertanya tentang bagaimana memaksimalkan Timpora (Tim Pengawas Orang Asing).

Pertanyaan teknis begitu sudah pasti akan diberikan Agus pada Sylvi. Agus tidak mungkin sok jago menjawab area yang dia tidak tahu. Nanti jadinya mirip jawaban Prabowo ke Jokowi ketika debat capres dulu, “Apa itu TPID?” Jangan sampai Agus juga tanya, “Apa itu Timpora?”

Betul juga, Sylvi yang berdiri dan menjawab dengan panjang lebar. Pada waktu itu, Sylvi membahas empowerment, modal usaha 50 juta/unit, fasilitas yang membuat masyarakat lebih inovatif, dan lain sebagainya.

Sayangnya, walaupun jawabannya komprehensif, Anies melakukan sindiran ekstra keras dengan berkata, “jawaban Ibu menarik dan kreatif, tapi sayang nggak nyambung Bu.” Sontak gelak tawa meledak di ruang debat.

Mungkin waktu itu Agus langsung tepok jidat kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Memang selanjutnya Sylvi mengelak, “lho, saya kan punya dua kesempatan. Jadi untuk kesempatan kedua ini saya akan bahas tentang pengawasan orang asing.” Haha. Saya yakin kura-kura akan geleng-geleng.

Intemezzo, ini yang membuat banyak orang lebih suka Ahok ketimbang paslon lainnya. Paslon-paslon lain terlalu banyak ngeles dan mengeluarkan kalimat-kalimat diplomatis. Sulit sekali bagi mereka untuk bilang maaf atau “saya salah” atau “saya keliru.”

Lanjut, Sylvi akhirnya menjawab bahwa dia akan memaksimalkan pengawasan orang asing. Menurut saya ini hanya mengulang pertanyaan, “bagaimana cara anda memaksimalkan Tim Pengawasan Orang Asing?”

Kalau ditanya, “apakah anda akan memaksimalkan?” Jawaban “kami akan memaksimalkan” itu boleh-boleh saja. Tapi kalau ditanya, “bagaimana caranya?” Ya lain lagi. Harus teknis.

Ini adalah contoh mengapa banyak sekali hasil survei netizen yang mengatakan bahwa pasangan selain Ahok-Djarot tidak punya kemampuan yang cukup untuk menguasai masalah.

Kemudian, Sylvi melanjutkannya dengan menjelaskan proyek kartu Satu Jakarta. Taktiknya meniru Jokowi, Sylvi mengangkat kartu tersebut. Kemudian Sylvi mengatakan bahwa kartu itu akan dipakai untuk segala hal oleh warga asli Jakarta, baik itu pendataan atau transaksi.

Ahok mengambil kesempatan lagi. Dia pintar sekali melihat celah. Dia lihat bahwa walaupun sudah lama jadi birokrat, Sylvi tidak banyak menguasai birokrasi Jakarta. Seharusnya Ahok berterima kasih karena telah mendapat ide dari serangan Anies.

Ahok balik serang Sylvi. Begini katanya, “Lho, kalau kartu itu, kami sudah ada, namanya Jakarta One.” Nah lho, namanya mirip.

Ahok mempertanyakan kembali, apakah Sylvi mengerti peraturan keuangan yang berlaku terkait dengan pembuatan kartu-kartu semacam itu. Ahok mengklaim sudah disetujui oleh BI, sebab prosedur dan standarnya sudah dikerjakan dan dipenuhi. Bahkan Pemda sudah melakukan MoU dengan banyak bank. Aspek lain, pengadaan dana bergulir itu sudah dievaluasi dan tidak diperbolehkan oleh BI, tetapi Agus-Sylvi masih ingin meneruskan.

Ahok melanjutkan dengan tuduhan bahwa pasangan no. 1 tidak mengerti peraturan keuangan. 2-0. Tepuk tangan riuh terdengar.

Di debat kedua, Sylvi melakukan blunder lagi. Setidaknya saya melihat dua hal.

Pertama, pada saat tanya jawab antar paslon bagian pertama (ada dua sesi tanya jawab). Ketika paslon 1 diberi kesempatan untuk bertanya pada paslon 2, Agus mempertanyakan akuntabilitas dana dari pengembang yang dipakai untuk membangun banyak infrastruktur. Agus mempermasalahkan dana yang tidak masuk dalam kas pemda tersebut.

Ahok kemudian menjelaskan bahwa dia pernah jadi DPR-RI komisi 2. Dia juga yang ikut menyusun UU terkait diskresi tersebut. Ahok mengatakan bahwa menjadi sebuah masalah karena ada aturan pemda yang melarang penerimaan uang administrasi dari swasta. Itulah yang membuat Ahok tidak menarik kontribusi berupa uang, melainkan barang. Pemberian pengembang dilabel kontribusi bagi masyarakat.

Sylvi kemudian menganggapinya kembali. Dengan pongahnya Sylvi mengatakan, “Saya mengerti tentang keuangan negara (saya lupa tepatnya dia berkata apa).” Intinya dia menyombongkan pemahamannya.

Menurut Sylvi uang harus masuk dulu, entah itu dari diskresi atau kebijakan-kebijakan lain. Tidak boleh uang langsung disalurkan ke asisten pembangunan. Selain itu, DPRD harus tahu.

Ahok yang masih punya kesempatan menjawab sekali lagi akhirnya turun dari kursinya. Saya lihat, Ahok senyum tidak simetris lagi. Saya penasaran, serangan apa lagi yang akan diberikannya.

Ternyata betul. Ahok mengatakan, “Kadang-kadang, sama-sama birokrat ini agak lucu. Saya menguasainya. Yang dibilang Bu Sylvi betul, tapi itu mengenai pengadaan barang yang berbeda.” Maksudnya, beda kasus, beda juga dasar hukumnya.

Pengaturan penerimaan kontribusi terkait pengembang tersebut masuk dalam UU keuangan berbasis kinerja. Itu baru diberlakukan tahun 2001. Ahok menyindir dengan mengatakan bahwa walaupun birokrat-birokrat ini sudah lama bekerja, undang-undang tersebut baru diberlakukan semenjak 2001.

Kasarnya, Ahok hendak mengatakan bahwa Sylvi kudet, kurang update. Terbukti bahwa Ahok menutup jawabannya dengan kalimat, “Saya kita Bu Sylvi kurang menguasai UU keuangan berbasis kinerja.”

Haha… Asal anda tahu. Kalau anda menonton debat, anda akan lihat betapa ngakaknya Anies saat itu. Terima kasih untuk kameramen yang sudah menyorotnya.

3-0 untuk Ahok vs Sylvi. Entah sudah berapa kali Agus menutup mukanya dengan kedua telapak tangan.

Puncak blundernya Sylvi adalah ketika paslon no. 1 dan 3 seakan saling berkedip untuk menjatuhkan Ahok. Taktik mereka keren sekali, tapi jahat!

Ketika paslon no. 3 diberikan kesempatan untuk bertanya pada pasangan no. 1, Sandiaga Uno malah bertanya pada Sylvi mengenai apa saja yang kurang dari reformasi birokrasi yang sudah dilakukan Ahok.

Sylvi yang sangat suka dengan situasi itu—sebab strategi mereka diharapkan akan menjepit Ahok—menjawab bahwa birokrasi harus ramping struktur dan kaya fungsi. Ini jawaban yang baik menurut saya, prinsipil sekali. Tapi tunggu dulu. Saya mendengarkannya sambil menunggu tuduhan apa yang akan dilontarkan pada Ahok.

Selanjutnya, menurut Sylvi usaha perampingan dan penataan birokrasi sudah dilakukan. Sayangnya masih banyak kelemahan. Sylvi sepertinya hendak menilai buruk kecenderungan Ahok yang memberikan kredit tinggi bagi orang yang bekerja keras walau tidak sesuai dengan gelarnya.

Sepertinya, bagi Sylvi pekerjaan harus murni didasarkan pada gelar dan latar belakang pendidikan, bukan kerja kerasnya. Maka dari itu Sylvi mengatakan, “Jangan sampai kalau orang disiapkan untuk jadi dokter, seharusnya bukan jadi camat. Kalau orang lulusan IPDN, seharusnya tidak urus air.”

What?!!?? Sylvi menjawab dengan enteng sembari menghadap Anies, tanpa sadar dia membelakangi Agus. Sekali lagi, Sylvi memberikan jawaban yang self-defeating. Pengunduran diri Agus dari kemiliteran untuk naik jadi gubernur menjadi sebuah masalah oleh karena prinsip yang diujar Sylvi tadi.

Entah yang merencanakan naiknya Agus ini siapa. Apakah itu SBY, parpol pendukung, atau bahkan Agus sendiri, saya tidak tahu. Yang jelas mereka pasti migrain sambil memukul-mukul meja dengan seekor ikan tongkol.

Last but not least…

Mungkin lain kali timses Agus harus berpikir ulang untuk memilih birokrat yang diharapkan untuk jadi pesaing Ahok. Sampai sekarang, belum ada yang bisa menandingi Ahok dalam hal penguasaan masalah dan birokrasi.

Saran saya, lebih baik lakukan seleksi atau lelang jabatan cawagub seperti yang dilakukan Ahok pada PNS-PNS Jakarta. Iya. Lelang jabatan cawagub. Cawagub kan juga sebuah jabatan bergengsi. Sandi saja rela keluarkan puluhan miliar demi menjadi cawagub. Saya yakin, cuma sampai cawagub!

Atau kalau perlu, minta rekomendasi Ahok mengenai birokrat mana yang benar-benar menguasai birokrasi dan masalah-masalah di Jakarta. Ketidakandalan akan masalah lapangan akan membuat jawabannya cuma berputar-putar di kalimat, “pemimpin harus kreatif.” Aduh, kasihan.

Saran berikutnya, bisa juga Agus tidak perlu mencari cawagub tetapi mendaftar untuk jadi wakil Ahok. Sayangnya menjadi wakil Ahok pasti tidak mudah bagi Agus, sebab ketika diundang di Mata Najwa beberapa waktu lalu, Ahok sendiri bilang, “[cawagub]Djarot lebih bagus ketimbang cagub lain [Agus dan Anies].”

Saran terakhir, ada baiknya Agus mempertimbangkan untuk mencari cawagub dari penduduk bumi datar. Mungkin di bumi datar banyak orang yang bisa memberikan teori-teori mencengangkan untuk mengatasi banjir dan mereformasi birokrasi.

Saya kira pembaca juga sudah bisa memperkirakan teori apa saja yang akan dicetuskan oleh penduduk bumi datar.

@abel kristofel 


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment