Saturday, December 31, 2016

Sumanto Al-qurtuby ; Gus Dur sebagai Teladan Bangsa

DUNIA HAWA - Jasad Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid boleh terkubur, tetapi spiritnya tidak pernah terkubur. Gus Dur tak pernah mati. Ia selalu "hidup" dan terus memberi penghidupan banyak orang meskipun raganya sudah dikebumikan. Tengoklah ke Jombang. Makamnya tak pernah sepi. Bahkan menjelma menjadi tempat wisata reliji yang selalu ramai dikunjungi banyak orang, baik Muslim maupun bukan. Gus Dur selalu memberi berkah baik saat ada maupun tiada. 


Dulu, ketika belum menjadi almarhum, Gus Dur selalu menjadi kontroversi: dibenci sekaligus dicinta. Bagi yang membenci, Gus Dur dianggap sebagai kiai dan tokoh Muslim yang pro-Kristen, pro-Konghucu, pro-Syiah, pro-Ahmadiyah, pro-minoritas, dan seterusnya. Ia dianggap lebih membela non-Muslim ketimbang Muslim. Anggapan itu keliru besar.

Bagiku, Gus Dur bukan membela Kristen, Konghucu, Syiah, Ahmadiyah, dan minoritas agama atau etnik lain, tetapi membela orang-orang tertindas. Siapapun yang tertindas, tidak peduli mayoritas atau minoritas, Muslim atau bukan, pasti akan beliau bela. Beliau ingin memanusiakan manusia dan tidak rela jika ada manusia tapi tidak dianggap sebagai manusia oleh sebagian kelompok manusia. Proses dan praktek dehumanisasi itulah yang terus dilawan oleh Gus Dur sejak zaman Orde Baru dulu. Dalam konteks ini, maka Gus Dur adalah seorang humanis sejati yang menghargai manusia dan kemanusiaan. 

Gus Dur juga seorang pluralis sejati karena membiarkan "taman" Indonesia dipenuhi oleh aneka ragam "tanaman dan bunga agama dan kepercayaan" yang warna-warni sehingga indah dipandang mata. Gus Dur juga seorang nasionalis sejati karena mengabdikan hidupnya untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia sebagai "rumah bersama" berbagai etnis, suku, dan agama. Pula, Gus Dur adalah seorang pacifis sejati karena terus-menerus membangun spirit perdamaian dan dialog konstruktif dengan berbagai kalangan demi mewujudkan Indonesia damai. 

Demi mewujudkan spirit humanisme, pluralisme, nasionalisme, dan pacifisme itulah, Gus Dur selama hidupnya, baik melalui tulisan maupun tindakan nyata, selalu melawan berbagai kelompok (baik kelompok politik maupun agama) yang arogan dan intoleran yang ingin "mengebumikan" humanisme, pluralisme, nasionalisme, dan pacifisme atas nama ideologi tertentu, partai tertentu, agama tertentu, mazhab tertentu, dlsb. 

Karena spirit humanisme, pluralisme, nasionalisme, dan pacifisme yang begitu kuat itu pulalah, Gus Dur dituduh tidak Islami dan anti-Islam. Padahal, justru karena Gus Dur sangat Islami dan mencintai Islam itulah, beliau menjadi sosok humanis, pluralis, nasionalis, dan pacifis sekaligus.  

Kualitas keislaman seseorang bukan diukur dari fasihnya berbahasa Arab, mahirnya membaca kitab, banyaknya salat dan haji, putihnya gamis, panjangnya jenggot, hitamnya jidat, dlsb. Tetapi dari sejauh mana ia memperlakukan umat lain, sejauh mana ia memanusiakan orang lain, sejauh mana ia menghargai dan menghormati komunitas lain. Inilah makna dari Islam sebagai "rahmat bagi seluruh alam", dan saya melihat dan membaca sosok Gus Dur bak "rahmat untuk alam semesta" yang melampaui batas-batas primordial etnis dan agama. Disinilah Gus Dur merupakan teladan hidup yang luar biasa bagi kita semua. Semoga beliau damai di alam baka...

Jabal Dhahran, Arabia

@Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment