Tuesday, December 20, 2016

MUI, Lembaga Kontra Akal Sehat

DUNIA HAWA - Salah kaprah warisan teolog Islam fundamental yang paling nyata adalah menjelaskan perjalanan risalah Islam secara tekstual, dan mengenalkan peran kenabian Muhammad secara historis. 


Risalah Islam, bila dipahami hanya secara tekstual berpengaruh pada cara pandang dunia. Bila tak menemukan kesamaan dari yang dibaca dalam teks dengan kenyataan yang sesungguhnya, akan mendistorsi mental penganutnya untuk memberontak.

Konsep Islam yang telah masuk dalam batok kepala dengan kapasitas pas-pasan (bisa jadi karena IQnya masi seujung sendok teh) senantiasa menjadi beban moral bila tak terealisasi dalam kehidupan.

Begitu juga memahami kenabian Muhammad secara historis. Dampaknya cukup serius. Karena sejatinya sejarah tak bisa dipahami dengan membaca gerak tokoh melalui tulisan persembahan masa lalu. Supaya tidak merasa sedang membaca Nabi atau merasa sedang memata-matai tingkah laku Nabi.

Ini poin pertama. Kita harus sabar menghadapi kelompok yang merasa akrab dengan Nabi. Jangankan Nabi yang dipahami secara historis, Allah pun dipahami mereka secara Historis.

Jadi wajar bila mereka ngotot berargumen karena merasa mengikuti Allah dan Nabi, karena Allah dan Nabi yang mereka maksud adalah Allah dan Nabi yang mereka baca dalam sejarah.

Agama yang sejatinya sebagai rahmat untuk semesta, para ulama dan pengikutnya justru tampil maksimal menjadi pemaksa.

“Berasal dari” atau “kembali ke”?. Pola mentauladani kenabian Muhammad yang belum dipahami MUI 


Sebagai LSM yang sukses bertransformasi menjadi pabrik pencetak fatwa, tentunya MUI telah memiliki kesadaran penuh bahwa individu-individu di dalamnya telah sampai pada tingkat ketakwaan dan kecerdasan di atas rata-rata masyarakat Indonesia.

Yang menjadi trigger kalangan Islam bermental separatis seperti MUI adalah konsep “Salafuna Assoleh“. Itu bila mereka murni mengabdikan diri untuk Islam.

Konsep Salafuuna Assoleh berbicara tentang gaya hidup menauladani pendahulu-pendahulu yang soleh (Menjalankan Sunnah). Semacam ide animisme namun mengacu pada konteks yang lebih transenden. Itu konsep mulia sebetulnya.

Yang jadi pertanyaan, apakah konsep Salafuuna Assoleh yang banyak diulas dalam kajian-kajian ilmu hadis merupakan ajakan “kembali ke”. Mengenakan pakain yang dipakai Nabi, menggunakan kendaraan yang digunakan Nabi dst? 

Atau konsep itu adalah metode berpikir rasional bahwa generasi muslimin paska Nabi adalah prajurit risalah yang “berasal dari” Nabi?

Bila Nabi pakai gamis berbahan tipis, itu karena tanah Arab beriklim gurun. Bila Nabi di kutub Utara, tentu Nabi akan menggunakan pakaian tebal. Lalu MUI memahaminya bagaimana? yang menjadi Sunnah apakah pakaiannya atau adaptasinya?

Bila kala itu Nabi perang dengan bersenjatakan pedang dan panah, MUI memahaminya bagaimana? pedang dan panah sebagai alat perang yang dipakai Nabi? atau sebagai alat perang yang mutakhir di zaman itu, sehingga Nabi memilih pedang dan panah sebagai perangkat perang kala itu?

Yang masih waras tentu tak mungkin berpikiran Nabi akan membiarkan kita perang di zaman ini dengan pedang dan panah. Kecuali musuh kita hanya ormas-ormas kampung yang senjatanya cuma bambu runcing.

Negeri yang dibangun dengan kuatnya agenda, kini harus lelah karena sesatnya fatwa


Perlu diikrarkan kembali dalam hati kita masing-masing bahwa Negara Indonesia dibangun berdasarkan ide persatuan dan tanah yang kita injak saat ini adalah wadah elegan untuk mozaik ragam etnik, budaya, keyakinan dan agama.

Selesai sampai di sini. Bila ada penampakkan yang keluar dari ide persatuan tentu bukan ide bawaan asli tanah air.

Pelajari sejarah para tokoh yang membangun negeri ini secara dialektis, jangan dramatis. Kenali mereka dari ide persatuan yang diwujudkan melalui gerak pembangunan, bukan dengan cara menghapal dan bertukar quotes.

Pesan ini seharusnya bertujuan lebih luas lagi, bukan hanya kepada MUI, tapi kepada semua masyarakat yang terlanjur meyakini MUI sebagai penyambung lidah Allah. Jangan seperti orang yang krisis figur.

Fatwa haram sana-sini versi MUI adalah bukti lemahnya legitimasi Negara, dan itu sebetulnya pelajaran untuk kita semua. Presiden harus lebih peka, ini bukan soal agama, tapi soal penistaan terhadap ide persatuan. Pahami peristiwa dengan fair!

Fatwa haram terhadap penjualan atau distribusi atribut Natal adalah penistaan terhadap agama. Bayangkan, lembaga yang ngotot mendesak Ahok dipenjara karena dianggap menistakan agama justru membalas dengan hal serupa.

Akal sehat, tonggak ideologi bangsa yang tumbang


Indonesia minus kemerdekaan hanyalah tanah, bukan negara. Indonesia yang merdeka adalah konstruksi pikiran yang lahir karena sebuah kesadaran bahwa kita tidak lagi dijajah oleh tirani kebodohan.

Membiarkan kebodohan bersenandung di atas mimbar politik kita, akan mengembalikan kita pada masa kegelapan yang telah susah payah dihempas oleh para pejuang bangsa.

Pak Presiden, kebiri semua potensi yang beresiko menyuplai ide-ide kehancuran. Hentikan semua gerak yang berawal dari ketidakrasionalan. Bersihkan parlemen dari tubuh-tubuh tanpa kepala. Secara perlahan, singkirkan mereka serta menggantinya dengan pribadi-pribadi yang menjunjung tinggi rasionalitas.

Jangan biarkan dalil agama bertebaran di konstitusi kita. Karena itu tidak fair, itu tidak bisa dibantah, itu tidak ada standart jangka panjang dan jangka pendeknya. Dan kita masih belum cukup bodoh untuk mempercayai penafsiran teks suci yang disampaikan melalui lisan manusia minus akal sehat.

Pak Presiden, anda berkewajiban untuk membangkitkan lagi tonggak ideologi yang tumbang dengan cara menghidupkan akal sehat dalam tubuh pemerintahan serta seluruh elemen bangsa. Jangan bicara tentang perlawanan kepada bangsa asing, bila kedunguan kolektif masih parade di panggung tanah air.

Dan untuk MUI, kalian jangan terlalu percaya diri untuk mewakili kami!

Begitulah kura-kura

@habib acin muhdor


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment