Thursday, December 22, 2016

Beragama Mistik versus Beragama Modern

DUNIA HAWA - Sebelumnya, saya ingin berterima kasih kepada Aura Alifa Asmaradana atas tulisannya yang berjudul "Takut Kafir Mendengar Lagu Natal?" beberapa waktu yang lalu. Dalam tulisan tersebut, Asmaradana memparafrase pendapat dari Bronislis Malinowski mengenai fungsi esensial dari agama. Hal itulah yang sedikit-banyak meninspirasi tulisan saya kali ini.


Branislaw Malinsowski---seorang antropolog terpenting abad 20---menyatakan bahwa sebenarnya fungsi fundamental dari agama itu adalah menciptakan katarsis secara personal kepada pengikutnya. Katarsis sendiri merupakan suatu gejala emosi yang menciptakan kelegaan dan jauh dari pertikaian batin---begitulah kira-kira maksud yang dijelaskan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Agama seharusnya membawa tekanan minggat dari diri kita, menekan prilaku diskriminatif yang primitiv dan melonggarkan beban batin yang membusuk diuluh-hati. Malinsowski percaya bahwa agama sebenarnya--secara esensial---adalah bentuk yang sangat personal terhadap setiap orang. Sehingga agama akan bersifat privat antara manusia dengan Tuhannya.

Agama muncul dalam bentuk mistik di era-era awal peradaban. Melalui jalan mistik yang begitu gaib; agama menjelaskan berbagai hal dengan caranya, termasuk fenomena alam yang kerap terjadi. Lambat-laun, manusia bergantung dengan agama, karena fungsinya yang menentramkan tadi.

Pada masa-masa kejayaan Islam contohnya, agama yang terus berjalan diarea mistik namun tidak membuat pengikutnya abai terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Tokoh-tokoh besar Islam banyak lahir di masa-masa tersebut.

Agama dengan mistiknya lambat laun bergeser ke arah simbol-simbol. Di beberapa pihak, agama yang bersifat personal saja tidak cukup; akhirnya muncul simbol-simbol yang ditujukan menjadi cerminan agama. Masjid, gereja, jilbab, topi Santa, baju koko, dan lain sebagainya sebagai contoh.

Kurangnya sifat untuk tidak berburuk sangka, menjadikan masyarakat kita saat ini sangat terbuai akan simbol-simbol tersebut, tidak buruk memang, tapi perlu kita telaan lebih dalam. Kemudian, saking terbuainya kita melihat agama hanya dari simbol-simbolnya saja. Wanita tidak menggunakan jilbab dicap tidak Islami, atau seseorang tidak rajin datang berkunjung ke masjid dituduh tidak merindukan Tuhan.

Jika kita tarik ke urusan politik misalnya, pemimpin di sebuah daerah haruslah berasal dari agama mayoritas di daerah itu; bukan karena kemampuannya memimpin atau kinerjanya bagus. Ini merupakan tragedi yang sama-sama kita amini di peradaban kita hari ini.

Agama, secara luas membawa dampak yang mendamaikan. Namun akibat kita terlalu sibuk mengurusi simbol-simbol tersebut hingga kita gampang tersulut untuk berkonflik dengan mereka yang bersimbol berbeda. Kita lupa bahwa simbol-simbol agama diciptakan banyak untuk menjadi fasilitator kita untuk berserah kepada sang Pencipta. Bukan sebagai yang disembah. 

Beragama di dunia modern harusnya bukan merupakan sebuah aktivitas formalitas agar tidak dicap tidak-tidak oleh steriotip masyarakat. Agama harusnya menjadi pilihan hidup, bagi mereka yang berkebutuhan terhadapnya. Agama adalah proses menemukan Tuhan dengan tujuan kedamaian penuh. Sehingga lucu ceritanya jika beberapa pihak menegakkan agama dengan membentak-bentak.

Salah satu penyakit beragama di dunia Modern adalah generalisasi oleh masyarakat. Ambil contoh sederhana dari pengalaman saya misalnya ketika saya memutuskan untuk tidak memelihara jenggot, saya dicap sebagai orang yang membuang-buang pahala.

Begitu pula ketika beberapa kolega saya memilih untuk memelihara jenggot, mereka dicap terlalu fanatik. Atau ketika teman saya yang wanita memilih untuk tidak berhijab, mereka dilabelkan sebagai wanita yang tidak sempurna agamanya.

Bukankah, tanpa kita berlaga beragama seharusnya agama sudah sempurna? Penyakit ini terus menjamur dimana jika kita---ya kita semua---masih merasa arogan dan boleh arogan karena kita adalah kaum yang merasa paling dekat dengan Tuhan. Lagi-lagi, potensi konflik yang tak berkesudahan muncul dari sini.

Mengkritik pemuka agama atau agamanya sendiri saja misalnya, seakan melabelkan si pengkritik adalah makhluk yang lalai dan antiagama. Tidak setuju dengan poligami dan bersikeras bahwa ayat di kitab suci harus dilihat berdasarkan konteksnya, tidak bisa hanya dengan pemahaman literal saja.

Hal ini telah membawa kita mendaftar kepada suatu kubu yang bertentangan dengan kubu lainnya. Seakan berbeda pendapat dalam memahami merupakan bentuk pelanggaran beragama dan siap-siap menjadi bulan-bulanan di social network. Hal ini seakan menyadarkan kita bahwa, dunia modern ini, bersatu secara utuh atas nama agama itu merupakan sesuatu yang utopis untuk dicapai.

Beragama di dunia modern memang tidak mudah. Bahkan lebih sulit dibandingkan beragama mistik yang perlu pemikiran dan mempelajari berfilsafat. Didunia modern, agama sudah dikapitalisasi macam-macam. Menjelang lebaran, baju koko diproduksi banyak, karena habit masyarakat kita merayakannya dengan euporia berlebih dan tentunya kocek berlebih pula.

Begitu juga menjelang Natal, segala penjuru toko menjajakan pernak-pernik natal. Tidak salah memang, namun perlu kita sadari bahwa seharusnya hari raya kita rayakan dengan merefleksikan diri, sejauh mana kita memfungsikan agama untuk kita---secara personal---dalam segala sudut sehidupan kita sehari-hari.

Agama di dunia hari ini telihat sudah jauh dari esensinya untuk mengatarsiskan para pemeluknya. Agama dan beragama hanya dicap dari simbol-simbol yang melakat pada tubuh kita. Beragama menjadi suatu yang diharuskan karena tuntutan masyakat, bukan karena kebutuhan kita sebagai makhluk yang lemah di hadapan Tuhan.

Agama sudah menjadi urusan publik dan bukan lagi menjadi urusan pribadi pemeluknya, yang bersifat hak dan hakiki antaranya dan Tuhan yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun.

@lalu m.s. aulia sastra hidayat



Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment