Thursday, August 4, 2016

Bila Muslim Turut Merawat Kelenteng


Dunia Hawa - Pagi itu, ditemani oleh sahabatku Dr. Zainuddin Prasojo dan para santrinya, saya meluncur menyusuri sungai dan Selat Karimata di sebuah kampung nelayan dengan “perahu kelotok” (sebutan warga setempat untuk perahu motor). Tujuan kami adalah mengunjungi sebuah kelenteng unik yang lokasinya berada di tengah laut di daerah Muara Kakap, Kalimantan Barat, sekitar 25 km dari Pontianak. Konon 80% warga Muara Kakap adalah keturunan Cina khususnya Tiociu (dari Guangdong) dan Khek atau Hakka (dari Fujian). Kelenteng itu bernama Kelenteng Timbul atau Pekong Laut (seperti tampak dalam foto ini di atas). Di beranda kelenteng itu tersemat papan nama beraksara Cina: Xiao Yi Shen Tang atau Kelenteng Dharma Bhakti. Saya sendiri tidak paham betul apakah tempat ibadah ini milik umat Konghucu atau pengikut Taoisme. 

Di saat kita sedang dikejutkan oleh tragedi pembakaran sejumlah kelenteng dan wihara di Tanjung Balai, Sumatra Utara, dan amuk massa oleh sejumlah kelompok Muslim yang memilukan dan memalukan, saya melihat pemandangan lain dan menyejukkan di kelenteng ini. Masyarakat Muslim setempat yang umumnya berprofesi sebagai nelayan bukannya merusak kelenteng dan segala pernak-perniknya karena dianggap rumah ibadah orang kafir misalnya. Mereka bahkan justru turut menjaga dan merawatnya. Mereka juga ikut memelihara beragam pernak-pernik sarana ibadah di kelenteng yang konon dibangun pada 1960-an ini, bukan merusak atau membuang pernak-pernik itu ke laut. Meskipun itu gampang sekali mereka lakukan jika mau.  

Selain itu, kelenteng ini juga berfungsi sebagai tempat berkumpul para “mancing mania”. Lokasinya yang di tengah laut memang membuat kelenteng ini sangat cocok dan strategis untuk memancing. Bukan hanya untuk memancing, mereka juga istirahat, tidur, makan-minum, dan menunaikan salat di kelenteng itu. Lo, kok bisa? Pak Edi, warga Muslim asli Bandung yang sudah bertahun-tahun menjadi “penjaga kelenteng” dan menetap di daerah Muara Kakap itu menuturkan: “Yang penting niat saya salat adalah untuk menyembah Allah SWT. Jadi dimanapun saya salat, termasuk di kelenteng ini, tidak masalah karena hati dan pikiranku hanya tertuju pada Allah SWT itu.” Saya hanya manggut-manggut saja mendengarkan penuturan Pak Edi yang waktu itu hanya mengenakan celana kolor pendek warna hitam saja tanpa sehelai kaos atau baju.  

Pak Edi menuturkan, kelenteng itu dibangun di tengah laut supaya tidak diketahui oleh aparat pemerintah Orde Baru dulu yang memang pernah melarang atau “mengilegalkan” atau mencoret Konghucu dari daftar “agama resmi” negara. Meski lokasinya di tengah laut, banyak warga Cina dari berbagai daerah, termasuk Jakarta, yang beribadah di kelenteng ini. Menurut Pak Edi, di dalam kelenteng sudah dilengkapi dengan dapur dan peralatan memasak serta tempat tidur sehigga warga yang jauh dari luar kota bisa beristirahat dan tinggal nyaman beberapa hari di kelenteng.    

Kelenteng, sebagaimana tempat ibadah umat agama lain (masjid, gereja, sinagog, kuil, wihara, atau apapun namanya) hanyalah sebuah “bangunan profan-sekuler”. Manusialah yang membuat bangunan-bangunan itu “suci-religius” dan bahkan “keramat”. Manusialah yang membuat, menjadikan, mengangap, dan mengklaim aneka bangunan itu sebagai “rumah Tuhan.” 

Terlepas dari perdebatan mengenai “konsep rumah Tuhan” ini, yang jelas sikap toleran dan terbuka seperti yang dipraktekkan oleh Pak Edi beserta teman-teman dan warga sekitar di Muara Kakap perlu “dikloning” dimana-mana. Apalagi sekarang ini dimana banyak umat beragama sedang mengidap “penyakit hiperfanatisme” yang mudah tersinggung, gampang marah, dan hobi ngamukan meskipun kadang-kadang hanya dipicu persoalan yang sangat sepele yang tidak ada sangkut-pautnya dengan nilai-nilai fundamental sebuah agama (contohnya adalah “toa masjid”). Toa itu jelas “barang sekuler” dan bahkan “bid’ah” karena Nabi Muhammad jelas tidak pernah memakai “mahluk” yang bernama toa. Tanpa toa pun, Tuhan bisa mendengar suara selirih apapun bahkan bisikan hati hamba-hamba-Nya.

Sumanto al Qurtuby
Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, dan Visiting Senior Research Fellow di Middle East Institute, National University of Singapore

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment