Tuesday, June 21, 2016

Tanya Jawab Seputar Kontroversi Hijab


Dunia Hawa - Betikut tanya jawab seputar hijab :

>> Bagaimana dengan Surat An-Nur ayat 31? Bukankah ayat itu juga bicara tentang perintah jilbab?

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan (menjaga) kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dan hendaklah mereka menutup dadanya dengan kain kerudung mereka … ” (.QS An-Nur : 31)

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari ayat ini.

Pertama, ayat ini bukan perintah memakai jilbab. Dalam artikel sebelumnya sudah diterangkan bahwa jilbab berarti kain lebar yang menutup seluruh tubuh. Sedangkan ayat ini tidak menyebut sama sekali tentang kata jilbab, melainkan kerudung (khimar). Bentuk jilbab seperti yang dimaksud dalam Al-Ahzab ayat 59 kurang lebih seperti ini:

Jilbab bukan lah pakaian yang langsung menempel di badan, melainkan kain rangkapan luar. Kain itu harus cukup lebar untuk membungkus seluruh tubuhnya, bukan hanya kepala. Ada pun kerudung (khimar) yang disebut pada An-Nur ayat 31, hanya lah kain yang menutup kepala.

Jadi sebenarnya terdapat salah kaprah antara jilbab dan khimar dalam Bahasa Indonesia (selengkapnya bisa disimak di sini). Yang sering disebut perempuan Indonesia sebagai jilbab sebenarnya adalah khimar, kain penutup kepala. Banyak perempuan memakai kerudung (khimar) kemudian menyangka mereka sudah berjilbab, padahal belum. Jilbab sebenarnya harus menutup sekujur badan sampai kaki.

Kedua, ayat ini menunjukkan bahwa kerudung (khimar) merupakan konsep berpakaian yang sudah dikenal oleh Bangsa Arab. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa perempuan Arab memang sudah mengenal pakaian tertutup, termasuk kerudung dan cadar (penutup wajah) sejak zaman pra-Islam.

Tertullian, seorang Kristen Romawi dari Tunisia pada abad ke-3 Masehi (400 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad) dalam bukunya De velandis Virginibus telah mencatat, “Para perempuan penyembah berhala di Arab, yang tidak hanya menutup kepalanya tapi juga seluruh wajahnya, sehingga mereka lebih memilih menikmati setengah cahaya dengan sebelah matanya saja ketimbang melacurkan wajahnya, akan menghakimimu.”

Ketiga, ayat ini juga menunjukkan adanya faktor urf (adat/ kebiasaan) yang berperan penting. Hal ini bisa diperhatikan pada narasi yang berbunyi, “kecuali yang (biasa) nampak daripadanya..”. Ada pun bagian yang biasa nampak bisa sangat berbeda antar satu budaya dengan budaya lainnya.

Asbabun Nuzul An-Nur 31 adalah sebuah komplain dari Asma binti Mursyid saat melihat perempuan-perempuan Madinah yang bermain ke kebunnya tanpa menutup dada dan gelang kaki mereka. Komplain ini menunjukkan bahwa ada pelanggaran terhadap nilai kesopanan (etiket) yang menjadi adat di Arab saat itu.

Dalam sebuah riwayat, diceritakan bahwa:

Sa‘îd ibn Abî al-Hasan berkata kepada Hasan, “Sesungguhnya para wanita ajam (non-Arab) selalu menyingkapkan dada dan rambut mereka.” Mendengar itu, Hasan berkata, “Palingkan pandanganmu!” (HR. Al-Bukhari)

Riwayat tersebut semakin menegaskan bahwa menutup dada dan rambut adalah bagian dari adat istiadat perempuan Arab, bukan non-Arab. Sehingga di luar Arab, lelaki Arab lah yang disuruh memalingkan pandangannya, bukan perempuan non-Arab yang disuruh menutup tubuhnya.

Perempuan Nusantara juga memiliki standar etiket yang berbeda dari Arab. Hal ini sangat dimengerti oleh para wali pada periode awal penyebaran Islam di Nusantara. Pada masa itu, perempuan Nusantara bahkan masih biasa bertelanjang dada di luar rumah. Sehingga para wali berijtihad bahwa perempuan Nusantara cukup menutupi payudaranya saja. Sementara bagian tubuh lain seperti rambut dan bahu tidak perlu ditutup karena merupakan bagian, “yang (biasa) tampak dari padanya..” dalam budaya Nusantara.

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat seputar aurat lebih berbicara mengenai etiket (sopan santun/ kepantasan), bukan etika (moralitas). Etiket sangat bergantung budaya dan zaman yang spesifik, ada pun etika bersifat universal. Perintah yang bersifat etiket hendaknya tidak disamakan dengan perintah yang bersifat etika seperti berbuat adil, menyebarkan damai, memberi makan orang miskin, dan sebagainya. Sangat disayangkan ketika orang-orang yang mengaku Islam lebih meributkan etiket, namun mengabaikan etika-etika paling agung yang justru dituntut agama.

>> Al-Qur’an itu relevan sepanjang zaman. Semua aturan di dalamnya tidak bisa dibatalkan dengan alasan apa pun. Jangan lah lancang membatalkan hukum Allah.

Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar Bin Khattab pernah membatalkan sebuah perintah dalam Al-Qur’an. Umar membatalkan salah satu kriteria penerima zakat yang jelas-jelas tercantum dalam Al-Qur’an, yaitu muallaf. Apakah Umar menjadi kafir karena berani membatalkan ayat Al-Qur’an? Apakah Umar seorang yang dilaknat Allah?

Umar punya alasan logis di balik keputusannya membatalkan ayat tersebut. Menurutnya, kondisi Islam pada zamannya sudah berbeda dengan pada zaman ketika ayat itu diturunkan. Islam pada zamannya sudah lebih kuat, sehingga motif (illat) pemberian zakat untuk muallaf yaitu untuk memperkuat Islam tidak lagi relevan. Maka ayat itu dapat dibatalkan. Keputusan rasional yang diambil Umar itu disebut ijtihad.

Hukum-hukum dalam Al-Qur’an memiliki tujuan yang sesuai dengan kebutuhan pada zamannya. Ketika zaman telah berubah dan tujuan-tujuan hukum itu tidak lagi relevan, maka pembatalan dan perubahan hukum untuk menyesuaikan keadaan merupakan sesuatu yang sudah seharusnya terjadi. Ini yang disebut ijtihad. Namun umat Islam hari ini terasing dari tradisi ijtihad, sehingga mereka tidak terbiasa lagi berpikir logis dan mudah mengkafirkan pendapat yang berbeda.

>> Anda bukan ulama, jangan menafsirkan sendiri. Lebih baik ikut saja pendapat para ulama agar tidak tersesat.

Islam berbeda dari agama lain, karena dalam Islam tidak ada otoritas tunggal yang berhak menentukan tafsir agama. Jika dalam Kristen terdapat lembaga gereja dan dalam Buddha terdapat lembaga sangha yang memegang otoritas agama secara turun-temurun, maka dalam Islam tidak pernah ada lembaga semacam itu. Lembaga-lembaga ulama yang banyak kita temukan hari ini adalah inisiatif sekelompok umat sendiri, sehingga otoritas mereka tidak pernah mengikat.

Kata ulama dalam Bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari alim (pria) atau alimah (wanita), yang berarti orang berilmu. Ada pun menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim dan muslimah. Sehingga pada hakikatnya, setiap kita yang mau terus menuntut ilmu adalah para alim dan alimah. Kita semua adalah ulama selama kita mau terus belajar, bukan hanya taklid (percaya buta).

Justru mereka yang percaya buta pada otoritas tanpa menggunakan akalnya lah yang lebih mudah tersesat. Kemunduran agama-agama lain seperti Kristen terjadi ketika otoritas agama mereka ditakuti sedemikian rupa, sehingga ide-ide pencerahan dihambat dan diberangus. Hal yang sama juga terjadi di Dunia Islam ketika para filosof seperti Ibnu Sina dituduh kafir dan buku-buku mereka dibakar. Sebaliknya ketika otoritas agama tidak lagi bersikap otoriter, maka para pemikir terbaik akan lahir dan zaman pencerahan akan tiba.

>> Ada dua lolipop. Yang satu terbungkus rapi, sehingga bersih dan tidak ada lalat yang hinggap. Sedangkan yang satu lagi terbuka bungkusnya sehingga terkena debu dan dihinggapi lalat. Mana yang kamu pilih?

Perempuan adalah manusia, bukan lolipop. Analogi yang menyamakan perempuan dengan lolipop pada dasarnya merendahkan martabat perempuan seperti permen yang tujuannya hanya dihisap dan dinikmati. Analogi ini juga semakin menegaskan bahwa orang-orang yang memaksa perempuan membungkus rapat tubuhnya hanya menganggap mereka sebagai objek belaka, bukan subjek yang bisa berpikir dan berkehendak bebas.

Kalau perempuan disamakan dengan lolipop, lalu laki-laki itu apa? Penikmatnya? Penjilat lolipop?

Bagaimana kalau laki-laki dianalogikan juga dengan lolipop? Laki-laki yang terbungkus rapi itu seperti lolipop, lebih bersih dan terawat. Tapi laki-laki yang membiarkan rambutnya terbuka itu seperti lolipop yang sudah kotor terkena debu. Tidak ada perempuan yang mau dengan lelaki yang rambutnya terbuka. Apakah analogi ini masuk akal?

Tentu tidak. Laki-laki dan perempuan, keduanya adalah manusia. Bukan lolipop, permen, buah, atau objek pemuas kenikmatan lainnya.

>> Dasar liberal. Ini lah akibatnya kalau Anda mengikuti paham liberal.

Liberalisme merupakan sebuah paham yang berpijak pada prinsip kebebasan dan kesetaraan. Sebelum kamu menghujat liberalisme, sebaiknya kamu pelajari dulu apa itu liberalisme.

Kalau kamu percaya bahwa perbudakan dan penjajahan itu salah, maka kamu seorang liberal. Kalau kamu percaya bahwa laki-laki dan perempuan punya hak yang sama untuk mengejar kesempatan, maka kamu seorang liberal. Kalau kamu percaya bahwa semua manusia, tidak peduli apa pun suku, ras, dan agamanya, memiliki hak-hak yang sama atas hidup yang merdeka, bermartabat, dan bebas dari penindasan, maka kamu seorang liberal.

Dan bukankah itu semua merupakan inti dari ajaran Islam?

Maka Islam itu sendiri pada dasarnya merupakan agama liberal (pembebasan). Islam datang untuk membebaskan (liberasi) manusia dari belenggu penindasan, seperti Nabi yang berjuang melawan para penguasa Quraisy yang zalim. Maka ketika ada sekelompok orang yang mengatasnamakan Tuhan kemudian membajak Islam dan menggunakannya sebagai alat untuk menindas sesama, di situ lah kita perlu melawan.

[islam reformis]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment