Thursday, February 9, 2017

Refleksi 2,5 Tahun Perjalanan Anies Baswedan

Nilai Sebuah Kesetiaan


DUNIA HAWA - Seorang bijaksana pernah berkata, “Nilai seorang manusia adalah pada kesetiaannya, apabila manusia tidak lagi setia, ia bukan lagi manusia.”


Benar, siapapun kita dan apapun latar belakang kita, relasi antar manusia selalu didasarkan pada satu hal: percaya bahwa rekan kita tak akan berkhianat. Setiap organisasi, perusahaan, bahkan jaringan mafiapun selalu mencari anggota yang loyal. Tak ada gunanya memiliki anggota yang brillian tapi seorang pengkhianat.

Tapi satu hal inilah yang hilang dari Anies Baswedan, kesetiaan.

Saya tidak main-main dalam hal ini, saya tidak sembarangan memberi Anies cap seorang pengkhianat. Masih segar dalam ingatan kita ketika pada pilpres 2014 lalu Anies dengan gigih membela Jokowi dan menyerang Prabowo.

“Saya makin yakin untuk tidak memilih orang yang sudah menghabiskan uang enggak tahu berapa jumlahnya selama bertahun-tahun beriklan, untuk sebuah posisi, seakan-akan hidup itu hanya untuk jadi presiden. Sementara Jokowi menghabiskan waktu 15 tahun terakhir untuk bekerja mengabdi kepada masyarakat.”

"Tugas kita adalah membantu orang baik agar negeri ini menjadi baik. Kalau kita membantu orang yang bermasalah, jangan-jangan kita akan terciprat dan terseret masalahnya", ungkap Anies saat itu.

Ketika Prabowo dan PKS mencalonkannya di Pilgub DKI 2,5 tahun kemudian, dengan mudahnya Anies berkata bahwa kata-katanya tersebut diucapkan karena ia khilaf.

Tetapi bukan hal itu yang membuat saya menganggap Anies seorang oportunis. Mungkin memang Anies saat ini menyadari bahwa anggapannya terhadap Prabowo dahulu salah dan kini ia ingin memperbaikinya. Jauh lebih dari itu, bukan hanya soal posisi politik, tetapi Anies juga mengkhianati nilai-nilai yang diperjuangkannya selama ini.

Berawal dari kunjungan Anies ke Markas FPI pada awal tahun ini untuk memperoleh dukungan kelompok ekstrem kanan. Para pendukung Anies membelanya dengan mengatakan bahwa kunjungan tersebut untuk menyatukan semua kalangan.

Tapi kenyataannya tidak demikian, siapapun yang melihat rekaman kunjungan tersebut akan dengan jujur mengakui bahwa Anies tidak datang untuk tujuan tersebut. Anies setuju bahkan memuji-muji serta mendukung pemikiran-pemikiran FPI. Pidato Anies di momen tersebut sangat kontradiktif dengan gagasannya dahulu mengenai Tenun Kebangsaan.

Berikut ini saya kutipkan perkataan Anies sebelum ia berbalik arah:

“Tenun kebangsaan itu dirobek, diiringi berbagai macam pekikan seakan boleh dan benar. Kesemuanya terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan brutal. Apa sikap negara dan bangsa ini? Diam? Membiarkan? Tidak! Republik ini tak pantas loyo-lunglai menghadapi warga negara yang pilih pakai pisau, pentungan, parang, bahkan pistol untuk ekspresikan perasaan, keyakinan, dan pikirannya. Mereka tidak sekadar melanggar hukum, tetapi merontokkan ikatan kebangsaan yang dibangun amat lama dan amat serius ini. Mereka bukan cuma kriminal, mereka perobek tenun kebangsaan. Begitu ada warga negara yang pilih melanggar dan meremehkan aturan hukum untuk merobek tenun kebangsaan, sikap negara hanya satu: ganjar mereka dengan hukuman yang amat menjerakan. Bukan cuma tokoh-tokohnya yang dihukum.”

Kira-kira siapa perobek tenun kebangsaan yang dimaksud Anies dahulu? Pasti kita semua sudah tahu.

Lebih jauh lagi, ketika didesak Mbak Nana saat acara Mata Najwa (25/1/17), Anies dengan lugas berkata bahwa pemimpin haruslah seorang Muslim. Bagaimana mungkin seorang mantan menteri pendidikan berkata seperti itu. Pernyataan Anies sudah menghancurkan mimpi-mimpi adik-adik kita non-muslim. Mereka tidak boleh lagi bercita-cita menjadi Presiden, Gubernur, Walikota, bahkan untuk menjadi Ketua Kelas pun jangan harap. Sudah saatnya relawan Indonesia Mengajar digantikan oleh pejuang  Indonesia Menghajar.

Tidak banyak orang seperti Anies yang rela melepaskan perjuangan bertahun-tahun hanya demi kepentingan sesaat. Seberapapun Anda menganggap Jonru bodoh, setidaknya ia masih memiliki satu kelebihan yang tidak dimiliki Anies, yaitu kekonsistenan. 2,5 tahun berlalu sejak masa pilpres, Jonru masih setia mengkritik Jokowi, tapi Anies tidak. Demi jabatan, perjuangan para relawan baik relawan Indonesia Mengajar maupun relawan Turun Tangan dicampakkan begitu saja.

Mungkin sebagian pembaca akan berpikir saya terlalu naif. Bukankah dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan? Benar, tapi bukankah alasan kita mendukung Anies adalah karena kualitas gagasannya? Jika ia sendiri sudah meninggalkan pemikiran brilliannya, apa bedanya ia dari politikus oportunis lainnya?

Kalau dalam 2,5 tahun saja Anies bisa mengkhianati dirinya sendiri, bagaimana mungkin kita percaya ia tidak mengkhianati rakyat Jakarta dalam 5 tahun ke depan?

Pada akhirnya, semua orang penting yang dikenang oleh sejarah memiliki satu hal yang sama: kesetiaan. Sedangkan mereka yang oportunis hanya akan ditelan sejarah, meski ia menang Pilkada sekalipun.


@nurudin akbar



Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment