Thursday, February 9, 2017

Ketika Drama SBY Tak Laku Lagi

DUNIA HAWA - Rasanya sulit untuk tidak ikut mengomentari apa yang terjadi pada Presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, belakangan ini. Twitnya selalu viral dan jadi bahan lelucon netizen di media sosial. Padahal isi twit SBY bukan humor sama sekali. Isi twit SBY justru kadang berisi doa seperti, “Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar “hoax” berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang?”


Dalam twit lainnya, SBY juga memberikan dukungan kepada ketua MUI, KH Ma’ruf Amin, yang dalam sidang kedelapan kasus Penodaan Agama dicecar oleh kuasa hukum Ahok dengan tuduhan bahwa ada telpon pesanan fatwa MUI dari SBY kepada Ma’ruf Amin—dimana SBY juga merasa bahwa telpon tersebut disadap—dengan twit “Bpk Ma’ruf Amin, senior saya, mohon sabar & tegar. Jika dimata-matai, sasarannya bukan Bpk. Kita percaya Allah maha adil.”

Dan yang terbaru dan kembali memviral adalah soal kegundahan SBY pada kediamannya yang didemo oleh mahasiswa. Dalam twitnya SBY mengabarkan, “Saudara-saudaraku yang mencintai hukum & keadilan, saat ini rumah saya di Kuningan “digrudug” ratusan orang. Mereka berteriak-teriak.” Pada twit berikutnya SBY bahkan menyeret Presiden dan Kapolri dengan cuitan “Saya bertanya kpd Bapak Presiden & Kapolri, apakah saya tidak memiliki hak utk tinggal di negeri sendiri, dgn hak asasi yg saya miliki?”

Pada twit terakhir ini, Saya pikir wajar jika SBY merasa gundah lalu merajut di Twitter.  Bukankah itu memang karakter SBY selama ini? Kenapa netizen malah membully beliau dengan membikin meme-meme?

Coba ingat baik-baik. SBY pertama kali bisa menjadi Presiden pada tahun 2004 silam, ya karena karakter SBY model begini ini. Pada awal tahun 2004, SBY adalah Menkopolhukamnya Megawati dalam Kabinet Gotong Royong. Dalam berbagai kesempatan SBY mengeluh karena tak diajak rapat oleh Presiden, dan akhirnya mengundurkan diri pada Maret 2004. SBY menampilkan diri ke publik sebagai pihak yang didzalimi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri..

Publik bersimpati. Simpati publik inilah yang kemudian mengantarkan SBY melenggang menuju kursi  presiden—bahkan dua kali berturut-turut. SBY adalah sejenis politisi yang pandai memanfaatkan situasi ini. Apalagi masyarakat kita memang masyarakat penggemar drama, baik drama korea atau drama India.

Tapi itu dulu. Saya melihat masyarakat kita sekarang sudah jauh berbeda dibandingkan 10 tahun terakhir. Terutama digawangi oleh masyarakat yang melek teknologi—sering kita kenal sebagai netizen. Apa saja adalah guyonan, karena politik tidak perlu dibawa serius.

Situasi terbaru ini barangkali yang tidak cukup dimengerti oleh SBY. SBY masih menggunakan sosiologi masyarakat Indonesia seperti 2004 silam. Yaitu model drama-dramaan. Dan akhirnya, seperti kawan-kawan lihat sendiri. SBY tidak menuai simpati dari twit-twitnya, justru sebaliknya, jadi bahan bully dan tertawaan.

Ini mengingatkan saya pada apa yang pernah Charlie Chaplin katakan bahwa kehidupan adalah tragedi jika dilihat dari jarak dekat dan komedi jika dilihat dari jarak jauh. Bagi SBY ini adalah tragedi, tapi bagi kita, semua ini, Pilkada DKI, cukup sebagai humor saja.


@m risya islami

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment