Tuesday, February 7, 2017

Masih Relevankah Tuduhan Penistaan Agama?

DUNIA HAWA - Melalui sejarah kita semua tahu bahwa bangsa Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun. Tentu saja rentang waktu selama 3,5 abad bukan lah era yang singkat kalau tidak bisa dikatakan amat sangat lama. Padahal di rentang waktu yang sedemikian lama itu tak terhitung berapa kali jumlah pergerakan nasional yang muncul silih berganti untuk melawan penjajahan. Mulai gerakan budaya dan pendidikan seperti Taman Siswa, Budi Utomo dan lain-lain, gerakan sosio-ekonomi Sarekat Islam hingga pergerakan angkat senjata seperti Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), Perang Puputan dan lain-lain. Namun dari semua pergerakan hebat itu pada akhirnya seperti bermuara pada obscurity (kegamangan) karena kemerdekaan yang dinanti-nantikan tidak kunjung tiba juga. Baru setelah kehadiran generasi Soekarno-lah bangsa Indonesia dihantarkan pada kemerdekaan pada arti yang sesungguhnya.


Soekarno yang paham betul dengan kondisi kemajemukan sosio-kultural masyarakat Indonesia, membawa pencerahan bagi rakyat Indonesia pada tahap bagaimana memerdekakan berpikir dengan cara menyatukan gerakan-gerakan sporadis dan parsial kian  menjadi pergerakan holistik, memproklamirkan diri menjadi negara berdaulat sebagai satu nasion. Bukan lagi hanya sebatas konsep dan pergerakan tanpa arah, tapi merencanakan secara konstruktif dan merealisasikannya dalam wujud bernegara yang sesungguhnya. Tidak heran ditilik dari sosio-kultur kebanyakan masyarakat Indonesia yang belum siap dengan kondisi saat itu, pasca proklamasi pun masih banyak di antara rakyat Indonesia sendiri yang masih saja tidak percaya, saling mempertanyakan apakah setelah 17 Agustus 1945 Bangsa Indonesia benar-benar sudah merdeka.


Benang Merah Pencerahan Pemikiran Soekarno dengan Renaisans Eropa


Pencerahan pemikiran adalah sebuah terobosan besar terhadap kondisi yang dirasakan tersumbat dan merongrong dalam suatu situasi yang stagnan. Inilah yang terjadi di Indonesia selama 350 tahun pada masa pra proklamasi 17 Agustus 1945, hal sama yang juga terjadi di era abad pertengahan di Eropa. Diawali dengan abad kegelapan ketika kekaisaran Romawi runtuh, serbuan masif bangsa Moor dan Saracen, secara perlahan kehidupan masyarakat di Eropa mulai meredup. Kehidupan menjadi demikian keras, kejahatan merajalela, ekonomi sulit, tatanan sosial mandul, hukum jalanan berlaku di mana-mana dan raja-raja kecil mulai bermunculan di Eropa.

Di saat itu lah Gereja mulai makin mengukukuhkan eksistensinya mengambil alih peran penjaga moralitas dan hukum, yang sayangnya juga sekaligus memberangus kekebasan berpendapat individu per individu. Para patriarch Gereja makin lama menjadi makin dominan, segala keputusan pemerintahan tidak ada yang lolos tanpa sepengetahuan mereka. Bahkan Paus juga punya kuasa absolut untuk memerintahkan raja di suatu negara untuk maju berperang melawan bangsa Saracen ke medan crusade (perang salib). Dominasi Gereja juga membawa dampak langsung pada kehidupan spiritual masyarakat. Segala hal yang berbau transendental menjadi acuan utama, kedekatan mereka dengan para patriarch (ulama) juga memotivasi orang untuk berlomba-lomba menjadi siapa yang merasa paling dekat dengan Tuhan. Hal ini tidak berlangsung lama sebelum realitas sejarah sekali lagi membuktikan sebuah adagium klasik yang berbunyi, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely“. Semakin absolut suatu kekuasaan, semakin besar kecenderungannya untuk berlaku korup.

Dominasi Gereja yang sedemikian submisif mengikat dan mengamputasi pikiran-pikiran kritis setiap individu, membuat orang hanya berfokus pada unsur transendental (vertikal) dan cenderung mengabaikan keharmonisan dengan sesama (horisontal). Orang mulai gampang menjustifikasi yang lainnya ketika dia merasa yang paling dekat dengan patriarch (ulama) yang notabene perwakilan Tuhan. Pada akhirnya orang-orang “alim-ulama” itu sendirilah yang mengko-optasi eksistensiNya dan berlaku seolah merekalah tuhan (t kecil) itu sendiri.

Memang amatlah mudah untuk menjustifikasi orang lain yang berpikiran kritis dengan stigma “blasphemy (penistaan)”, ketika kita sendiri terkungkung dalam eksesif dogma agama yang transendental hanya mengarah secara vertikal. Lalai bahwa secara horisontal, akal budi manusia juga adalah karunia ciptaanNya dan aspirasi pemikiran kritis juga sama berharganya sebagai anugerahNya. Golden Rule yang terkandung dalam setiap agama, sebenarnya selain menuntun kita untuk memulikan Dia, juga mengarahkan secara horisontal untuk menghormati sesama kita sendiri. Apabila dogma hanya menuntut kita secara submisif (kepatuhan buta) tanpa memberi ruang untuk mengembangkan pencerahan pikiran secara kritis, maka agama tersebut benar-benar hanya mengungkung manusia menjadi zombie hidup.

Kembali ke Eropa, himpitan dominasi dari kombinasi gereja-monarki dan kesulitan hidup yang semakin lama dirasakan semakin menyesakkan membuat masyarakat bergejolak, yang pada akhirnya meledakkan momentum besar bernama Renaisans. Diawali dari kota Florence – Italia, gerakan ini menyebar cepat ke seluruh daratan Eropa, masyarakat seperti tergugah dari mimpi panjang dan mulailah ide-ide cemerlang bermunculan baik dimulai dari aspek seni, budaya, politik, ekonomi bahkan spiritual. Orang diingatkan kembali akan pentingnya Golden Rule yang terkandung dalam setiap agama – one should treat others as one would like others to treat oneself (apabila engkau ingin diperlakukan baik oleh orang lain maka hormati jugalah orang lain tersebut) -. tidak peduli apakah orang lain tersebut itu mau islam, kristen, komunis, caucasian, hispanic, semit, agnostic bahkan kafir sekalipun.

Pasca Renaisans, dogma agama memang mulai dikesampingkan, tapi esensinya melalui Golden Rule tumbuh subur di Eropa lewat pemahamannya yang saat ini kita kenal bernama “humanisme”. Sebagai contoh, jadi tidak usah heran, kenapa warganegara AS sendiri juga protes keras ketika presiden Donald Trump memberlakukan kebijakan melarang imigran masuk AS karena humanisme memang berlaku universal. Gereja tidak lagi menjadi satu-satunya acuan moral, namun secara drastis bertransformasi menjadi holistik, di mana individu per individunya mengalami pencerahan dalam cara berpikir baru dan Eropa memulai era keemasannya. Menginspirasi lahirnya Trias Politika yang memisahkan aspek-aspek kekuasaan menjadi 3 bagian untuk mencegah perlakuan korup merajalela.

Bisa dibilang salah satu tonggak yang paling penting dari gerakan Renaisans ini adalah Revolusi Perancis (1789-1799), di mana kombinasi kekuasaan Gereja dan Raja Louis XVI digulingkan, dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru Liberte, Egalite, Fraternite (kebebasan, persamaan dan persaudaraan). Dan efek dominonya menyebar ke seluruh Eropa, termasuk kekuatiran kerajaan Inggris yang seketika merombak sistem pemerintahannya dari monarki absolut menjadi monarki parlementer. Tujuan kerajaan Inggris amat jelas, ingin membagi-bagi agar kekuasaan tidak terkonsentasi di satu tangan, bahkan dengan mengadopsi sistem parlementer berarti memberi kesempatan dari kalangan rakyat untuk turut menjalankan roda pemerintahan. Kembali ke Itali, berlanjut akhirnya pada Perjanjian Lateran (1929), di mana Mussolini yang menyadari betapa berbahayanya menyatukan agama dan politik dalam satu agenda kekuasaan, mengilhami dia untuk memberikan Gereja satu daerah otonomi yang lebih terfokus pada aspek spiritual semata dan meninggalkan wacana sekularisme, atau dengan singkat kata Gereja dikembalikan ke khittahnya. Daerah otonom itu adalah satu negara kecil yang kita kenal bernama bernama Vatikan.

300 tahun yang lampau benua biru telah memberi kita pelajaran yang amat berharga, betapa mahal biaya yang harus dibayar ketika kita mencampur-adukkan agama dengan politik. Sejatinya, Renaisans adalah bentuk otokritik dari masyarakat Eropa terhadap otoritas Gereja yang kebablasan, yang menuntut penganutnya untuk semakin submisif. Alih-alih membukakan cakrawala pemikiran kritis, eksesif dogma justru mengungkung dan membuat penganutnya menjadi semakin fanatik/radikal. Begitu pun di Indonesia saat ini masih berkutat dengan stigma “mengkafir-kafirkan” dan “mengkomunis-komuniskan” ketika orang lain tidak sehaluan dengan kita. Tentu ada pertanyaan besar, ketika atas nama dogma kita menjadi demikian defensif dan semakin antikritik dengan gampangnya menuduh orang lain melakukan penistaan agama – sekalipun ujaran itu diutarakan dalam wacana diskursus -, orang tentu akan semakin bertanya-tanya, kira-kira ada udang apa di balik bakwan? Kebenaran tetap akan menjadi kebenaran jika bisa bertahan walaupun dihantam badai kritik. Tapi kebenaran yang tidak dapat bertahan terhadap ujian kritik, bisa jadi kebenaran tersebut dibangun di atas fondasi lautan pasir.

Apakah kita setelah 72 tahun merdeka masih ingin terkungkung dengan pemikiran-pemikiran primordial, bukannya maju tetapi malah set back ke masa kegelapan seperti Eropa tiga abad yang lampau? Dogma agama di Indonesia mau tidak mau harus diakui masih bersifat paternalistik, di mana para penganut keagamaan masih gampang kehilangan arah dan kepercayaan diri karena segala sesuatu yang menyangkut hal spiritual biasanya amat bergantung pada kaum patriarch (ulamanya). Mungkin kita masih butuh 350 tahun lagi untuk berjuang keluar dari kekerdilan cara berpikir kita betapa destruktifnya mencampur-adukkan agama dengan politik. Wallahu a’lam bishawab…..

@edison winston tambunan


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment