Wednesday, February 1, 2017

Fatwa MUI Dikeluarkan Karena Pesanan Sejumlah Pihak?

DUNIA HAWA - Sidang persidangan Ahok ke-8, tanggal 31 Januari 2017 kemarin mendatangkan sejumlah saksi, salah satunya dari pihak MUI, yang dihadiri oleh KH. Ma’ruf Amin. Menurutnya, fatwa itu dikeluarkan MUI karena desakan dari sejumlah pihak. Ia juga mengatakan bahwa keputusan tersebut melibatkan 4 tim, yaitu komisi fatwa, pengkajian, Humkam dan Infokom.


Pengkajian dilakukan selama 11 hari, yakni dari 1-11 Oktober 2016. Dari investigasi 4 komisi tersebut, akhirnya MUI lalu mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa ucapan Ahok mengandung penghinaan Alquran dan Ulama.

Tentu sangat disayangkan jika fatwa MUI terkesan dipaksakan apalagi alasannya karena desakan pihak tertentu. Sebenarnya pihak mana yang begitu mendesak MUI? Apakah dari FPI yang dari dulu getol ingin melengserkan Ahok sampai membuat gubernur tandingan segala?

Karena dituntut mengambil sikap itulah MUI kemudian mengeluarkan fatwa yang lagi-lagi berujung pada kontroversi. Bahkan Rais Aam Syuriah NU secara terang-terangan menyatakan sikap tidak setuju dengan fatwa MUI itu, demikian pula Buya Syafii Maarif, mantan ketua umum Muhammadiyah, yang menyatakan bahwa ucapan Ahok tidak ada unsur penghinaan terhadap agama.

Jika MUI dianggap lembaga yang mewakili ormas Islam, lalu mengapa fatwa yang dibuat sangat bertentangan dengan NU dan Muhammadiyah yang notabene ormas Islam terbesar di Indonesia?

Lalu buntut dari fatwa tersebut didirikanlah gerakan GNPF-MUI tepat setelah fatwa MUI yang menyatakan bahwa ucapan Ahok telah menistakan agama. Ketuanya adalah Bachtiar Nasir yang juga menjabat sebagai wakil sekretaris MUI. Maka tak heran banyak masyarakat yang salah paham dan menganggap GNPF-MUI bagian dari ormas MUI, sebab saat demonstrasi mereka sering membawa bendera berlambang MUI.

Padahal gerakan itu bukanlah bagian dari MUI dan tujuannya jelas berbau politik, hanya ingin menghadang Ahok menjadi Gubernur, meskipun dalam orasinya mereka selalu mengatakan untuk aksi bela Islam. Gerakan ini pula yang kemudian mengajak massa untuk demo Ahok yang diadakan tiga kali berturut-turut di Jakarta.

Tak cukup dari itu, Muslim Cyber Army yang dibentuk FPI juga banyak menyebar kebencian, terutama kepada pihak-pihak yang dari awal tidak setuju dengan gerakan FPI, seperti pada pimpinan NU, seperti Said Aqil Siradj dan KH. Mustafa Bisri (Gus Mus) serta mantan Pimpinan Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif.

Tim Muslim Cyber Army ini pula yang sangat giat menggiring opini secara massif bahwa menentang fatwa MUI berarti menentang Islam. Tidak mendukung FPI berarti tidak mendukung ulama. Padahal sudah jelas fatwa MUI ini sangat bertentangan dengan pandangan NU yang menyatakan bahwa baik pemimpin nonmuslim maupun muslim berhak jadi pemimpin

Alasannya, jika merujuk pada tafsir terdahulu mengenai Al Maidah 51, yang dimaksud bukanlah untuk pemimpin seperti gubernur, karena konteks saat itu yang sedang dalam kondisi perang. Kalau begitu, Islam manakah yang dimaksud FPI itu?

Dari sini kita bisa melihat bahwa fatwa yang dibuat MUI sebenarnya hanya untuk kepentingan politik saja, dan jelas sangat menguntungkan FPI dan ormas Islam yang sejak dulu menginginkan kekhilafahan, seperti PKS dan HTI.

Kecenderungan MUI yang memihak pada ormas radikal ini rupanya dimanfaatkan oleh mereka untuk menghalau orang-orang yang berusaha menghalangi gerakan mereka. Karena merasa didukung itulah FPI kemudian menuntut Kapolri untuk memecat tiga Kapolda, yaitu Kapolda Jawa Barat: Anton Charlian, Kapolda Metro Jaya: M. Iriawan, dan Kapolda Kalimantan Barat: Musyafak.

Kapolda Jawa Barat dituntut karena dianggap mengerahkan massa GMBI untuk menyerang FPI, Kapolda Metro Jaya dianggap melakukan adu domba saat demonstrasi 4 November 2016, sedangkan Kapolda Kalbar karena penolakan wasekjen MUI di Sintang.

Tak puas dengan hal itu, Rizieq berusaha meyakinkan masyarakat bahwa PKI sudah bangkit lagi. Ia kemudian mengarang-ngarang opini yang menyatakan pemerintah berusaha membangitkan lagi PKI karena terdapat logo palu arit di mata uang yang baru.

Meskipun berkali-kali pihak BI bilang bahwa itu adalah proses rectoverso untuk pengamanan uang, FPI tetap bebal. Mereka tak mau mendengarkan bahkan  tak mau duduk bersama untuk mendengarkan penjelasan dari pihak BI. Mereka lebih senang ribut, lalu melaporkannya pada kepolisian untut menuntut uang rupiah itu dicabut kembali.

Ternyata memnag semua pihak yang dianggap menghalangi aksi dan gerakan atau ideologi FPI dilaporkan ke polisi. Mungkin mereka menganggap jika MUI sudah dikuasai, sangat mudah menggerakkan massa untuk mendukung mereka, sebab isu agama di Indonesia memang sangat sensitif dan alat paling ampuh untuk menarik massa.

Bagaimana jika ada pihak yang tidak setuju? Tinggal minta MUI untuk mngeluarkan fatwa. Beres masalah, seperti halnya kasus Ahok.

Namun hal yang tak terduga beberapa waktu lalu, salah satu anggota MUI, Istibsyaroh, berkunjung ke Israel dan melakukan pertemuan dengan Presiden Reuven Rivlin. Hal ini membuat pihak MUI kebakaran Jenggot. PKS, FPI, dan GNPF-FPI kecewa. Menurut Istibsyaroh, dia hanya berniat mengunjungi Masjid Aqsa di Jerussalem, lalu ditawarkan untuk bertemu Presiden.

Apa yang dikatakan anggota MUI ini tentu tak dapat dipercaya, masa iya orang lagi mau jalan-jalan, tiba-tiba disuruh bertemu Presiden? Bisa jadi ini memang strategi pemerintah yang ingin menurunkan pamor MUI. Mengingat selama ini fatwa yang dikeluarkan MUI sering kontroversi dan cukup membuat ‘repot’ pemerintah.

Dan saat sidang Ahok ke-8, kita dikejutkan lagi oleh pernyataan pengacara Ahok yang mengetahui adanya telepon dari SBY pada ketua MUI Ma’ruf Amin. Jika itu benar, tentu masyaarkat tidak akan percaya lagi pada organisasi Islam ini, sebab fatwa nya saja hanya berdasar kepentingan politik. Dan jika memang terbukti benar, saya berharap bubarkan saja MUI atau dileburkan pada Kementerian Agama.

Urusan fatwa toh bisa diserahkan pada NU dan Muhammadiyah yang merupakan ormas terbesar, sedangkan urusan seritifikat halal memang sebaiknya bukan wewenang MUI sebab dana yang diterimanya tidak bisa diaudit.


@anisatul fadhilah


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment