Tuesday, January 24, 2017

Menganalisa Surga-nya Jonru Dari Kacamata Sufisme

DUNIA HAWA - “Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan”

(QS. As-Sajdah :17)


Kalau bukan Jonru, siapa lagi yang bisa berbuat kontroversial di negeri ini ? Dan penggambaran surga versi-nya Jonru unik sekaligus ironis. Dikatakan unik, karena surganya Jonru adalah melulu penerjemahan kenikmatan duniawi semata yang kasat mata. Bedanya, hanya masalah tempat dan waktu saja. Jika kenikmatan-kenikmatan semacam itu dinikmati di dunia maka haram hukumnya. Sementara kelak di surga –menurut Jonru- kenikmatan-kenikmatan tersebut dihalalkan.

Disebut ironis karena penggambaran surga versi Jonru hampir diamini sebagian besar umat ini. Bukankah memang ini juga yang diajarkan sebagian guru-guru agama kita semenjak kecil ? JIka seorang lelaki muslim masuk surga maka kelak akan mendapatkan bidadari. Penggambaran bidadari sebagai sesosok perempuan cantik, molek dan selalu perawan adalah cerita lumrah yang diceritakan dari generasi ke generasi umat Islam. Penggambaran atau penafsiran seperti ini seakan sudah menjadi kebenaran itu sendiri. Maka, ketika semasa kecil penulis mengajukan pertanyaan kritis kepada sang guru agama, bagaimana dengan posisi seorang perempuan muslim yang sholeh, apakah ia akan mendapatkan bidadari juga ? Tidak ada jawaban yang memuaskan dari sang guru. Seakan-akan surga itu diperuntukkan untuk Kaum Adam saja.

Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat ayat yang menerangkan bahwa orang-orang beriman dan beramal kebajikan di surga kelak akan memperoleh “azwaajun muthahharah” (Al-Baqarah 25; Alu Imran 15; An-Nisa’ 57) atau “huurun `iin” (Ad-Dukhan 54; Ath-Thur 20; Al-Waqi`ah 22). Barangkali karena kebanyakan penafsir kita laki-laki, maka dalam tafsir-tafsir Al-Qur’an bahasa Indonesia “azwaajun muthahharah” sering diterjemahkan “istri-istri yang suci”.

Arti terjemahan yang berbau perbedaan gender ini perlu segera mengalami reformasi, sebab dalam bahasa Arab istilah “azwaaj” (plural dari “zawj”) tidak melulu berarti “istri”, melainkan dapat juga berarti “suami” atau “pasangan” atau “kelompok”, tergantung dari konteks masalahnya.

Sedangkan kata “huur”, yang sering diterjemahkan sebagai “bidadari”, berasal dari tiga huruf dasar ha-waw-ra yang artinya “teman setia”. Istilah ini berlaku baik bagi pria maupun wanita, dan sama sekali tidak merujuk kepada gender tertentu, apalagi dengan konsep “bidadari” yang berasal dari pemikiran pra-Islam. Dari akar kata ha-waw-ra, muncul “huur”, “hawariy” atau “huwaar”, yang semuanya berarti “teman setia”, bisa jadi laki-laki dan mungkin juga perempuan.

Sesungguhnya penafsiran surga yang sering diceritakan dari generasi ke generasi umat Islam sepanjang masa adalah imbalan yang sifatnya duniawi. Imbalan kenikmatan yang “sudah” pernah dirasakan di dunia ini juga. Padahal ,sejatinya seperti disebutkan dalam ayat pembuka di awal paragraf ada penegasan, “Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti.” Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Saw :

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda : “Allah SWT Berfirman : Telah Aku siapkan bagi Hamba-Hamba-Ku yang sholeh, apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan didengar oleh telinga dan terlintas dalam benak manusia.” Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu bermacam-macam nikmat yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Shahih Muslim-Shahih Bukhari).

Dengan demikian, baik dari ayat Al-Qur’an sendiri dan hadits Nabi Saw, kenikmatan surga jauh berada di atas level kenikmatan duniawi. Atau dengan kata lain, sebuah kenikmatan yang belum pernah dirasakan oleh panca indera kita. Melampaui itu semua.

Bahkan, bila kita sodorkan kepada sufisme, penggambaran surga –seperti versinya Jonru- yang hampir identik dengan kenikmatan duniawi adalah penggambaran yang dangkal. Apakah peribadatan-peribadan kita di dunia ini melulu untuk mendapatkan ganjaran surga atau ke-ridhaan Ilahi ? Imam Ja’far al Shadiq pernah mengelompokkan tiga tipologi ritus peribadatan hamba kepada Allah. Kesatu, kaum yang menyembah Allah karena takut. Yang demikian itu adalah ibadat hamba sahaya. Kedua, kaum yang menyembah Allah hanya untuk mengharapkan imbalan. Yang demikian itu adalah ibadatnya para pedagang. Dan yang ketiga adalah kaum yang menyembah Allah dengan cinta. Maka itu adalah ibadat mereka yang merdeka. Itulah ibadat paling utama (dalam Dahlan, 2003: 28).

Rabi’ah al-Adawiyah adalah nama yang sangat legendaris di dunia tasawuf. Seorang sufi perempuan yang jika dilukiskan jalan hidupnya adalah kecintaan kepada Tuhan. Dengarkan munajatnya ketika malam telah menyelimuti langit:

“Tuhanku, bintang-bintang telah bersinar, orang-orang telah lelap dalam tidur, raja-raja telah menutup tirai istananya, para kekasih telah menyepi, namun aku tetap berdiri di hadapan-Mu.”

Perihal surga dan segala kenikmatannya bukanlah menjadi perhatiannya. Ia beribadah kepada Tuhan bukan mengharap-harapkan surga atau ketakutan akan neraka. Ia telau melampaui itu semua. Hati Rabi’ah tak menginginkan kesenangan akhirat karena yang dicita-citakannya hanya satu : Berjumpa dengan kekasihnya. Dalam konteks inilah kita memahami salah satu doanya yang terkenal :

“Tuhanku, kalau aku mengabdi kepada-Mu karena takut akan api neraka, masukanlah aku ke dalam neraka itu, dan besarkanlah tubuhku dalam neraka itu, sehingga tidak ada tempat lagi di neraka itu buat hamba-hamba-Mu yang lain. Kalau aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu, berikan surga itu kepada hamba-hamba-Mu yang lain, sebab bagiku Engkau saja sudah cukup.”

Hampir serupa dengan Ra’biah, Sufi Dzun Nun mengungkapkannnya dalam kata-kata :

“Ketakutan akan gulungan api maha panas neraka kalau dibandingkan dengan ketakutan akan berpisah dengan kekasih, ibarat setetes air yang terjatuh di hamparan samudra yang tak berbatas”

Begitu pula dengan Beyezid bangga dengan kerinduannya kepada Tuhan ketimbang imbalan surga atau neraka :

“Andai saja kedelapan surga dikuakkan di gubukku dan kekuasaan atas kedua cakrawala dunia diserahterimakan kepadaku, kutakmau menukarnya dengan segenggam keluhan yang timbul di pagi hari dari kedalaman relung jiwaku ketika aku tersergap rindu kepada-Nya” (dalam Attar).

Dengan demikian, bagi kalangan sufi, ibadah bukan sekadar ritual yang nantinya ditukarkan dengan segala kenikmatan surga. Namun, kerinduan akan Tuhan adalah surga itu sendiri. Seperti dikatakan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as, “surga kita adalah Tuhan kita.

@akhmad reza


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment