Wednesday, August 17, 2016

Ini Indonesia Cuk..., Presidenmu Bukan Erdogan


Dunia Hawa - Saya terkadang memimpikan masa saat perjuangan Indonesia ketika mengusir para penjajah.

Buat saya masa itu adalah masa yang menyenangkan, dimana apapun yang kita obrolkan dan kita perjuangkan tidak jauh dari bagaimana supaya kita merdeka. Desing peluru, bau mesiu, dan berlari menghindari pasukan musuh yang membuat adrenalin terpompa begitu kencang, membuat hidup ini menjadi lebih berarti daripada sekedar rutinitas di jalan setiap hari.

Teriakan teriakan membakar semangat, pertemuan pertemuan tersembunyi, kode kode rahasia digumamkan membuat siang dan malam seperti tidak ada arti lagi. Hidup jadi tidak membosankan dan mental tidak lembek karena lelah menonton sinetron Raam Punjabi.

Bisakah masa itu terulang lagi?

Ternyata bisa, hanya medan perangnya berbeda. Medan perang lebih didominasi perang di media sosial. Internet membuat perang menjadi lebih luas meski lawannya masih bangsa sendiri. Bangsa sendiri yang lebih mencintai negara Saudi dan Turki. Bangsa sendiri yang selalu berusaha menjatuhkan pemimpin yang terpilih.

Perang di internet ini sejatinya bukan perkara benar dan salah, karena benar itu relatif dan salah itu condong ke mutlak.

Perang di internet ini didominasi propaganda yang dilawan propaganda juga. Pight pire with pire, bahasa sundanya karena orang sunda gak bisa ngomong "F".

Sulit melihat situasi dan kejadian sebenarnya, dan kita hanya berpatokan pada banyak analisa. Siapapun bisa berkata bahwa informasi yang mereka dapatkan valid adanya. Tapi seberapapun validnya jika tidak mampu men-sosialisasikannya akan kalah oleh mereka yang hanya mengandalkan prasangka semata.

Patokannya adalah "apakah yang kita lakukan ini menyelamatkan negara atau malah mengacaukannya"?

Tentu tidak mungkin kita akan berbicara bela negara tapi sibuk men-share berita hoax terhadap kerusuhan SARA dan memperuncingnya. Tidak mungkin kita berbicara cinta Indonesia, ketika kita selalu membenturkan perbedaan keyakinan penduduknya. Dan sangat tidak mungkin kita berbicara nasionalisme ketika masih sibuk bermimpi khilafah.

Jadi kita ada di posisi mana sebenarnya?

Jelaslah kita harus di posisi membela merah putih, ketika hormat bendera itu dimusyrikkan. Jelaslah kita berdiri di samping Garuda sejati, ketika seluruh tubuhnya dimerahkan. Jelaslah kita harus bergandeng tangan saling melindungi, ketika perbedaan kita dibenturkan. 

Ini tanggal 17 Agustus, hari kemerdekaan. Boleh saya sedikit ingatkan hal kecil tetapi penting untuk direnungkan? 

Sini telinganya, biar saya bisikkan dengan lembut, mesra dan penuh kesantunan. "Ini Indonesia, cuk.. Presidenmu bukan Erdogan.."

Seruputtt...

[denny siregar]

Indonesia Milik Bersama: Renungan Agustusan


Dunia Hawa - Alkisah, beberapa bulan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 yang keramat itu, Bung Karno menemui empat ulama, "wong pinter", dan ahli tasawuf yang sangat disegani karena kedalaman ilmu, moralitas dan perilakunya untuk meminta nasehat tentang kapan sebaiknya Bangsa Indonesia memproklamirkan diri kemerdekaanya. 

Keempat ulama dimaksud adalah KH Hasyim Asy'ari dari Jombang, pendiri NU dan juga kakeknya almarhum Gus Dur, Kiai Musa Sukanegara dari Ciamis, KH Abdul Mu'thi dari Madiun, dan Raden Sosrokartono. Konon, berdasarkan masukan dari keempat "orang sakti" inilah, "Dwi Tunggal" Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. 

Bung Karno memang bukan hanya seorang orator ulung yang setiap pidatonya yang menggelegar bak petir yang menyambar-nyambar itu mampu menghipnotis ribuan jamaah. Ia juga bukan hanya seorang penulis hebat yang goresan tintanya mampu menginspirasi banyak orang. Bung Karno juga seorang yang sangat hormat dengan para kiai sepuh, "wong alim" dan kharismatik. 

Lagi, Bung Karno juga seorang mistikus dan percaya dengan kekuatan gaib. Suatu saat Bung Karno berucap: "Saya percaya pada dunia mistik. Akal tidak bisa menjelaskan kenapa 17 Agustus. Tapi bagiku, tanggal ini memberi harapan yang sangat besar. Saya bisa merasakan di dalam lubuk hatiku yang paling dalam bahwa 17 Agustus adalah saat yang tepat dan baik untuk bangsa ini." 

Bukan hanya kepada para ulama Muslim saja Bung Karno "berguru" dan meminta nasehat. Tetapi juga kepada para ulama non-Muslim yang ia pandang memiliki "kharisma", ilmu tinggi dan "daya linuwih". Bung Karno sadar betul bahwa Indonesia ada karena perjuangan bersama. Kemerdekaan adalah buah dari kerja keras berbagai agama dan etnis di Indonesia. Negara Indonesia adalah hasil dari keringat dan pengorbanan tenaga, harta dan nyawa para putra-putri bangsa dari berbagai latar belakang suku, bahasa, dan agama. 

Tanpa mereka semua, Indonesia yang kita cintai ini tidak akan pernah ada di bumi pertiwi. Karena itu tidak pada tempatnya jika ada sekelompok kaum Muslim yang mengklaim sebagai "mayoritas yang paling berjasa" sehingga bisa berbuat seenak-wudelnya sendiri. Indonesia lahir bukan untuk "melayani" mayoritas. Indonesia hadir juga bukan untuk "menyenangkan" minoritas. Indonesia itu milik bersama--Muslim, non-Muslim--maka menjadi tanggung jawab bersama pula untuk merawatnya.    

Jika kita sekarang bisa menghirup udara dengan bebas, bisa bebas berkelana, berwisata, berkuliner, berceramah, berkhotbah, berekspresi, berpolitik, berorganisasi serta bisa dengan leluasa berjoget egal-egol dan kentat-kentut, semua itu karena jasa mulia para pahlawan dan leluhur bangsa. Oleh karena itu, sungguh tidak beretika jika kita, bukannya berterima kasih, menghormati dan mendoakan, malah menyumpah-serapahi para pahlawan dan leluhur karena dianggap mati sia-sia lantaran tidak memperjuangkan "negara Islam". Mahluk macam apa kalian ini?   

Tentu saja para pahlawan dan leluhur itu tidak minta dan mengharap untuk dihormati, dipuja-puji, dan diberi gelar mentereng ini-itu karena memang bagi mereka semua itu sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai putra-putri bangsa untuk membela dan memperjuangkan negara. Maka sudah menjadi tanggung jawab kita pulalah untuk menjaga, merawat dan meneruskan cita-cita kemerdekaan dan kebangsaan yang mulia ini dengan berbagai macam cara sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. 

Jika kita tidak sudi untuk melakukannya atau bahkan enggan untuk mendoakan mereka, maka cukuplah kita berdiam diri, tidak perlu memaki, menghujat, dan mengafir-sesatkan para pahlawan dan leluhur bangsa karena bisa jadi justru kalian sendiri yang tersesat dan terperosok ke dalam "lubang kekafiran"...

prof.sumanto al qurtuby
Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, dan Visiting Senior Research Fellow di Middle East Institute, National University of Singapore

Ikut Upacara Penurunan Bendera, Gloria Didapuk Jadi Penjaga Gordon


Dunia Hawa - Gloria Natapradja Hamel dipastikan ikut dalam Tim Bima Paskibraka yang akan beraksi saat upacara penurunan bendera pusaka sore ini, Rabu (17/8/2016). Berdasarkan keterangan resmi dari Biro Pers dan Media Istana Kepresidenan, Gloria akan menempati posisi penjaga gordon.

Keikutsertaan Gloria dalam upacara pada sore hari ini tak lepas dari peran Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) yang memberi izin pada dara asal Depok, Jawa Barat ini. Sebelumnya, Gloria juga diajak bertemu dan makan siang bersama Jokowi dan sejumlah pejabat lainnya di Istana Negara.

"Iya, saya ikut upacara penurunan. Terima kasih Pak (Jokowi) sudah izinkan saya ikut. Tadi banyak, sama ibu negara, Ibu Megawati, Pak JK yang awalnya mengizinkan untuk ikut pengibaran sore ini," kata Gloria.

Sementara itu, posisi pembawa baki diemban Cut Aura Maghfirah Putri yang mewakili Provinsi Aceh. Tiga orang dari kelompok 8 yang akan menurunkan bendera pada sore hari ini ialah Ilham Massaid dari Provinsi Bengkulu, Alldi Padlyma Allamurochman sebagai pembentang bendera yang mewakili Provinsi Jawa Barat, serta Amarik Fakhri Marliansyah sebagai pengerek bendera dari Provinsi DKI Jakarta.

Dalam menjalankan tugasnya, Tim Bima akan dikomandoi oleh Kapten Inf Amirul Husin. Kolonel Pnb Benny Arfan akan bertindak selaku komandan upacara pada sore hari ini.  

[okezone]

Gloria Akan Ikut Upacara Penurunan Bendera di Istana


Dunia Hawa - Anggota Paskibraka Nasional, Gloria Natapradja Hamel bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) usai prosesi upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI di Istana Merdeka.

Didampingi Menpora Imam Nachrowi, Gloria dikabarkan akan menjadi bagian dari Tim Bima, Paskibraka yang bertugas menurunkan bendera nanti sore.

"Iya, nanti sore (ikut upacara penurunan bendera)," kata Gloria di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/8/2016).

Namun begitu, Imam belum memastikan hal itu. Ia hanya mengatakan sudah mengusahakan agar Gloria tetap beraksi di Istana.

"Kita lihat nanti sore. Yang penting semua sudah berusaha, berdoa dengan motivasi tinggi. Soal kecintaan kepada merah putih, sangat dalam di hatinya," 


Ia pun mengaku juga menginginkan agar Gloria bisa menjadi bagian dari Paskibraka yang bertugas di Istana Merdeka, seperti halnya publik menyuarakan hal yang sama.

"Saya juga mendukung. Kita lihat sore nanti," kata Imam.




[okezone]

Gloria dan Arcandra Masih Indonesia


Dunia Hawa - Gloria Natapradja Hamel tak kuasa menahan tangis. Terik matahari dan lelah yang selama ini menyengat tubuh gadis itu seakan lenyap tergantikan dengan perasaan kecewa. Ia kecewa lantaran cintanya terganjal persoalan kewarganegaraan.

Bukan karena Gloria melakukan kesalahan, melainkan karena status kewarganegaraannya. Gloria, yang berayahkan seorang seniman dari Prancis dan ibu orang Indonesia, memegang paspor Prancis. Padahal cuma satu langkah lagi, dia bisa mengibarkan bendera Merah Putih di Istana Merdeka, Jakarta pada 17 Agustus sebagai anggota Paskibraka.

Tak cuma Gloria yang terganjal persoalan kewarganegaraan. Persoalan serupa juga terjadi pada seorang ‎Arcandra Tahar yang berstatus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Padahal belum genap sebulan dia duduki kursi itu.

Namun tak peduli seberapa kencang angin menggoyang, Gloria dan Arcandra mengaku masih warga negara Indonesia (WNI).

Arcandra Tahar : 'Saya WNI'



Arcandra bukanlah orang sembarangan di bidang energi dan SDA. Dia merupakan ahli kilang lepas pantai atau offshore yang menjabat sebagai Presiden Direktur Petroneering di Houston. Jabatan tersebut didudukinya sejak Oktober 2013.

Ayah dua anak itu memiliki pengalaman lebih dari 14 tahun di bidang hidrodinamika dan rekayasa lepas pantai. Arcandra juga telah bekerja di berbagai perusahaan migas baik sebagai pengembang maupun produksi, seperti Spar, TLP, Compliant Tower, Buoyant  Tower dan Multi Colum Floater selama 13 tahun terakhir.

Karena itu, Presiden Jokowi memanggil pria yang sudah 20 tahun menetap di AS itu untuk pulang ke Indonesia. Sang Presiden meminta Arcandra untuk menjabat sebagai Menteri ESDM.

"Pak Presiden memang meminta beliau untuk pulang ke Indonesia. Banyak sekali orang hebat kita yang di luar negeri yang sangat penting untuk membantu bangsa kita sendiri. Apalagi Pak Arcandra punya kualifikasi internasional," ucap Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Diharapkan kehadiran Arcandra bisa membenahi sektor energi. Hingga beberapa hari belakangan, jebolan teknik mesin Institut Teknologi Bandung (ITB) itu diterpa isu mengenai status kewarganegaraannya. Arcandra dikabarkan pernah menjadi warga negara Amerika Serikat dan memiliki paspor negara tersebut.

Disebutkan, Candra menjadi warga Negara Amerika Serikat melalui proses naturalisasi pada Maret 2012 dengan diambilnya oath of allegiance atau sumpah setia kepada negara AS.

Integritas sang menteri pun santer dipertanyakan, mengingat posisi Candra memegang jabatan yang luar biasa strategis bagi bangsa dan negara bisa menjadi potensi ancaman bagi keamanan nasional RI.

Candra lalu angkat suara menjawab kabar yang simpang siur tersebut. Sang menteri menyatakan, ia masih menjadi warga negara Indonesia (WNI). Dia juga masih memegang paspor Indonesia.

"Saya masih pegang paspor Indonesia, masih valid," kata Candra di Kementerian ESDM, Jakarta pada Minggu 14 Agustus 2016.

Pernyataan Candra ini dikuatkan oleh pemerintah. Mensesneg Pratikno menyatakan, Arcandra Tahar merupakan pemegang paspor Indonesia. Bahkan Candra juga masuk ke Indonesia dengan paspor itu. Pratikno juga menjelaskan bahwa paspor Indonesia milik Arcandra Tahar masih berlaku hingga tahun 2017.

"Kami ingin tegaskan bahwa Pak Archandra Tahar itu adalah pemegang paspor Indonesia. Beliau ketika masuk ke Indonesia menggunakan paspor Indonesia," kata Pratikno.

Sementara itu keterangan lain didapatkan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly. Yasonna mengatakan, Arcandra pernah memiliki Paspor Amerika Serikat (AS). Meski berpaspor AS, status kewarganegaraan Indonesia Candra masih belum dicabut.

"Kalau itu ya iya (punya paspor AS), tapi legal formalnya (status WNI) belum dicabut," tutur Yasonna di Lapas Klas II A Cipinang, Jakarta Timur, Senin (15/8/2016).

Yasonna mengatakan paspor AS milik Arcandra kini sudah dikembalikan atau dimatikan. Sementara mengenai pencabutan status WNI-nya, ia mengaku, harus terlebih dahulu diformalkan atau disahkan melalui surat keputusan yang ditandatangani Menkumham.

"Kehilangan kewarganegaraan itu harus diformalkan melalui keputusan menteri. Jadi secara legal formal belum ada proses pencabutan kewarganegaraan melalui SK Menkumham kepada Pak Arcandra," jelas dia.

Menurut Yasonna, saat ini Arcandra berstatus warga negara Indonesia. Dia juga masuk ke Indonesia dengan menggunakan paspor Indonesia. "Sebagai menteri dia juga sudah mengucapkan sumpah setia terhadap bangsa Indonesia."

Lengser

Namun nasib berkata lain. Meski Jokowi sendiri yang meminta Arcandra untuk pulang ke Indonesia memimpin Kementerian ESDM, pada Senin malam (15/8/2016), pukul 21.05 WIB, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengumumkan pemberhentian Arcandra.

"Setelah memperoleh informasi dari berbagai sumber, Presiden memutuskan untuk memberhentikan dengan hormat Arcandra Tahar dari posisinya sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Istana Negara, Jakarta.

"Nanti akan diklarifikasi pejabat berwenang. Yang berwenang kan Menkumham kan," lanjut dia.

Pemberhentian Arcandra efektif mulai Selasa, 15 Agustus 2016. Sebagai gantinya, Jokowi menyerahkan jabatan tersebut untuk sementara kepada Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Binsar Pandjaitan.

"Dan menunjuk saudara LBP Menko Maritim sebagai pelaksana tugas. Efektif diberhentikan mulai besok pagi," kata Pratikno.

Lalu, sampai kapan jabatan Plt Menteri ESDM dijabat oleh Luhut? Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) itu belum bisa memastikannya. Keputusan itu, sepenuhnya menjadi hak prerogatif Jokowi.

"Sampai dengan diangkatnya Menteri ESDM definitif," ujar Mensesneg.

Staf Khusus Presiden Johan Budi SP mengatakan, keputusan ini menunjukkan respons Presiden cukup baik dalam menanggapi isu yang berkembang, terlebih soal dugaan dua kewarganegaraan Arcandra Tahar.

Namun begitu, Johan menolak jika disebut Istana kebobolan saat proses seleksi terkait pengangkatan Arcandra Tahar menjadi Menteri ESDM.

"Melihatnya bahwa Presiden responsif terhadap persoalan yang muncul," tutur Johan.

"Dan akhirnya Presiden memberhentikan dengan hormat dan menunjuk Pak Luhut Plt Menteri ESDM sampai ditunjuk menteri ESDM definitif," sambung dia.

Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla (Wapres JK) memilih tidak banyak berkomentar soal kabar kewarganegaraan ganda Menteri ESDM Arcandra Tahar.

JK memastikan, tim bekerja melakukan penilaian. Penilaian tentu tak hanya memperhatikan dasar hukum, tapi tujuan mengembalikan anak muda berprestasi ke Indonesia. "Mungkin kemarin terlalu cepat, sehingga penyelesaian administratifnya perlu diperbaiki," JK menambahkan.

Kisah Gloria Natapradja Hamel



Gloria Natapradja Hamel begitu bersemangat mengikuti setiap latihan Paskibraka tingkat nasional. Meskipun begitu, banyak yang meragukan keseriusan gadis blasteran Indonesia dan Prancis itu. Benarkah Gloria mau panas-panasan selama satu bulan penuh demi sang Merah Putih?

"Terkadang sakit mendengar dan melihat reaksi orang seperti itu. Cuma satu hal yang bisa saya ambil dari situ kayak kenapa kalian berbicara kayak begitu, ketika saya di sini mau membela negara saya karena saya punya hak atas dua kewarganegaraan saya dan saya berbakti pada Indonesia," kata Gloria, calon Paskibraka perwakilan Jawa Barat kala itu.

Gloria mengaku sangat cinta dengan Indonesia. Dia percaya, republik ini merupakan negara yang tak ada tandingannya. "Saya yang notabene-nya setengah-setengah justru sangat cinta pada Indonesia."

Namun setelah menjalani latihan sekian lama, Gloria harus mengubur impiannya untuk bisa mengibarkan bendera Merah Putih pada 17 Agustus nanti di halaman Istana Merdeka.

Melalui Kementerian Hukum dan HAM, dia dinyatakan dicoret dari daftar pasukan pengibar Bendera Merah Putih di Istana Merdeka pada hari kemerdekaan 17 Agustus nanti, setelah Gloria diketahui berkewarganegaraan Prancis.

Dalam surat bernomor AHU.4.AH.10.01-123 bertanggal 15 Agustus 2016, yang ditandatangani Direktur Tata Negara Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Tehna Bana Sitepu, disebutkan Gloria memegang paspor Prancis Nomor 14AA66042 yang berlaku sejak 20 Februari 2014 sampai 19 Februari 2019.

Putri dari pasangan suami istri Didier Andre Aguste Hamel warga negara Prancis dan Ira Hartini warga negara Indonesia, ini juga memegang KITAP Nomor 2D21JE0099-Q, yang berlaku sampai 18 Juli 2021.

Disebutkan pula, Gloria tidak pernah didaftarkan oleh orangtua/walinya untuk memperoleh kewarganegaraan RI kepada Menteri berdasarkan Pasal 41 UU Nomor 12 Thun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Kepala Staf Garnisun Tetap I/Jakarta Brigjen TNI Yoshua Pangdip Sembiring mengatakan, keputusan itu diambil berdasarkan undang-undang yang berlaku saat ini. Setiap warga yang sudah memiliki paspor negara lain, otomatis bukan warga Indonesia. Di sisi lain, syarat Paskibraka yang paling utama adalah WNI.

"Jadi demikian, kita harus taat yah. Sehingga warga negara yang baik kita harus taat dengan undang-undang, demikian," ujar Yoshua di Istana Kepresidenan, Jakarta.

Yoshua yang juga menjabat Ketua Subbidang Upacara dan Paskibraka itu mengatakan, begitu kabar tentang Gloria ini mencuat, jajarannya langsung memeriksa kebenaran kabar itu. Setelah diketahui kebenarannya, Gloria tidak bisa melanjutkan tugasnya sebagai Paskibraka 17 Agustus 2016 mendatang.

"Kita sudah tahu. Makanya begitu latihan di Istana dia sudah tidak kami libatkan," lanjut dia.

Ia menambahkan, kewenangan dalam menyeleksi peserta ada pada Kemenpora, sehingga pihaknya tidak bisa melakukan pemeriksaan. Setelah ditetapkan, barulah semua proses latihan dan karantina berada di bawah Garnisun.

"Kalau posisinya ada di P3PON sana, Cibubur. Silakan dicek ke sana. Bisa ditanya dengan pihak Kemenpora karena untuk fasilitas sana yang bertanggung jawab adalah Kemenpora," ucap Yoshua.

Sementara itu Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nachrowi mengakui seleksi di tingkat kabupaten atau kota tidak terpantau dengan baik oleh Kemenpora. Sehingga, nama Gloria yang telah mengikuti proses seleksi dari tingkat Kabupaten/kota lolos hingga ke tingkat pusat.

"Karena ada seleksi di tingkat kabupaten yang tidak sempat kami pantau. Dia dari Depok," imbuh politisi PKB itu.

Imam memastikan, berkurangnya jumlah Paskibraka tidak akan mengurangi tugas yang mereka emban. "Jadi semuanya 68, sekarang tinggal 67. Ini tidak mengurangi konfigurasi maupun tugas-tugas penting yang besok akan dilakukan di istana," ujar Imam.

Meski tidak bisa bertugas di Istana Merdeka, Gloria tetap mendapat pendampingan dari Kemenpora. Imam juga memastikan kondisi Gloria baik dan dapat menerima keputusan yang telah dibuat.

Selain itu, Gloria tetap bisa mengikuti rangkaian acara yang akan diikuti oleh anggota Paskibraka. Kecuali acara yang diselenggarakan di Istana Kepresidenan.

"Terus kami dampingi dan Gloria sangat tegar. Dia katakan, pak ini kesempatan baik bagi kami untuk minta kepada orangtua untuk mengurus kewarganegaraan kami," pungkas Imam.

Pengasuh Gloria Natapradja Hamel, Acih Nurhayati mengungkapkan, anak asuhnya itu sangat terpukul dengan kenyataan tersebut.

"Gloria nangis-nangis. Dia kecewa banget. Sedih aja tiba-tiba dia dibatalkan," ujar Acih yang mengasuh Gloria sejak lahir, Senin (15/8/2016), di Depok, Jawa Barat.

"Di BBM-nya dia itu tertulis, 'Aku cinta Indonesia. Merah-merah putih Indonesia. Demi Indonesia. Aku cape-cape, panas-panas, kalau tahu begini dari awal dong," ujar Acih membeberkan status BBM Gloria, Senin (15/8/2016), di Depok, Jawa Barat.



[liputan6]

Kado untuk Gloria Natapradja Hamel di HUT RI ke-71


Dunia Hawa - Mata Gloria Natapradja Hamel berkaca-kaca saat menceritakan perasaannya setelah gagal memberikan sumbangsih kepada bangsa yang dia cintai, Indonesia, di Hari Kemerdekaan ke-71 RI.

Kecintaannya pada Indonesia yang menggebu terganjal status kewarganegaraan. Gadis blasteran Indonesia dan Prancis itu tak punya kesempatan lagi mengibarkan Sang Merah Putih di Istana Merdeka pada hari ini, 17 Agustus setelah sebulan mengikuti setiap latihan Paskibraka tingkat nasional.

"Saya memilih untuk menonton teman-teman saya. Kesal sedikit, saya ingin sportif. Aturan tetaplah aturan," ujar Gloria di Kementerian Pemuda dan Olahraga, Selasa 16 Agustus 2016.

Gloria dipastikan tetap hadir pada upacara detik-detik kemerdekaan di Istana Merdeka. Hanya saja, Gloria tidak bisa ikut mengibarkan bendera pusaka seperti rekan lainnya.

Kekecewaan mendalam ini tak menyurutkan semangatnya. Ketenangannya dalam menghadapi masalah dia dapat saat digembleng ketika berlatih Paskibraka. 

Dia pun tak menyesal karena cita-citanya mengibarkan Sang Merah Putih yang tinggal selangkah lagi itu pupus. Gloria sadar, apa yang dia inginkan belum tentu terwujud. Toh, selama menjalankan Diklat Paskibraka 2016, Gloria sudah berlatih keras untuk menampilkan yang terbaik.

"Ini awal, bukan akhir dari saya," ujar gadis cantik kelahiran Depok itu.

"Saya hanya seorang anak SMA, saya ingin bicara pada anak SMA lainnya. If something happen to you, its not the end," lanjut dia.

Korban Administrasi



Gloria mengaku tak mengetahui dirinya adalah seorang WNA dan berwarga negara Prancis. 

"Saya nggak pernah tahu, kalau soal WNA itu. Sebab lahir dan besar di Indonesia," ujar Gloria.

Gloria mengetahui persoalan aturan itu beberapa hari yang lalu. Saat seleksi Paskibraka pada Februari ia tak pernah ditanya soal kewarganegaraannya.

"Nggak ingat sih, apa ada bagian itu (WNA/WNI) saat isi formulir Februari lalu," kata remaja yang suka makan ikan teri ini.

Siswi SMA Islam Dian Didaktika, Cinere, Depok ini sangat kecewa. Pasalnya, cita-cita sebagai Paskibraka sudah impikan bertahun-tahun lalu. Ia ingin seperti ibunda yang juga menjadi Paskibraka pada tahun 1992 lalu.

"Saya sangat bangga memakai nama Natapradja, itu nama mama, saya ingin serupa mama yang ngibarin bendera di Istana," ucap anak tunggal ini.

Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi mengatakan pencoretan nama Gloria murni atas kesalahan administrasi.

"Dalam aturannya jelas, anggota Paskibraka adalah WNI, sementara Gloria bisa memperoleh dwi kewarganegaraan jika orang tuanya mengajukan permohonan," kata Imam.

Gloria lahir pada tahun 2000. Sementara, undang-undang soal dwi kewarganegaraan itu disahkan pada 2006.

"Ini murni kesalahan administrasi, seharusnya orangtua Gloria mengajukan permohonan untuk dwi kewarganegaraannya, sebab Gloria lahir sebelum 1 Agustus 2006. Sementara, anak-anak yang lahir 2006 ke sini, langsung memperoleh dwi kewarganegaraan dan boleh memilih (kewarganegaraan) pada umur 18 tahun," jelas Imam.

Pemandangan terlihat agak berbeda saat peserta Diklat Paskibraka 2016 menjalani gladi kotor di Istana Merdeka pada Sabtu, 13 Agustus 2016. Jumlah personel kurang lengkap. Ada satu ruang kosong di barisan tim arjuna. Sosok Gloria Natapradja Hamel yang seharusnya mengisi ruang kosong itu tidak tampak.

Teman-teman mempertanyakan keberadaan Gloria. Pembina hanya menjawab bahwa Gloria yang memiliki ayah berdarah Prancis sedang sakit sehingga tengah ditangani tim medis. Tidak ada yang tahu kalau Gloria Natapradja Hamel disuruh turun dari bus dan mendapat pesan ada satu masalah yang harus ia selesaikan.

"Saya disuruh turun sama pak Asdep. Beliau bilang ada sesuatu yang harus saya selesaikan. Ya, sudah, saya turun untuk menyelesaikan apa yang harus saya selesaikan," kata Gloria Natapradja Hamel perwakilan Jawa Barat.

Gloria akhirnya mengetahui masalah yang harus diselesaikannya itu. Banyak pihak sudah tahu bahwa ia memiliki paspor Prancis. Kementerian Hukum dan HAM menyatakan Gloria dicoret dari daftar Pasukan Pengibar Bendera Pusaka di Istana Merdeka pada perayaan HUT RI 71.

Dalam surat bernomor AHU.4.AH.10.01-123 bertanggal 15 Agustus 2016, yang ditandatangani Direktur Tata Negara Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Tehna Bana Sitepu, disebutkan Gloria memegang paspor Prancis Nomor 14AA66042 yang berlaku sejak 20 Februari 2014 sampai 19 Februari 2019.

"Saat itu saya hanya kaget. Dan bingung mau ngomong apa," kata Gloria.

Keputusan ini yang membuat Gloria tidak bisa mengikuti gladi kotor hari kedua. Ia hanya berdiam diri di kamar sembari menunggu teman-temannya pulang latihan gabungan di Istana Merdeka.

"Karena sudah tidak diakui sebagai warga negara Indonesia, saya tidak memaksakan juga, karena itu konstitusi. Saya menghargai itu dan mengikuti prosedur yang ada. Toh, yang berwenang sudah angkat bicara," kata Gloria.

Meski hati kecil ingin sekali berlari ke Istana Merdeka untuk latihan bersama teman-temannya, Gloria hanya bisa pasrah disuruh menunggu di Wisma Soegondo PP-PON Menpora, Cibubur, Jakarta Timur.

"Mereka minta saya stay, saya stay. Mau lari ke sana tapi Garnisun juga kontra karena hukum dan saya nggak bisa latihan," kata Gloria.

Kekecewaan Gloria kian bertambah begitu tahu ia tidak bisa dikukuhkan sebagai Paskibraka seperti peserta Diklat Paskibraka 2016 yang lain. Gloria tak dapat berbuat banyak. Ia hanya ingin orang tahu bahwa rasa cintanya terhadap Indonesia sangat besar. Gloria ingin mengubah Indonesia menjadi negara yang lebih baik lagi.

"Apa yang saya janjikan di bendera yang diam jauh lebih suci dibanding orang lain. Kemarin sewaktu malam renungan jiwa saya menangis di hadapan sang merah putih. Meski dia diam, tapi dia yang paling tahu perasaan saya," kata Gloria.

Sebarkan Semangat Cinta Indonesia



Gloria Natapradja Hamel Belum Berhasil Jadi Paskibraka Nasional Karena Punya Pasport Perancis

Asa Gloria belum usai. Meski, tak bisa mengibarkan bendera pusaka, Gloria akan dapat tugas baru.

Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi berniat menjadikan Gloria sebagai duta Menpora. Sosoknya yang cerdas dan tangguh dapat dijadikan contoh bagi para pemuda lainnya.

"Ke depan akan jadikan Gloria sebagai salah satu duta di Kemenpora," kata Imam.

Imam sempat mampir di asrama tempat para Paskibraka berlatih selama satu bulan penuh. Gloria terlihat tabah dan tidak putus asa dalam menghadapi permasalahan ini.

"Ini untuk memotivasi pelajar Indonesia agar tidak putus asa dengan apapun kenyataan yang ada di depannya," ujar Imam.

Meski begitu, Imam belum menjelaskan soal duta ini. Dia baru merancang, bagaimana nantinya Gloria bisa membagikan semangat dan kecintaannya pada Indonesia. Imam ingin, semangat Gloria ini ditularkan pada jutaan pemuda di Indonesia.

"Coba lihat dia (Gloria), dia bisa bahasa Inggris, Perancis, Jepang, dan Korea nih, atlet juga. Seusia dia yang punya mental seperti itu, dia tak mendeskreditkan siapa pun, tak mencari kambing hitam. Berarti, pola pikir dia benar-benar maju," kata Imam.

Soal berapa lama dan sejak kapan Gloria akan jadi duta, Imam enggan berkomentar. Ia hanya menjawab diplomatis.

"Ya kita lihat dulu perkembangannya, kita atur dulu," kata Imam

Gloria Natapradja Hamel tak punya kesempatan lagi mengibarkan Sang Merah Putih di Istana Merdeka pada 17 Agustus.

Melalui Kementerian Hukum dan HAM, dia dinyatakan dicoret dari daftar pasukan pengibar Bendera Merah Putih di Istana Merdeka pada hari kemerdekaan 17 Agustus nanti, setelah Gloria diketahui berkewarganegaraan Prancis.

Dalam surat bernomor AHU.4.AH.10.01-123 bertanggal 15 Agustus 2016, yang ditandatangani Direktur Tata Negara Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Tehna Bana Sitepu, disebutkan Gloria memegang paspor Prancis Nomor 14AA66042 yang berlaku sejak 20 Februari 2014 sampai 19 Februari 2019.

Putri dari pasangan suami istri Didier Andre Aguste Hamel warga negara Prancis dan Ira Hartini warga negara Indonesia, ini juga memegang KITAP Nomor 2D21JE0099-Q, yang berlaku sampai 18 Juli 2021.

Disebutkan pula, Gloria tidak pernah didaftarkan oleh orangtua/walinya untuk memperoleh kewarganegaraan RI kepada Menteri berdasarkan Pasal 41 UU Nomor 12 Thun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

"Undang-Undang yang belum fleksibel, saya ingin coba mengerti dan menghormati Undang-Undang Indonesia," ucap Gloria.

Kepala Staf Garnisun Tetap I/Jakarta Brigjen TNI Yoshua Pangdip Sembiring mengatakan, keputusan itu diambil berdasarkan undang-undang yang berlaku saat ini. Setiap warga yang sudah memiliki paspor negara lain, otomatis bukan warga Indonesia. Di sisi lain, syarat Paskibraka yang paling utama adalah WNI.

"Jadi demikian, kita harus taat ya. Sehingga warga negara yang baik kita harus taat dengan undang-undang, demikian," ujar Yoshua di Istana Kepresidenan, Jakarta.

Yoshua yang juga menjabat Ketua Subbidang Upacara dan Paskibraka itu mengatakan, begitu kabar tentang Gloria ini mencuat, jajarannya langsung memeriksa kebenaran kabar itu. Setelah diketahui kebenarannya, Gloria tidak bisa melanjutkan tugasnya sebagai Paskibraka 17 Agustus 2016.

"Kita sudah tahu. Makanya begitu latihan di Istana dia sudah tidak kami libatkan," lanjut dia.




[liputan6]

Yusril : Selamat Atas Keberhasilan Kalian Melengserkan Archandra Salut


Dunia Hawa - Kemarin malam Archandra Tahar resmi diberhentikan dari jabatannya sebagai Menteri ESDM melalui konfrensi pres Pratikno. Pemerintah kemudian menunjuk Luhut sebagai Plt Menteri ESDM merangkap Menko Maritim.

Saya kaget karena Presiden Jokowi begitu cepat memutuskan. Spontan profesor Yusril yang dulu gagal nyapres dan sekarang gagal nyagub itu menganggap Jokowi tidak mampu mengelola negara. Sebagian orang menganggap Jokowi sudah tepat karena taat hukum dan sebagainya.

Apapun itu, saya hanya ingin ucapkan “Selamat atas keberhasilan kalian melengserkan Archandra. Salut…”


Dua hari terakhir ini saya menulis dukungan terhadap Archandra berdasarkan informan seword.com yang punya akses langsung. Kemarin siang, arus komentar di media sosial masih sangat positif. Meski memang basis pendukung Jokowi sudah mulai banyak yang masuk angin. Mereka mulai keluar dengan opini seolah “taat hukum” padahal memang sudah dikondisikan seperti itu. Sebagian orang hanya ikut arus untuk mendukung atau menjatuhkan Archandra dengan segala alasannya.

Dari dua tulisan tersebut, saya tidak sedang membela meski salah atau cinta buta, saya dan seword.com hadir sebagai media perantara untuk menyampaikan sesuatu yang tidak bisa disampaikan di media mainstream secara langsung. Dengan harapan bisa jadi pembanding dari media mainstream yang begitu kaku dan formal.

Namun setelah semalam Archandra resmi diberhentikan, ini jadi berita paling tidak menyenangkan bagi saya sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi. Archandra diberhentikan tanpa alasan yang jelas. Isu yang beredar di sosial media belum bisa dibuktikan, semua komentator tidak dapat membuktikan apapun. Klaim bahwa Archandra bolak balik menggunakan paspor AS pun tidak ada buktinya, media hanya mengutip dari isu yang beredar. Tapi mengapa Archandra harus langsung diberhentikan? Ini yang menarik saya kupas dari kacamata Pakar Mantan.

Setelah prescon selesai, informan seword hanya menjawab dengan emo saat saya tanyakan tentang apa yang sebenarnya terjadi di istana. Dan saya pikir beliau perlu waktu. Kalau sudah tenang nanti pasti saya tanyakan.

Melihat pemberhentian Archandra ini saya jadi teringat dengan Budi Gunawan, calon tunggal Kapolri yang diusulkan Presiden Jokowi ke DPR. Namun kemudian dijegal dan ditersangkakan oleh KPK.

Meskipun berhasil menang di praperadilan dan dinyatakan tidak bersalah, namun Budi Gunawan tetap tidak dilantik jadi Kapolri. Presiden Jokowi dengan tenang mengangkat Badrodin Haiti sebagai Kapolri sementara. Satu-satunya alasan Budi Gunawan tidak jadi dilantik adalah keriuhan yang terjadi di masyarakat.

Sementara Archandra yang masih sebatas isu dan belum bisa dibuktikan namun sudah berhasil membuat perdebatan yang cukup mirip seperti kasus Budi Gunawan. Contoh saja seperti impeach, Presiden tidak taat hukum, dan sebagainya.

Bedanya, ancaman impeach dan tidak taat hukum ada jika Presiden tidak melantik Budi Gunawan. Sementara bagi Archandra, jika tidak dipecat maka Presiden tidak taat hukum. Jokowi tidak takut terkena impeach saat membatalkan pelantikan Budi Gunawan meski sudah di posisi clear. Sementara Jokowi malah memecat Archandra meskipun belum bisa dibuktikan dia bersalah.

Saat membatalkan pelantikan Budi Gunawan, Presiden Jokowi langsung membacakannya sendiri. Sementara prescon Archandra hanya melalui Pratikno.

Perbedaan-perbedaan ini kemudian membuat saya berpikir tentang menang dan kalah. Archandra kalah oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan. Tanpa ijin ke informan seword, mungkin saya buka saja, Blok Masela yang semula dianggarkan 22 miliar dollar, setelah dikoreksi oleh Archandra hanya menelan biaya 15 miliar dollar. Bayangkan, selisih 7 miliar dollar dan itu duit semua.

Alasan soal dwi kewarganegaraan itu sangat mengada-ngada dan hal kecil. Setidaknya jauh lebih kecil dari permasalahan aturan hukum Budi Gunawan yang harus segera dilantik sebagai Kapolri.

Presiden Jokowi dengan hak preogatifnya bisa memberikan status kewarganegaraan pada Archandra, kalau memang Archandra dinyatakan bukan WNI. Sesuai dengan pasal 20 nomer 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI berbunyi:

Orang asing yang telah berjasa kepada negara republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi kewarganegaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda.

Penasehat hukum seword.com sudah mendesak saya untuk menuliskan hal ini sebelum Archandra dipecat karena isu dwi kewarganegaraan. Sementara informan seword yang punya akses ke Archandra meminta bertahan dengan arus opini publik yang sedang digelar. Sebab ini benar-benar bukan soal hukum atau dwi kewarganegaraan. “Kita harus lawan isu dengan isu.”

Pertimbangannya begini, pelengseran Archandra sedari awal saya sadari bukan soal dwi kewarganegaraan. Sama sekali bukan itu. Bahwa saya harus menjawab sesuai arus isu yang ada, itu hanya sebagai pesan bahwa kami tau “kalian bangsat” sedang mencari cara melengserkan Archandra.

Sekarang setelah Archandra lengser logikanya jadi begini: kalaulah Archandra memang warga negara AS saat ke Indonesia, Presiden tetap bisa memberikan kewarganegaraan padanya. Dan undang-undang AS menyebutkan, saat warga negaranya menjadi pejabat di negara lain maka otomatis hilang status kewarganegaraannya.

Tapi alasannya memang bukan soal dwi kewarganegaraan. Ini soal lain, anda dapat temukan di dua artikel terakhir saya sebelum ini untuk memahaminya. 100% valid.

Inilah kenapa semalam Pratikno tidak menyebut alasan pemberhentian Archandra, sebab memang tidak ada alasan hukum selain hak preogatif Presiden untuk mengangkat dan memecat.

Sekarang teman-teman paham kenapa saya ucapkan “selamat atas kemenangan kalian. Salut saya sama usaha kalian…”

Sebagai bentuk kekesalan terkontrol, mungkin perlu saya sebutkan bahwa titik-titiknya semalam hadir di prescon, berdiri bersama-sama Pratikno. Anteknya Pak Mantan kampret tapi citranya di media luar biasa positif karena rajin ‘belanja.’




[facebook.katakita]

Ketika Politisi Pimpin Doa di Gedung MPR RI


Dunia Hawa – Sehari ini saya tidak sempat menonton sidang tahunan DPR, MPR dan DPD. Namun malamnya ada beberapa teman di WA yang mengirimkan video doa di gedung DPR dengan materi dan cara yang menurut saya sangat tidak layak disebut doa. Saya menyebutnya adalah nyinyir kepada pemerintah melalui perantara Tuhan.

Berikut saya kutip kalimatnya:

“Jauhkan kami ya Allah dari pemimpin yang hianat yang hanya memberikan janji-janji palsu. Harapan-harapan kosong. Yang kekuasaannya bukan untuk memajukan dan melindungi rakyat ini. Tapi seakan-akan arogansi kekuasaan berhadap-hadapan dengan kebutuhan rakyat.”


“Di mana-mana rakyat digusur tanpa tau ke mana mereka harus pergi. Di mana-mana rakyat kehilangan pekerjaan. Allah, di negeri yang kaya ini rakyat ini outsourching wahai Allah. Tidak ada jaminan kehidupan mereka.”


“Ya Allah, kalai ada mereka yang ingin bertaubat, tapi kalau mereka tidak bertaubat dengan kesalahan yang dia perbuat, gantikan dia dengan pemimpin yang lebih baik di negeri ini ya Allah.”


Ya, cukup sekilas. Karena selebihnya adalah kalimat-kalimat keluhan yang sama.

Satu faktor yang membuat saya menyebut ini tidak layak disebut doa karena 80% materi yang diucapkan adalah keluhan, bukan doa atau permintaan.

Dalam islam, mengeluh kepada Tuhan itu dibolehkan. Berdoa sambil mengeluh atau sebaliknya juga ada yang membolehkan. Namun pada pemahaman yang lebih tinggi, saat berdoa kita sebenarnya sedang mempertaruhkan keimanan.

Saat berdoa sambil mengeluh atau sebaliknya, kadang kita terdengar tidak percaya dengan takdir dan kuasa Tuhan. Contohnya kita kerap meminta “tolong kabulkan yang ini dan itu.” Kita seakan tidak percaya dengan Tuhan dan maunya agar doa dikabulkan. Padahal yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Tuhan. Tak perlu tersindir, ini pengalaman pribadi.

Saat berdoa sendiri, kita sedang menyampaikan keluhan dan permintaan yang sifatnya pribadi. Berhubung ini hanya soal kamu dan Tuhan, maka bebas mengeluh dan berdoa yang baik-baik. Kamu bisa mengeluh tetangga yang suka pamer istri baru, kemudian berdoalah semoga juga dapat istri yang lebih baru. Kamu bisa mengeluhkan temanmu yang hutang tapi belum juga bayar, berbohong tidak punya uang, dan doa agar dia diberi kesadaran. Kamu juga bisa berdoa agar dijauhkan dari teman yang jahat dan sebagainya.

Yang namanya doa, sebaiknya diucapkan dengan lirih dan tidak mengeraskan suara, apalagi menggunakan toak masjid dan sejenisnya. Jelas tidak boleh jika mengeluh dan doanya atas nama pribadi.

Melihat sidang tahunan DPR MPR yang berdoa untuk kepentingan publik dan di hadapan rakyat Indonesia, saya mendengarnya (valid) bukan doa, tapi
mengeluh. Lebih buruk lagi, sifatnya sangat pribadi dengan persepsi yang dipaksakan.

Pemuka agama yang memimpin doa harusnya tidak menyelipkan keluhan, karena pasti akan bersifat pribadi. Pasti. Inilah kenapa di banyak kesempatan acara terbuka, pemimpin doa fokus pada meminta kebaikan kepada Tuhan.

Kalau di Singapore dan Malaysia, setiap shalat jumat biasanya ada doa semoga diberi keberkahan, rejeki dan kesehatan. Semoga negara ini tambah makmur damai sentosa. Dijaukan dari wabah penyakit, kemarau panjang dan bencana alam. Baru kemudian dilanjutkan dengan mendoakan raja dan pemimpin agar diberi kesehatan dan kekuatan. Amanah serta jujur dalam mengemban tugasnya.

Sepanjang saya hidup, ada banyak acara doa bersama yang saya ikuti. Entah itu acara formal dan nonformal. Dan semuanya bersifat meminta, bukan mengeluh. Coba diingat-ingat, apakah ada ustad atau kyai yang memimpin doa sambil mengeluh? Seharusnya tidak ada.

Kenapa mengeluh ini tidak layak diucapkan atas nama doa di hadapan umum? Karena berpotensi menyinggung dan pasti tidak mewakili semua orang. Contoh kasus di desamu sedang marak MLM, lalu saat shalat jumat ustad berdoa agar dijauhkan godaan MLM. Apakah etis? Terlepas saya sepakt MLM itu tidak baik, tapi kalau diucapkan di tempat umum jadi tidak tepat. Salah. Sebab itu soal penilaian dan persepsi. Lalu bagaimana jika salah satu jamaah merupakan member MLM bintang 5?

Kembali ke soal doa di gedung DPR, itu sudah tidak bisa lagi disebut doa. Dan tidak layak diucapkan di tempat umum, atas nama doa, karena salah menurut ajaran agama Islam. Karena materinya 80% mengeluh.

Seharusnya DPR memilih orang yang bisa berdoa dengan baik dan benar. Menunjuk kyai NU atau Muhammadiyah sebagai representasi ormas Islam di Indonesia. Sebab soal doa ini krusial dan bersinggugan langsung dengan sosial, budaya, agama dan Tuhan. Kalau kemudian yang dipilih adalah politisi Gerindra, jelas dia akan mengeluhkan pemerintah karena partainya memang oposisi. Apa karena KMP masih berkuasa di DPR, dan Gerindra sebagai pimpinan koalisi jadi harus menunjuk pemimpin doa dari Gerindra?

Pemimpin doa yang harusnya mendoakan hal baik untuk pemimpin negara dan menjauhkan dari hal buruk seperti bencana, malah kebalik. Dia malah mendoakan agar dijauhkan dari (hal buruk) pemimpin yang hianat dan janji kosong, lalu lupa soal doa bencana, kemarau panjang dan hal-hal yang sifatnya masalah bersama.

Silahkan diperhatikan, materi doa seperti tenaga kerja asing, penggusuran, arogan dan sebagainya itu merupakan materi bahasan dalam media online dan cetak tentang berita politik nasional. Ini mau doa apa mau baca berita?

Jadi jelas ya, pemimpin yang tidak paham cara memimpin hanya akan menempatkan orang-orang tidak berkompeten. Contohnya seperti Gerindra, pimpinan koalisi DPR, posisi pimpinan doa yang harusnya diisi oleh ustad atau kyai, malah diisi oleh politisi. Ini jadi mirip seperti kambing mau dibedakin untuk dijadikan calon Gubernur DKI, kambing kok mau dijadikan gubernur? Kambing kok disuruh doa? Eh maksudnya politisi kok disuruh pimpin doa?

Untung saja Gerindra tidak memimpin koalisi pemerintahan, bisa-bisa Inul Daratista ditunjuk sebagai Menteri ESDM karena memiliki kepakaran pengeboran.

Terakhir, saya titip pesan buat siapapun, kalau mau mengkritik tak perlu menjadikan Tuhan sebagai makelar. Berpendapatlah dengan jelas dan berani. Bukan bersembunyi di balik kalimat yang dianggap doa.




[Kompasiana]

Hal-hal Penting yang Meringankan Jessica Terlewatkan, Apa Saja?


Dinia Hawa - Sidang kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso kembali digelar pada hari Senin (15/8/2016) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam persidangan kali ini, Jaksa Penuntut Umum menghadirkan Antonia Ratih Anjarani (Ahli Psikologi Klinis/Psikolog Klinis). Namun dalam persidangan kali ini ada 1 point besar yang terpaksa terlewatkan oleh Otto Hasibuan, Point besar itu menyangkut persoalan di luar bahasa tubuh Jessica Kumala Wongso.

Dalam keterangannya, ahli menyatakan bahwa bahasa tubuh Jessica tidak lazim saat melihat Mirna mengalami kejang-kejang. Namun di saat ahli memberatkan Jessica, ternyata ada satu point besar yang dilupakan Otto Hasibuan yakni soal sikap suami Mirna, Arief Sumarko yang berdasarkan keterangan Hani, menunjukan keanehan:

Kesaksian Hani ( 13 Juli 2016) 


Saya kemudian minta tolong, saya coba bangunin, tapi dia no respon. Pegawai kafe langsung pada datang dan nanya saya, anda keluarganya? Saya bilang bukan. Makanya saya langsung nelpon Arief untuk mengabarkan kondisi Mirna yang memburuk, yang kebetulan kata Mirna dia (Arief) masih baru ada disekitar GI.

Arief diujung telpon meminta agar istrinya diberikan teh manis hangat. Terus aku bilang,’gue gak berani, dia udah kejang terus mulutnya berbusa.Dan keterangan Hani ini harusnya kembali dibacakan Otto, toh ada dalam BAP.

Nah, jika kita kembali mencermati kesaksian Hani pada 13 Juli 2016 jelas lah sudah bahwa pada saat itu Hani menghubungi suami Mirna untuk memberitahukan kondisi Mirna yang memburuk, tetapi pada saat itu yang terjadi justru suami Mirna tidak menunjukan ekspresi panik akibat kabarp yang disampaikan Hani melalui handphonenya tersebut. Lalu inilah beberapa pertanyaan yang bisa meringankan Jessica namun dilupakan Otto Hasibuan.

Pertama.

Dalam keterangannya,ahli menyatakan bahwaJessica bisa tampil tenang, percaya diri, kalem jika berada dalam kondisi yang sudah diantisipasinya, diluar itu emosinya tersulut/terpicu.Maka pertanyaan yang harusnya ditanyakan kepada ahli adalah:jika itu pendapat ahli terkait bahasa tubuh Jessica, maka pertanyaan sederhananya adalah; bagaimana dengan ekspresi yang ditunjukan suami Mirna ketika mendengar kabar bahwa kondisi Mirna memburuk, kejang-kejang dan mulutnya mengeluarkan busa, karena berdasarkan keterangan Hani tertanggal 13 Juli 2016, suami Mirna meminta agar Hani memberi Mirna teh manis hangat? 

Nah tentu dari keilmuan ahli, apakah wajar ekspresi seorang suami saat mendadak mendapat kabar bahwa kondisi istrinya memburuk dengan gampangnya mengatakan berikan saja teh manis hangat tanpa ada ekspresi marah atau panik, apakah ini wajar? Mengapa yang terlihat justru ekspresi yang tenang - (mengatakan berikan saja teh manis hangat)? Mengapa tidak timbul kepanikan?

Kedua.

Dalam keterangan lainnya ahli juga mengatakan bahwa: Perilaku Jessica tak lazim saat Mirna meninggal.Maka pertanyaan yang harusnya dicecar kepada ahli adalah: Ada apa dengan ekspresi suami Mirna ketika mendapat kabar melalui handphone bahwa Mirna kondisinya memburuk, kejang-kejang dan mulutnya berbusa, mengapa justru tidak berekspresi. Karena yang terjadi justru suami Mirna hanya meminta agar Hani memberi Mirna teh hangan panas saja , padahal sebelumnya Hani sudah memberitahukan kondisi Mirna yang sebenarnya.

Bagaimana mungkin ekspresi seorang suami ketika mendapat kabar buruk tentang istrinya bisa bersikap tenang seperti itu, apakah itu lazim? Dan mengapa tidak timbul ekspresi seperti panik dan marah-marah kepada Hani, seperti misalnya Han, lu apain nih istri gue, kenapa dia sampe gitu (kejang-kejang, dan mulutnya mengeluarkan busa), lu kasih apa sih dia,kok sampe gitu kondisinya? Bahkan yang lebih ekstrem misalnya; langsung datang ke Olivier Cafe dan marah-marah dengan peracik kopi atau pelayan di Olivier Cafe bahkan hingga menghubungi polisi.

Nah harusnya ada ekspresi marah dari suami Mirna ketika Hani memberitahu kondisi Mirna yang memburuk  tetapi yang terjadi bukan marah. Yang terjadi justru meminta agar Hani memberikan Mirna teh manis hangat.  Bahkan selain tidak ada ekspresi marah, tidak ada pula ekspresi panik.

Aneh tidak ada ekspresi panik disaat istrinya sedang memburuk kondisinya,  jadi ada apa dengan suami Mirna sehingga dia tidak bisa mengekspresikan panik atau marah disaat istrinya sudah dalam kondisi yang memburuk (kejang-kejang dan mulutnya mengeluarkan buih), ada apa dengan ekspresinya?

Bayangkan suami Mirna mengantar Mirna ke Olivier Cafe , saat itu Mirna kondisinya sehat, tetapi kemudian mendadak  mendapat kabar istrinya kondisi istrinya sedang buruk, tetapi tidak panik dan tidak marah? Apakah wajar tak ada ekspresi panik ketika orang yang kita sayangi (kita nikahi) dalam kondisi yang buruk (kejang-kejang dan dari mulutnya mengeluarkan buih), apakah itu wajar?

Ketiga. 

Selain itu ahli juga mengatakan bahwa: Seseorang tertentu bisa memodifikasi perilakunya. Yang harus ditanyakan Otto Hasibuan dalam persidangan tadi tetapi kembali terlewatkan adalah:Seseorang tertentu yang ahli maksud itu siapa? Apakah ada potensi terdakwa bisa melakukannya hanya karena bahasa tubuhnya yang aneh menurut ahli. Jika demikian pertanyaannya mudah saya balik. Suami Mirna tanpa ekspresi saat mengetahui kondisi istrinya yang memburuk tapi tak bereskpresi panik atau marah, apakah itu masuk ke dalam kategori ‘’seseorang tertentu’’ yang ahli maksud ? Tapi sayangnya poin penting bagian ketiga ini juga diabaikan oleh Otto Hasibuan.

Keempat. 

Ahli juga dalam pendapatnya tadi menyimpulkan bahwa Jessica waras dan sadar. Maka harusnya pertanyaan dilayangkan Otto Hasibuan adalah: Nah, jika ahli mengatakan demikian, pertanyaannya adalah apakah wajar orang yang waras melakukan pembunuhan berencana di tempat yang ramai dengan menggunakan racun di cafe? Apakah wajar orang melakukan pembunuhan berencana di tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya? Apakah wajar kalau seorang melakukan pembunuhan berencana di meja yang bukan pilihannya (meja nomor 54) ?

Karena yang namanya pembunuhan berencana, pelaku akan terlebih dahulu menentukan tempat dan kondisi yang menurutnya aman  dan tidak berbahaya untuk mewujudkan niat jahatnya tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah cafe lazim atau wajar dijadikan sebagai tempat pembunuhan berencana? Itulah poin-poin yang bisa meringankan Jessica, tetapi semua poin diatas diabaikan.




[ricky vinando/kompasioner]