Thursday, December 15, 2016

Unek-Unek Seputar Aksi 212

DUNIA HAWA - Jika saja kepala saya bisa dilepas dan diistirahatkan sementara waktu, saya ingin menaruhnya di bilik, tak sadar saja dahulu. Tapi melepaskan kepala dari tubuh itu sama saja bunuh diri. Saya tak mau bunuh diri saat kondisi kekinian dan keseharian kita seperti sekarang. Akan menjadi hal memalukan jika saya dianggap mengakhiri hidup karena tak sanggup bertahan di negeri indah yang keelokannya bercampur baur dengan keruwetan, kemumetan dan 'ketertinggalan'.


Saya ingin melihat sampai akhir bagaimana agenda penghilangan jati diri keindonesiaan kita oleh  orang-orang di balik layar, isu bubar-bubaran, kafir-mengkafirkan dan sederet masalah lain yang membentang.

Jika saya bunuh diri sekarang, saya akan mati penasaran dan ditolak surga. Masuk neraka sungguh tak diinginkan siapa pun, termasuk saya. Harapan terdalam saya, suatu saat nanti Tuhan memanggil saya karena telah damai dalam jiwa dan pikiran. Bukan karena ketaksanggupan menjalani hari, lalu pergi dari dunia fisik sebagai pengecut sialan sekaligus pesakitan. 

Apa pasal kenapa saya berpendapat guyon seperti tiga paragraf di awal itu? Mungkin karena saya, Anda, mereka sedikit kecewa. Umat bisa bersatu gegara ucapan satu orang yang kebetulan khilaf saat itu. Tapi mungkin saja mereka lupa berpikir apa setelahnya.

Untuk sekarang, seruan donasi dari petinggi Gerakan Pengawal Fatwa sangat menggembirakan. Semoga umat bisa terus menunjukkan tajinya dengan bantuan setulus hati pada korban gempa di Aceh alih-alih memboikot terus Sari Roti.  

Pertanyaan awalnya sekarang ada beberapa. Tidakkah umat bisa bersatu kembali untuk isu-isu strategis yang mendesak? Tidakkah umat dapat kembali lagi bersatu untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, ketimpangan sosial, keterbelakangan sains-teknologi, gizi buruk, penindasan petani dan sederet masalah genting lain yang tertabal?

Bukankah sebagai umat dengan spirit juang rahmatan lilalamin, kita harus membantu pemerintah yang sepertinya kebanyakan pikiran dan kekurangan aksi? Tidakkah umat bergerak membuat tugas negara lebih mudah?

Kita kembali ke masalah aksi lautan cinta 212.

Lautan manusia di Monas itu adalah ekspresi cinta. Wujud nyata dari hati yang masih menggenggam nafas-nafas damai keberagamaan dalam keragaman. Entahlah perasaan apa yang berkecamuk dalam diri saya tatkala menyaksikan semua itu. Saya seperti menemukan, menyaksikan dan merasakan bahwa Allah tetap bersama rakyat kecil dan sebagian umat Islam Indonesia. Allah ada dalam doa mereka dan merawat kepekaan mereka tentang aksi cinta yang harus damai.

Tentu saja saya berharap sebagian umat Islam yang ikut tidak mencap kami yang belum diberi kesempatan ikut aksi cinta--walau hati kami meronta-ronta ingin ikut.

Sebagai salah satu orang yang berusaha menjadi muslim sebenarnya, saya bangga dengan aksi cinta 212. Pun dengan bias yang mengiringinya. Bias itu hal yang wajar sebagai bukti hasil pikir berbeda dari beragam kepala. Jika tak berbias itu justru tak wajar bagi praktik keragaman kita.

Ada yang mengapresiasi aksi ini. Acap juga saya baca nyinyiran beberapa orang tentang aksi cinta 212. Ada yang mengatainya buih. Ada juga yang menyindirinya sebagai aksi sableng.  

Saya jadi kepikiran, kenapa masyarakat Muslim tidak melakukan hal serupa—mendiskusikan dan melakukan aksi—untuk bahasan seperti 'keterbelakangan' umat berdasarkan data dari NY Times. Itu masalah umat sekaligus masalah kenegaraan yang genting. Lebih genting dibanding dengan cap-capan kafir, tuduh-menuduh bid'ah dan hal yang konotasinya serupa.

Bukankah akan berkelas—pemikiran masing-masing kita—kalau kita sama-sama menyinyiri sembari mencari solusi dari masalah dalam data tersebut? Tidakkah hati kita tergerak juga untuk sama-sama ikut aksi berjilid dalam memperkenalkan sains, teknologi dan akhlak pada anak-anak, keponakan atau adik-adik kita?

Jauh dalam hati saya—sebagai pendidik, Fisikawan Teoretik dan Matematikawan Ruang—meronta-ronta ingin bertanya: kenapa masyarakat tidak membahas hasil—kurang memuaskan anak-anak, adik-adik kita—pada tes PISA saja? 

Tapi sudahlah, sepertinya harapan saya ketinggian. Saya merasa bahwa kita tak sedang dalam kondisi baik-baik saja dalam menanggapi sesuatu.

Masih seberapa panjangkah aksi jilid berikutnya dibandingkan dengan usaha tak berujung mempersiapkan generasi selanjutnya?

Pertanyaan saya mungkin tak relevan dengan spirit aksi cinta 212, tapi relevan untuk aksi setelah 212. Jika Anda kebetulan mau tahu, hati saya seperti teriris manakala beberapa kawan justru menuduh, lalu menyinyiri saya sebagai pendidik liberal penghancur umat yang telah dicuci otaknya oleh Mamatika, disulap oleh agen-agen Wahyudi dan semacamnya.

Padahal saya hanya mengupayakan peran lain dalam membela umat. Anda pun sepertinya pernah merasakan hal yang sama. Dinyinyiri karena berbeda. Dinyinyiri karena memiliki pandangan yang jauh ke depan. Dinyinyiri karena memprioritaskan masalah substansial dibanding problema temporer.

Tidak semua bagian tubuh umat adalah kaki dan kepalan tangan, kata Cak Nun. Ada juga telinga, sel darah merah, sel darah putih, kulit, rambut, otak, neuron-neuron, hati, paru-paru atau bahkan jantung. Perbedaan peran dalam perjuangan masing-masing bagian tubuh untuk membuat sebuah organisme hidup adalah alamiah.

Tidak hanya itu, perjuangan umat Islam adalah perjuangan yang sangat panjang. Jika bibit cinta tersemai baik menjadi lautan, maka ada sebagian kecil dari umat yang harus menjadi matahari, awan, pulau, hujan agar terjadi siklus hidup yang lebih besar lalu menjadi sebuah bioma—ekosistem-ekosistem yang terbentuk karena perbedaan letak geografis dan astronomis.

Peran dan kenampakan masing-masing bagian tubuh tentulah bermacam-macam. Ada yang kelihatan, ada yang agak tersembunyi namun vital. Ada yang keras melindungi sebagimana tulang rusuk melindungi paru-paru, batok kepala melindungi otak dan rangka yang memberi bentuk tubuh. Ada yang berperan lembut namun mengidupkan organisme, mengalir sebagaimana darah. Ada yang menenteramkan sebagaimana hormon endogenous morhine.

Pertanyaan akhirnya adalah: peran seperti apa yang akan kita pilih pada aksi cinta kita selanjutnya untuk umat?

@muh. syahrul padli

Fisikawan teoretik

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment