Monday, December 26, 2016

Ulama Mikrofon

DUNIA HAWA - Persoalan agama dan politik memang tak habis-habis dibicarakan dan diperdebatkan. Agama, secara tidak langsung, dijadikan sebagai politik identitas. Ulama—kalau boleh dibilang—sebagai representasi dan barometer laku umat Muslim umumnya serentak berebut peran dan kekuasaan. Imbasnya, ketika muncul persoalan politik, mereka nyaris menarik itu ke dalam persoalan agama.


Akhir-akhir ini, umat Muslim umumnya dibingungkan dengan klasifikasi mana ulama dan mana politisi. Apakah ulama yang berkamuflase sebagai politisi atau sebaliknya? Muncul istilah ‘ulama tanggung’ dan ‘politisi tanggung’. Dalam istilah lain yang lebih positif disebut ulama organik yaitu ulama yang berdiri di antara dua kaki. Di satu sisi berperan sebagai penyuluh jalan ukhrawi dan di sisi lain berperan di garda depan sebagai punyuluh jalan sosial.

Peran ganda tersebut sudah lama muncul namun dalam variasi yang lebih beragam. Ulama konon memilih masuk partai politik sebagai alat untuk bergerak di bidang sosial. Sedangkan, kita tahu kepercayaan masyarakat terhadap ulama yang masuk partai politik saat ini tengah menurun. Kekahawatiran terhadap politik ulama semakin menjadi-jadi ketika tak sedikit kalangan memainkan isu agama, umumnya SARA untuk memukul pihak lawan.

Ini tentu, sekali lagi sangat mengkhwatirkan. Sebuah bangsa yang telah berdiri dengan dasar filsafatnya kembali menemui tantangan ketika orang-orang di dalamnya teralienasi oleh paham yang secara kabur mempertentangkan agama dan negara. Apalagi dalam konteks Indonesia, ulama selain memiliki seperangkat pengetahuan (agama) juga punya jamaah (massa).

Di satu sisi partai politik memainkan politik (identitas) agama, namun bergerak dalam kontestasi yang tak selamanya bertaut dengan nilai agama. Islam politik bila disikapi secara berlebih-lebihan (bisa jadi) dapat merugikan banyak orang. Dengan kata lain, lebih banyak menimbulkan sisi mudharat daripada manfaatnya. Ulama setidaknya berperan menentramkan kehidupan, bukan malah membuat gaduh persoalan.

Ketika ulama diuji dengan pelbagai macam isu, tak harus disertai dengan fatwa yang terburu-buru. Tak mudah mengklaim dan lantas memprovokosi massa. Sebab tak sedikit masyarakat menganggap seorang ulama memiliki otoritas tersendiri dalam ajakan agama.

Ulama sebagai penjaga gawang perdamaian harusnya tetap konsisten di jalannya, tak melirik pelbagai bidang lain. Saat seorang ulama mengendalikan banyak bidang, maka bias persepsi pun mudah terjadi. Tak sedikit para ulama kemudian memandang persoalan secara tak jernih. Tak mampu memilah mana persoalan agama dan persoalan yang mengarah pada kepentingan kuasa.

Di satu sisi, muncul kelompok-kelompok Muslim yang memang semenjak awal bergerak dan meniatkan diri berjuang dengan mikrofon. Meneriakkan visi politik mereka kemana-mana. Yang ada dalam kepalanya hanyalah kuasa. Pelbagai kalangan sudah tampak mulai membuka diri terhadap pemahaman semacam ini tanpa melihat secara kritis dari aspek historis misalnya.

Hal di atas tentu mengancam Indonesia yang semenjak lama menyepakati dasar negaran dalam sebuah dasar filsafat bernama Pancasila. Sebagai agama mayoritas, Islam dalam sejarah kebangsaan memegang kendali yang cukup besar. Tantangannya saat ini, organisasi Islam garis keras muncul dan terus menghiasi layar kaca. Kelompok-kelompok tersebut setelah reformasi bergulir semakin menjamur dan menguat.

Terlebih Islam politik dan politik identitas sudah mengerecut, agama semakin bergerak ke arah lain. Ulama sebagai penyuluh dibelokkan. Umat Muslim teralienasi, tak tahu mana budaya dan ajaran agama. Tak paham mana kepentingan politik dan nilai keagamaan. Akhirnya, fitnah menyebar dan serentak para ulama meresponnya dengan mengangkat mikrofon di jalan-jalan. 

Kembali pada Agama yang Ra(h)mah


Sebagai seperangkat nilai, Islam pada intinya adalah jalan berlaku baik secara sosial dan upaya mendekatkan diri pada Tuhan. Islam tak harus dijalankan secara aspiratif, ribut dan simbolis, melainkan dengan menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajarannya secara inspiratif. Di sanalah peran ulama sebagai pendidik sekaligus secara konkret ikut terlibat dalam ketertiban dan kesejahteraan sosial.

Ulama secara sosial dapat menata, mengatur, dan membimbing umat Muslim khususnya menuju suatu kondisi yang damai, tanpa kekacauan. Dalam kerangka tersebut, lewat agama, ulama dapat berperan lebih moderat terdahap segala bidang kehidupan dan semua umat manusia.

Sebagaimana M. Reville dengan tegas atau barangkali berlebihan menyebut agama sebagai daya penentu kehidupan manusia, yaitu suatu ikatan yang menatakan pikiran manusia dengan nalar misterius yang mengungkap dunia dan individu yang ia sadari dan dengan hal-hal yang menimbulkan ketentraman.

Alhasil, apa yang diramalkan di jaman ini sebagai masa di mana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap agama akan menurun pada akhirnya terbantahkan. Agama menunjukkan kebangkitan dirinya, meski  dalam bentuk yang radikal dan fundamental. Pola beragama semacam ini, dalam sebuah bangsa plural setiap saat dapat memicu perselihan.

Tentu apa yang disebut kebangkitan agama di atas adalah laku sebagian kecil kelompok Muslim yang melakukan tindakan-tindakan melawan hukum. Sebagian kecil kelompok tersebut ingin menunjukkan inferioritas dirinya dengan tindakan anarkis. Islam semacam ini kerap melihat persoalan secara konspiratif tapi dengan simplistis.

Memang, apa yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya sudah terbaca oleh Richard Dawkins, “proyek pencerahan yang ditandai dengan sains, rasio dan keagungan teknologi kini telah terancam oleh serangan organized igronance bernama agama.” Agama ditempatkan oleh pelbagai kalangan sebagai jalan, namun bukan jalan menuju Tuhan, melainkan jalan meraih kekuasaan. Itu sebabnya, tidak sedikit pemuka agama (ulama) masuk gelanggang politik.

Serentak ulama mengangkat mikrofon menarik simpati massa dengan janji-janji politik keagamaan yang meributkan dan mengkhawatirkan. Di samping itu, tidak sedikit ulama masih memahami dan memonopoli agamanya sebagai tujuan utama yang patut diutamakan dan ditegakkan. Padahal dalam Islam dan agama apapun itu selalu menekankan untuk berlaku rahmah, menyayangi seluruh manusia dan alam semesta umumnya.

Sebab membela agama dengan menganiaya manusia sama halnya dengan menistakan agama. Kendati lebih jauh, menganggap agama sebagai tujuan sama halnya menuhankan agama. Jika menuhankan agama, bukankah itu bagian dari syirik yang nyata?

@mohamad baihaqi alkawy



Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment