Sunday, December 25, 2016

Bobroknya Keislaman Kita

DUNIA HAWA - Gejolak yang diprakarsai oleh orang Islam akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan, setidaknya bagi saya. Akal sehat seakan tidak lagi diperlukan. Semua taklid dan mengikuti ulama-ulama layar kaca yang dianggap betul-betul valid menerjemahkan ajaran Rasulullah SAW.


Ajakan dari penggerak aksi 212 untuk memajukan perekonomian umat dengan membangun koperasi 212 dan minimarket 212 disambut dengan baik oleh sebagian umat. Sebuah ide yang cukup baik, walaupun sumbangsihnya untuk bangsa masih perlu dipertanyakan. Seperti yang sudah saya tuliskan pada tulisan sebelumnya.

Bisikan-bisikan untuk tidak berbelanja di minimarket seperti Indomaret dan Alfamart mulai berhembus. Sebelumnya, bisikan untuk melakukan rush money (memindahkan seluruh tabungan dari bank konvensional ke bank syariah) cukup berhasil, walaupun tidak memiliki dampak yang masif terhadap perekonomian (seperti yang direncanakan).

Bisikan-bisikan semacam ini cukup ganjil, mengatasnamakan agama dengan motif yang murni ekonomi. Ajakan untuk berbelanja di minimarket 212 sebenarnya hal yang wajar, tapi ketika ada himbauan untuk tidak berbelanja di minimarket lain dengan mengatasnamakan agama, ini jelas salah. Sebuah sikap pengecut yang lahir dari ketakutan untuk bersaing.

Belum selesai panasnya atmosfer politik karena pilkada DKI, yang disusul Aksi Bela Islam yang (sepertinya) memecahkan rekor aksi massa terbesar sepanjang sejarah berdirinya Indonesia, lalu dijejali lagi dengan fatwa MUI tentang haramnya mengenakan atribut Natal bagi orang Islam. Belum lagi media sosial yang dapat mendorong informasi bagai halilintar, melaju cepat menyebar bagai virus.

Sayangnya, informasi yang menyebar lebih sering adalah berita-berita hoax yang saat ini sedang naik daun. Dan, yang lebih disayangkan lagi, banyak dari kita yang menelan mentah-mentah informasi bohong itu. Memberikan makanan pada otak dengan informasi sampah. Sudah tolol jadi tambah tolol. Dungu kuadrat.

Islam Sontoloyo


Seandainya saya adalah Ahok, bisa dipastikan bahwa saya akan dilaporkan dengan tuduhan penistaan agama karena menulis sub-bab berjudul “Islam Sontoloyo”. Saya yakin, 100%. Untunglah saya bukan Ahok, bahkan tidak terkenal sama sekali.

Tapi, judul semacam ini bukan saja pernah menjadi sub-bab, bahkan terma “Islam Sontoloyo” pernah dilemparkan oleh founding father kita, Sukarno pada mereka yang beragama dengan pikiran sempit. Menurut Bung Karno, orang semacam itu menghambat kemajuan bangsa, memicu konflik, dan juga kemunduran bagi Islam itu sendiri.

Ada lima ciri Islam sontoloyo menurut Bung Karno. Pertama, royal mencap kafir seseorang. Kedua, taklid buta. Ketiga, mengutamakan fikih. Keempat, tak melek sejarah. Kelima, berpedoman pada hadits lemah.

Bung Karno menuliskan hal ini pada tahun 1936, delapan puluh tahun yang lalu! Tapi, sepertinya saat ini kebanyakan kita masih menganut Islam Sontoloyo. Tak heran jika bangsa ini jalan di tempat, konflik terjadi di mana-mana, dan Islam sendiri pun tidak maju.

Saya kutip tulisannya yang terkandung dalam surat Ende tahun 1936:

Kita royal sekali dengan perkataan ‘kafir’. Pengetahuan Barat-kafir; radio dan kedokteran –kafir; pantolan dan dasi dan topi-kafir; sendok dan garpu dan kursi-kafir; tulisan Latin-kafir; ya pergaluan dengan bangsa yang bukan Islam pun-kafir! Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi dupa dan kurma dan jubah dan celak mata!

Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini?

Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja ‘seperti di jaman Nabi dan Chalifahnya?

Banyak yang menganggap Bung Karno sebagai presiden kejawen yang tak mengerti Islam. Maklum, kebanyakan kita adalah Islam sontoloyo yang buta sejarah. Padahal dari tulisan-tulisan Bung Karno, terlihat pemahamannya yang progresif atas Islam. Berikut kutipannya lagi dari tulisannya: 

Islam melarang kita memakan babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terberat, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat?

Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik didalam tuan punya pikiran dan perbuatan, maka tidak banyak orang yang menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam.

Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir! Inilah gambaran jiwa Islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi.

Tulisan Bung Karno 80 tahun silam masih relevan hingga hari ini. Artinya, sedikit sekali kemajuan yang dihasilkan umat Islam selama 80 tahun. Kebanyakan kita masih sontoloyo! Tak heran jika umat Islam sekarang sibuk mengurusi ucapan keceplosan non Muslim, atribut non Muslim, ucapan hari raya umat agama lain, dan berbagai masalah sepele lainnya. Benar-benar sontoloyo! Sampai kapan kita bergelut dengan masalah-masalah sepele ini?

Di luar sana, negara maju sedang berlomba merancang teknologi agar manusia bisa berangkat ke Mars pada tahun 2030 nanti. Oh, sebagian kita masih ada yang percaya bahwa bumi datar. Jadi, semua kemajuan sains tentang antariksa adalah rekayasa! Begitu kata mereka. Ketinggalan peradaban yang jauh, sangat sangat jauh!

Tentang Ulama Busuk


Saya seringkali berpikir, apa yang salah dari umat Islam? Mengapa konflik internal yang terjadi tidak kunjung usai? Sunni-Syiah masih saja terus berperang, padahal kehancuran sudah terjadi di mana-mana. Tetap saja belum ada rencana gencatan senjata dan melakukan resolusi demi kemajuan bersama.

Apakah benar pendapat para orientalis, yang mengatakan bahwa tabiat orang Arab memang gemar berperang? Sehingga bangsa non-Arab tidak hanya mengimpor ajaran agama Islam, tapi juga tabiat-tabiat buruk orang Arab.

Saat ini banyak dari kita mengenakan gamis, berjenggot panjang, menyemprot wewangian khas Arab, menghitamkan dahi, dan lain sebagainya. Dikatakan bahwa ini semua adalah usaha untuk meniru Rasulullah SAW, berislam dengan kaffah. Tapi, selain itu kita juga gemar marah, mencaci, melaknat, menipu, menyebar fitnah, dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya.

Kita melakukan hal-hal tercela itu atas dasar agama. Merasa seolah-olah kita adalah pasukan Tuhan yang melawan iblis. Mari kita bertanya pada diri sendiri, sebenarnya siapa yang kita tiru? Rasulullah SAW? Sahabat? Atau malah Abu Jahal dan Abu Lahab? Toh, Abu Jahal dan Abu Lahab juga berpakaian seperti Rasulullah SAW dan sahabat. Saya condong pada opsi terakhir.

Sebagai awam dalam beragama, kita perlu untuk belajar dari para ulama. Tapi, ulama seperti apa? Jangan sampai kita mengikuti ulama busuk yang justru tidak membawa kita pada ketenangan spiritual. Agama sudah pasti dapat mengantarkan kita pada pribadi yang lebih baik. Lebih sabar, lebih tenang, lebih bermanfaat, dan banyak lagi kelebihan yang ditawarkan agama.

Tapi, dewasa ini kita melihat tren yang terbalik. Orang beragama justru menjadi bersumbu pendek, temperamental, bahkan tak sedikit yang ogah menggunakan nalarnya. Ya, kita beragama secara sontoloyo!

Banyak dari kita yang sontoloyo, sebenarnya tidak menafsirkan atau belajar agama dari sumber langsung. Kita belajar melalui ulama, sebab hanya sedikit dari kita yang memahami bahasa Arab. Modal awal untuk mempelajari Islam dari sumber aslinya, Al-Quran dan Hadits.

Al Ghazali, salah satu ulama terbesar dalam peradaban Islam, menulis di awal kitab Ihya’ Ulum al-Din tentang keprihatinannya ketika ilmu-ilmu agama terancam padam. Penyebabnya adalah banyak ulama yang seharusnya menjadi pewaris Nabi, justru gagal mengemban misi tersebut.

Al Ghazali menyebut ulama tersebut sebagai ulama su’ (busuk) dan ada tiga ciri dari ulama tersebut. Pertama, menjadikan keulamaannya sebagai komoditas untuk mendapatkan harta duniawi. Ya, tidak sulit untuk mencari ciri pertama ini. Jika kita tidak menutup mata, mudah sekali hal ini untuk ditemukan. Kedua, menghamba pada penguasa yang zalim.

Ciri kedua ini agak sulit ditemukan, karena kezaliman penguasa sangat relatif tergantung sudut pandang kita. Tapi, saya kira, ulama yang terlalu sering mencampuri urusan politik dengan mengatasnamakan agama adalah indikasi dari ciri kedua ini.

Ketiga, mudah mengobral fatwa, demi kepentingan politik atau duniawi. Ulama sejati akan sangat berhati-hati dalam mengumbar fatwa. Dulu, salaf, para sahabat nabi, tabiin, tidak suka cepat-cepat memberikan fatwa. Masing-masing justru berharap fatwa diberikan oleh selain dirinya.

Mari lagi-lagi kita bertanya pada diri sendiri, ulama seperti apa yang kita ikuti? Jika kita mengikuti ulama busuk, tak heran jika kita terus-menerus sontoloyo. Keras kepada orang lain, tapi terhadap diri sendiri justru lembek.

Di Mana Keislaman Kita?


Tren yang berkembang saat ini menandakan bahwa kita sebenarnya jauh dari nilai-nilai keislaman. Kita hanya mengambil identitasnya saja. Mengambil asap dan abu keislaman, bukan mengambil api dan intisari dari ajaran Islam. Tak heran kita sibuk dengan permasalahan identitas seperti atribut, penganut agama lain, hingga hari raya agama lain.

Dalam kajian psikologi sosial, manusia mengidentifikasikan kelompok sebagai identitas in-group dan out-group. Seseorang yang memiliki tingkat identitas sosial yang tinggi, akan menganggap kelompok in-group-nya sebagai kelompok kerabat dan kelompok out-group sebagai ancaman.

Identitas sosial adalah hal yang alamiah. Diturunkan secara genetik dari nenek moyang kita. Kerabat yang paling dekat dengan manusia, kera menunjukkan fenomena ini, mereka akan membela kelompok in-group nya terhadap ancaman kelompok out-group.

Saya kira, sangat primitif jika kita masih meneruskan tradisi semacam itu. Kelebihan manusia dibanding makhluk lain adalah kemampuannya merekayasa alam. Jika kita terus-menerus mengikuti hukum alam, apa kita layak disebut sebagai khalifah di muka bumi?

Jika kita bersikeras membela sesuatu karena faktor identitas sosial, benarkah kita membela Islam? Ataukah kita membela ego dalam diri kita? Kita mudah tersulut emosi, mudah menyebarkan berita hoax, mudah menyalahkan orang lain, mudah mencaci orang-orang yang tidak sepemikiran dengan kita. Benarkah ini ajaran Islam?

Padahal, banyak sekali ajaran Islam yang mendorong tumbuhnya akhlak mulia. Sebut saja, cerita Rasulullah SAW yang sangat populer, ketika beliau menjenguk tetangganya yang setiap hari melempar kotoran ke rumahnya. Rasulullah datang ke rumahnya untuk mendoakan kesehatannya.

Belum lagi kisahnya tentang perjanjian Hudaibiyah, perjanjian antara umat Muslim di Madinah dengan suku Quraisy di Makkah. Sekilas, perjanjian ini sangat merugikan umat Islam. Bahkan, Sayyidina Umar sempat kecewa dan berkata, “Mengapa kita menyetujui agama kita direndahkan?” hingga akhirnya kekecewaan Sayyidina Umar ditenangkan oleh Sayyidina Abu Bakar.

Banyak sekali sebenarnya kisah-kisah yang mengedepankan akhlak luhur. Tapi, kita semua memang tak memperhatikan cerita-cerita semacam itu. Kita lebih mengedepankan kisah-kisah pertempuran (yang sebenarnya jumlahnya lebih sedikit) yang sesuai dengan ego kita. Seperti kata Nietzsche: “Terkadang manusia memang tidak ingin mendengar kebenaran, karena mereka tidak ingin ilusinya dihancurkan.”

Kita larut dengan ilusi kita. Oleh sebab itulah berita-berita simpang siur sangat cepat menyebar ketika sesuai dengan ilusi kita. Sedangkan, berita kebenaran kita singkirkan karena tidak sesuai dengan ilusi kita. Di manakah keislaman kita? Apakah kita mengikuti ajaran Islam atau ilusi kita tentang Islam? Wallahu A’lam.

Salaf, para sahabat nabi, dan tabiin tidak suka cepat-cepat memberikan fatwa. Masing-masing justru mengharap fatwa diberikan oleh selain dirinya.

@muhammad fadhel


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment