Saturday, December 10, 2016

The Power of Kampret! 212

DUNIA HAWA - Sudah sejak tadi malam saya ingin menulis artikel ini untuk pembaca yang budiman. Karena kondisi kesehatan yang agak menurun, baru saat ini saya bisa menuliskannya. Tentang kampret. Iya, kampret. Ialah kelelawar yang punya dua ciri khas. Pertama, sensitif terhadap getaran atau suara. Kedua, suka berpusing-pusing dalam kecepatan tinggi. Makhluk yang memiliki ciri kampret seperti ini disebut “manusia kampret”. Manusia kampret punya watak kayak kampret.


Kampret-kampret inilah yang akhir-akhir ini semakin gentayangan. Sekian lama mendekam dalam “gua nafsu”, saat punya kesempatan untuk “keluar”, keluarlah mereka. Meng-klaim diri membela agama dan kemuliaannya, si kampret ketahuan niat yang sebenarnya.

Niatnya hendak jualan, ternyata. Caranya adalah memanfaatkan sentimen agama. Sekian ratus ribu orang, yang berhasil digerakkan melalui kekuatan bacot, menyitir kalam suci, menangis-nangis mendengar doa sang ustadz, tentu akan mudah untuk diarahkan dan digiring. Untuk menghujat. Untuk memboikot roti. Dan untuk membeli kaos bertuliskan alumni:

Alumni 212.


Dasar, kampret!

6 tahun saya sekolah di SD, setelah lulus sekolah SD selama 6 tahun, guru-guru dan teman-teman dan semua orang baru boleh menyebut saya sebagai “alumni SD Inpres Seworan”. 3 tahun saya sekolah di SMP. Setelah lulus, saya baru pantas disebut sebagai “alumni SMP N1”. 3 tahun saya sekolah di SMA. Setelah lulus, saya baru pantas disebut “alumni SMA Islamic Center”. Hampir 5 tahun saya menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Setelah lulus, baru pantas saya disebut sebagai “alumni Universitas Sains al-Qur’an (UNSIQ)”. 10 tahun saya mondok di pesantren, setelah selesai, baru pantas saya disebut “alumni Pesantren Ilmu al-Qur’an (PIQ) Hidayatul Qur’an”.

Lha ini….

Setengah hari demonstrasi menyesaki monas, usai demo, pulang-pulang ujug-ujug bikin tagar dan seruan: “Alumni 212!”. Kesan yang hendak dibuat: Yang ikut aksi 212 adalah islami, pembela ayat suci, pembela agama sejati, anti penistaan, yang tidak ikut 212 adalah “pantat-pantat anjing”, “budak-budak kafir”, “penjilat Ahok”, dan seterusnya. Seolah pula, cukup hanya dengan setengah hari kepanasan lalu kehujanan, dengar tausyiah dan gelar sholat Jumah, ditutup dengan jeritan doa, tiba-tiba sudah merasa paling suci dan mulia, paling Islam sendiri.

Dasar, kampret!


Khutbah pun isinya teriakan dan provokasi. Doa yang disorong ke langit pun nadanya memerintah. Tuhan Allah diperintah-perintah, dipaksa-paksa, disuruh-suruh mengabulkan doa yang dipanjatkan. Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Segalanya, mendadak menjadi budak yang disuruh-suruh. Menjadi tidak jelas, siapa sih Tuhan yang sebenarnya dan hamba yang memanjatkan doa. Jadi terbalik. Si pendoa jadi Tuhan yang memerintah dan memaksa. Seandainya Tuhan tidak mengabulkan doanya, bisa-bisa Tuhan turut disalahkan-salahkan. Tuhan telah menista hamba-hamba-Nya!

Habis aksi, jualan kaos, menghardik roti. Muncul ide—yang memang sedari awal ‘disembunyikan’—buat segala sesuatu berbau “aksi 212”. Bahkan, hanya untuk ikut membantu korban bencana gempa bumi di Aceh, sentimen “alumni 212” tetap digunakan, semakin memperjelas kelicikan dan kepicikan.

Lalu soal peci…..


Astaghfirullah, muncul pula seruan mengganti peci hitam jadi peci putih. Dengan dungunya dikatakan bahwa peci hitam sudah banyak digunakan kaum kafir, kaum muslim harus mempertegas dan memperjelas identitasnya dengan peci putih. Ini model keberislaman yang bagaimana sih sebenarnya?

Sejak kecil saya jadi muslim. Hingga melihat caption tentang seruan pake peci putih itu, selama hidup saya tidak pernah mendengar seorang pun yang mempersoalkan peci. Bahkan, masih terekam jelas dalam memori saya, sewaktu, dulu, saya kenakan peci putih padahal belum menjalankan ibadah haji, tetangga saya yang sudah naik haji menggerutu, “Lu kayak udah naik haji aje. Pake peci putih segale…!” Karena malu, saya pun kembali pake peci hitam saya. Demi mengakhiri gerutu tetangga saya.

Lha ini….

Dasar, kampret!

Apa salahnya peci coba? Mau warna hitam, warna putih, bahkan seandainya kau pake peci warna pink, apa salah dan dosa kau? Tak ada. Yang salah, ketika anda sholat memakai peci—entah warna putih, hitam, atau pelangi—anda tak pake baju dan celana atau sarung alias telanjang. Di samping itu, Nehru suka pakai peci warna putih, padahal Nehru “kafir”. Sukarno suka pake peci warna hitam, padahal Sukarno Muslim. Dan konon, peci warna putih adalah siasat kompeni untuk menandai muslim yang sudah naik haji karena kompeni khawatir orang-orang pribumi yang sudah naik haji ini akan membuat gerakan-gerakan yang membahayakan kedudukan kompeni di Hindia Belanda. Kampret, baca sejarah mangkanya!

Heran. Semakin lama saya semakin heran dengan kaum muslim yang seperti ini. Sesungguhnya tak masalah bagi siapa pun untuk memanfaatkan peluang dan kesempatan demi mencari rejeki. Tetapi mbok ya jangan sadis seperti ini: Memanfatkan simbol-simbol dan sentimen-sentimen agama sekaligus mengobarkan api kebencian pada kelompok lain.

Kampret memang sensitif terhadap suara dan getaran. Persis seperti habib yang menggeletar-geletarkan suaranya untuk memprovokasi massa. Massa pun mengitarinya. Jika si kampret kembali ke gua ketika pagi kan datang, sepertinya hanya kematian saja-lah yang akan mengakhir manusia-manusia kampret ini untuk bertaubat……

@nalarsehat99




Artikel Terkait

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete