Sunday, December 25, 2016

“Om Telolet Om” Meresistensi Politik Dalam Negeri

DUNIA HAWA - Berawal dari keisengan beberapa anak kecil di pinggir jalan utama di daerah Jepara -Jawa Tengah, menuliskan kalimat “om telolet om” di permukaan karton besar yang kemudian dibentangkang ke muka jalan.


Karton besar itu dihadapkan ke setiap bus yang lalu lalang di jalan tersebut. Diharapkan menarik empati setiap supir bus agar menekan klakson serta berkumandang lah suatu lafal transkultur berbunyi “om telolet om”.

Padahal secara logis-empirik, tidak mungkin suara klakson yang terbangun berdasarkan nada-nada diatonis dan melodis mampu merepresentasikan kalimat “telolet” secara eksplisit seperti apa yang sedang ramai dibicarakan.

Minimnya kajian ilmu di pengajian, “om telolet om” dikritisi


Dalam suhu politik tanah air yang saat ini sedang tinggi-tingginya, ditambah lagi gelombang radikalisme yang sedang marak. Berupaya keras menentang sistem demokrasi dengan jargon islamisme anti komunis dan intervensi asing-aseng. “Om telolet om” pun masuk dalam kajian ilmu di pengajian-pengajian mereka.

Mulai dari cinaisme dan Ahok, komunisme dan Jokowi, sekarang yudaisme dan “om telolet om”. Entah cara berpikir model apa yang mereka instal dalam batok kepalanya, “om telolet om” terstigma mejadi virus ideologi yudaism dan hinduism.

“Om”, dalam bahasa Indonesia adalah panggilan lazim untuk seorang laki-laki saudara ayah atau saudara ibu atau seorang laki-laki yang sebaya dengan ayah dan ibu.
 “telolet” adalah nada kongkrit yang distimuli oleh anak-anak kecil bila mendengar suara klakson bus(sesuai konteks).

Lalu apa yang aneh?

Euforia transkultur menggerus dendam publik


“om telolet om” yang terlanjur mendunia, saat ini semakin menjadi bahan cuitan di berbagai media sosial. Banyak distrik cyber yang mulai dijangkiti virus “om telolet om”, termasuk para buzzer politik.
 Bayangkan betapa sedihnya hati Raja kuda beserta seluruh pasukannya? Setelah susah payah menciptakan gerakan politik berbasis komunitarianisme lintas agama dan keyakinan. Lintas suku dan etnik. Lintas intelektual dan telektual hanya untuk melokalisir dendam publik kepada si Petahana, semuanya terancam punah oleh euforia “om telolet om”.

Mangkanya jangan heran bila Cagub titik-titik hanya merespon sekedarnya dan tidak mau turut meramaikan isu itu dengan membuat video “om telolet om”. Karena baginya itu tidak penting. Bisa dibilang, ketidak terlibatan Cagub titik-titik dalan fenomena ini adalah satu-satunya sikap bijak dia selama pra kontestasi.

Politik latah “om telolet om”

Cagub sekelas Ahok pun foto dengan memamerkan kertas bertuliskan “om telolet om”. Dari segi politik, langkah Ahok adalah reaksi logis, sebagai pemanfaatan mind set masyarakat untuk tidak fokus pada statusnya sebagai terdakwa kasus penistaan agama.

Yang aneh, Anies Baswedan. Mantan mentri pendidikan walaupun hanya sesaat saja lalu terkibas tirani reshuffle. Ia bukan hanya foto dengan kertas, tapi membuat video jenaka bertema “om telolet om”. Anies lupa bahwa sikapnya turut menggembosi kebencian publik pada lawan politiknya.

Dari kaca mata politik, “minta maaf Nies, lo blunder”. Harusnya ikuti sikap Cagub titik-titik. Tapi tak apa. Politik latah, meski tidak menguntungkan di sisi satunya, akan memberikan dampak positif di sisi lain. Minimal warga Jakarta jadi tahu bahwa Anies bisa berbahasa slank ala preman Tanah Abang. 

Harga MUI hanya sebatas “om telolet om”


Ingat pernyataan MUI menyikapi bom molotop yang menghilangkan nyawa adik kita Intan Olivia? MUI melalui lidah perwakilannya yang saya enggan menyebutkan namanya, menyatakan bahwa kejadian yang menimpa Intan Olivia adalah pengalihun isu Ahok.

Adapun pada fenomena “Om telolet om”, MUI tidak bergeming. Hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah kematian seorang bayi layak dianggap pengalihan Isu? dan fenomena transkultur yang saat ini mendunia tidak dianggap pengalihan isu?

Saya melihat, upaya pendangkalan akidah yang dituduhkan pada frasa “om telolet om” memang benar dan korban pertamanya adalah MUI. Ahok harus bersyukur, karena yang menjadi rejeki dia adalah: lawan politiknya orang-orang bodoh dan berhati bengis.

Saya menunggu ulama-ulama MUI membuat video jenaka seperti yang Anies dan Sandi lalukan, agar dunia pun melihat bahwa krisis akal sehat dalam politik kita tidak semata-mata karena urusan agama dan ras.

Dan Dunia juga melihat bahwa kejumudan yang dirawat dalam majelis fatwa bernama “MUI” hanya sebagai metode self healing untuk menghibur diri dan semuanya terselesaikan hanya karena satu “ide jalanan” berbunyi. “OM TELOLET OM!”.

Begitulah kura-kura


@habib acin muhdor


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment