Monday, December 12, 2016

Kampanye Rakyat Ala Ahok, Mau Dinner Bareng? Bayar 2 Juta

DUNIA HAWA - Sekarang gak jaman lagi kampanye buang-buang duit, ngumpulin massa, nyewa organ dan artis, bagi-bagi kaos, bagi-bagi sembako, bagi-bagi amplop sambil bilang “jangan lupa pilih saya”.


Kayaknya udah gak laku lagi ya kampanye model begitu, udah ketinggalan jaman. Sekarang jamannya kampanye blusukan.

Kampanye model baru ini di kenalkan oleh Jokowi, niat awalnya bukan buat kampanye tapi Jokowi yang awalnya bukan seorang politisi dan kemudian menjadi walikota mau melihat langsung kesulitan apa yang dihadapi warganya, langsung dari lapangan, langsung dari warga, langsung dari titik masalah, bukan “terima jadi” hasil laporan bawahannya seperti yang sudah lazim terjadi.

Ternyata fakta dilapangan dan laporan bawahan seringkali bertolak belakang. Itu mengapa Jokowi melanjutkan aksi blusukannya sampai menjadi Gubernur di Jakarta dan sudah jadi Presiden pun Ia tetap mempertahankan trade marknya. Blusukan.

Bahkan gaya Jokowi mendatangi warganya ini kemudian banyak ditiru oleh politikus dalam rangka mencari dukungan. Mereka melakukan blusukan ala Jokowi, keluar masuk kampung sambil menempelkan poster mereka dimana-mana sampai mengikuti tarian yang dipersembahkan warga untuk kedatangan mereka.

Tentu saja blusukan politisi dengan blusukan Jokowi berbeda, kalau Jokowi keluar masuk kampung diem-diem, kalau bisa jangan ada orang yang tau ke daerah mana Ia pergi, bahkan kucing-kucingan dengan wartawan supaya tidak diikuti, kalau politisi selain masang poster dan spanduk mereka yang segede gaban, mereka biasanya juga bawa rombongan wartawan biar diliput disana sini. Gak salah juga sih bawa kamera karna judulnya emang mau kampanye.

Sebelum kedatangan si calon di lokasi, biasanya tim lapangan mereka sudah stand by dengan segala tetek bengek dan persiapan yang dikemas sedemikian rupa sehingga terkesan warga mendukung mereka dan dengan suka hati menyiapkan semuanya.

Tentu saja ada warga yang mendukung para calon ditiap daerah tapi saya kira tidak semuanya dan tidak akan se niat jika dipersiapkan oleh tim kampanye mereka sendiri. Toh buat warga, siapapun yang datang kampanye silahkan saja, apalagi kalau masih ada yang pake bagi-bagi sembako, mereka senang-senang saja menerimanya, lumayan rejeki warga soleh :). Urusan nanti memilih siapa, itu urusan hati.

Ada juga yang kampanye ikutan masuk warteg, sok merakyat lalu cuma pinjam kobokan disana karna makanannya dia sudah bawa sendiri dari rumah. Haha gak perlu sampe segitunya lah, kalau memang gak biasa makan di warteg ya gak perlu masuk warteg cuma buat pinjam kobokan juga..

Lalu mengapa gaya kampanye Ahok malah lain lagi? Si tetangga keluar duit pribadi sampai milyaran buat modal kampanye, si Ahok malah minta sumbangan dari warga. Segitu miskinnya kah Ahok?


Suasana Makan Berbayar Dengan Ahok

Apalagi Ahok mengadakan Makan Prabayar dengannya, kamu mau dinner bareng Ahok, harus siapin duit minimal 2jt/orang. Cuma buat makan bareng doang.. buat dinner bareng cewe inceran aja gak sampe segitu ya habisnya haha.. Emang dasar pelitnya kebangetan nih orang!

Oh jangan salah, selain menetapkan harga tinggi untuk kalangan menegah atas, untuk warga menengah ke bawah, tiap meja dengan 10 kursi cuma dikenakan tarif Rp 500.000, jadi tiap orang cukup membayar Rp 50.000. See? Siapapun boleh ikut menyumbang.

Menariknya, kampanye makan berbayar ala Ahok ini selalu ramai peserta. Sekali makan bareng Tim Kampanye Ahok Djarot bisa mengumpulkan uang donasi sampai 1.2M karna selain acara makan malam mereka juga mengadakan lelang lukisan dan penjualan buku.

Kabarnya Tim Kampanye Badja telah menjadwalkan hingga 20kali acara makan berbayar ini. Pesertanya tidak terbatas hanya warga Jakarta saja, bahkan ada warga dari Semarang yang datang sekeluarga mengikuti acara ini. Jadi siapapun bisa ikut menyumbang dana kampanye rakyat ini.

Informasi dana gala dinner ini bisa langsung dilihat di ahokdjarot.id yaa

Menurut saya gaya kampanye Ahok yang menerima sumbangan dari warga yang mendukungnya walaupun cuma 10rb rupiah itu bagus untuk dilanjutkan. (banyak warga datang ke Rumah Lembang, tempat Ahok menerima dukungan warga dan memberikan donasi, donasi 10rb rupiah pun tetap diterima dengan senang hati disana) Sehingga semua warga bisa ikut merasa “memiliki” si gubernur karna mereka sudah berjasa ikut berjuang menjadikan si pejabat kedalam posisi tsb.

Jadi si pejabat bukan cuma “milik” pengusaha yang bisa memberi bantuan dana kampanye yang besar, tetapi juga “milik” semua rakyat. Karnanya si pejabat tidak lagi merasa hutang budi yang biasanya dibalas dengan memberi proyek atau mempermudah ijin-ijin bisnis si penyandang dana besar.

Lalu si calon juga gak perlu pusing mikirin gimana caranya “balik modal” kalau sudah jadi pejabat nanti. Yang biasanya berakhir dengan korupsi sana sini. Dan tak jarang mati dibalik jeruji besi.

Sering terjadi si calon mengeluarkan banyak dana untuk kampanye, menghabiskan harta yang dimiliki, menjual yang tersisa, hingga banyak yang menjadi gila karna cita-cita jadi pejabat tidak tercapai. Duit habis, jabatan pun tak dapat. Fenomena ini banyak terjadi beberapa tahun lalu, saat banyak orang berlomba-lomba ikut Pilkada tapi takdir tak sesuai rencana dan berakhir di Rumah Sakit Jiwa karnanya.

Itu mengapa tidak dianjurkan berambisi menjadi penguasa. Saat ambisi yang muncul mereka akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Bahkan sampai membuat gubernur tandingan, kayak kemaren itu… Memang gak waras.

Menjadi penguasa itu harus dengan hati, dari hati, sehingga tidak ada keinginan untuk mengambil, semuanya didedikasikan untuk memberi, bagaimana melakukan yang terbaik buat warganya. Ketika tidak ada keinginan untuk mengambil, maka keributan pun tidak akan terjadi.

Lalu gimana dengan Ahok yang kesannya sering ribut sama semua orang? Kita bisa melihat siapa yang rajin mau mengambil uang rakyat dan siapa yang selalu dengan gagah mengamankan uang rakyat.

Sampai keluar “pemahaman Nenek Lu” yang fenomenal itu, sampai julukan “si gila” dari lawannya dan sederet kata-kata mutiara yang keluar dari si “mulut jamban” yang sesungguhnya ditujukan kepada orang-orang yang tepat untuk menerimanya.

Tak perlu menafikan ini, kita memang butuh “si gila” dan “mulut jamban” untuk mereformasi segala bidang. Biarkan dimulai dari ibukota dan berakhir untuk seluruh Indonesia. Jujur saja kita sebagai orang waras sangat merindukan “si gila” itu kembali lagi seperti sedia kala.

Jangan sampai kasus fitnah yang digoreng ini memotong tajinya, melumpuhkan semangatnya. Dan berakhir dengan kondisi Jakarta yang semrawut lagi. Seperti dulu.

@indah


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment