Friday, December 2, 2016

Islam Politik Seri II Hari Ini

DUNIA HAWA - Hari ini, tanggal 2 Desember 2016, merupakan ‘Aksi Bela Islam’ gelombang kedua. Aksi massa yang berserial ini adalah kelanjutan dari aksi sebelumnya pada 4 November 2016, yang menuntut dan menyuarakan pengusutan dugaan penistaan agama oleh Ahok untuk di bawa ke dalam proses hukum. Berdasarkan jumlah mobilisasi massa, aksi yang digalang dan dikoordinator oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) yang dikomandoi oleh FPI pada 4 November lalu, bisa dikatakan aksi massa terbesar setelah demonstrasi terhadap kekuasaan rezim orde baru.


‘Aksi Bela Islam’ yang populer dengan nama atau sebutan aksi 411 dan 212 ini, membawa dan menyeret hampir sebagian besar umat Islam pada perdebatan yang sejak semula tidak produktif dan tentunya tidak menyentuh pokok persoalan atau inti polemik yang menjadi beban umat Islam Indonesia hari ini, seperti hal nya problem dalam kehidupan sehari-hari.

perdebatan pun telah berganti menjadi untuk saling caci antar pendukung Rizieq dan Ahok. Para pendukung ‘Aksi Bela Islam’ menuding mereka yang tidak suka dan setuju atau tidak mendukung aksi tersebut dikatakan sebagai “munafik”. Sementara di sisi para penolakan terhadap ‘Aksi Bela Islam’ menganggap aksi massa yang memobilisasi ratusan ribu orang untuk turun ke jalan, dengan wacana membela Islam, justru merendahkan martabat Islam karena perjuangan tersebut dianggap telah dicampuri kepentingan politik.

Kalau kita mencoba untuk adil memandang hal ini, aksi hari ini dan 411 lalu, push factor (pemicu) dari lahirnya perseteruan dan kegaduhan ini sesungguhnya tidak terletak pada mulut atau ucapan salah satu calon Pilgub DKI (Ahok) melainkan Pada UU produk orde baru, UU No 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama dengan pasal 156a di dalam KUHP, dan hal ini sangat mudah dipolitisasi sebagai alat menjatuhkan lawan politik, sementara jika dikaji lebih jauh UU yang di produk rezim orde baru dipakai sebagai legitimasi untuk melakukan penertiban pada suatu hal yang dianggap berpotensi merusak tatanan dalam kedaulatan negara, UU tersebut diterbitkan oleh pemerintah rezim orba untuk menangani aliran-aliran kebhatinan ataupun aliran yang dianggap sesat yang muncul pada rezim tersebut.

Islam politik dalam fakta sejarah berkarakter reaksioner dan ini tidak mewujudkan kepentingan bersama melainkan pada hanya pada tataran golongan, kelompok ataupun identitas. Watak reksioner dan rasis sektarian dalam kacamata saya justru dapat menjadi kepanjangan tangan kepentingan politik maupun ekonomi kaum borjuasi, dan juga bisa dikatakan anaknya imperialisme global, watak rasis dan politik identitas memunculkan sentimen dan melanggengakan domninasi oligarki (kelas borjuasi) dan kepentingan sejumlah manuver elite serta broker politis dan politisi yang haus kuasa.

Masalah politik identitas sudah saya bahas sebelumnya seperti dalam sejarah kekuatan RAS pada NAZI dan Hitler yang halal melakukan pembunuhan masal terhadap kaum yahudi. Begitu juga di Amerika dalam pengembangan konsep teori kulit putih dan kulit hitam dalam sistem perbudakan, dimana kulit hitam selalu dan diciptakan untuk selalu menjadi kelas budak. Begitu juga dalam perpolitikan timur tengah dalam radikalisme, atau lebih jauh ketika era gereja berkuasa.

Di era digital dan teknologi hari ini, semua itu cepat membludak dan membesar dengan maraknya media yang sangat mudah untuk di akses. Dalam mobilisasi massa, opini menjadi penting, dan kenyataanya memang demikian seperti yang kita lihat saat ini. Dengan demikian kepekaan, kesadaran, kritis, dan membaca realita dengan terbuka, sangat dibutuhkan. Terutama generasi bangsa agar tidak mudah emosional, terprovokasi dengan propaganda dan doktrin yang dihidangkan, dan selalu sadar kelas tentunya.

Seperti apa yang dihidangkan sebelum aksi hari ini adalah perjalanan massa dari Ciamis ke Jakarta dengan jalan kaki yang harus menempuh jarak lebih dari 150 KM, hingga mendapat perhatian besar. Sementara hal ini merupakan taktik untuk mendapat perhatian opini dan menjadi konsumsi yang didalamnya adalah “ajakan”. Long March seperti ini adalah hal biasa dan siasat dalam mobilisasi massa, begitupun sejarah telah membuktikanya.

Aksi hari ini dan juga awal november yang lalu dalam pandangan saya adalah islam politik dan politik identitas. Yang justru tidak menyentuh persoalan pokok dalam masyarakat, alih-alih pembelaan tapi pada kenyataanya justru islam sendiri tidak bersatu secara utuh dalam hal ini, karena dalam islam politik lebih berkecenderungan melanggengkan dominasi oligari, dan kepentingan sejumlah elite, politisi, ataupun kelas borjuasi baru. Yang dalam hal ini adalah sama saja kelas penindas.

Sementara theis islam sendiri tidak melihat sesuatu hal dalam kehidupan sosial di dasari sentimen, etno-religius, apalagi rasisme. Jika dilihat dalam konteks demokrasi, aksi hari ini dan yang lalu sudah melakukanya dalam hal menyampaikan aspirasi dan tuntutan, namun sekaligus MEROBEK demokrasi itu sendiri karena ditunggangi hal-hal untuk kepentingan politik dan ekonomi kaum borjuis lama dan baru serta sejumlah elite politisi, bukan kepentingan rakyat secara berkeadilan sosial dan kedaulatan rakyat itu sendiri serta negara.

Apalagi dalam aksi yang terjadi saat ini sudah terlihat tidak konsistenya tuntutan dan dekat pada hal subversif. Alih-alih aksi damai agar tampak agamis tapi kuat dengan hasrat koloni. Islam politik seri II hari ini sama saja dengan tipu muslihat yang terselubung atas nama super damai. Dan tidak seramai di media. Demostrasi seperti ini yang berhasrat seperti koloni dengan berbaju agama bukan cita-cita bangsa. Melainkan tampak untuk mewujudkan kepentingan oligarki, kepentingan ormas dan sejumlah manuver elite ataupun broker politisi, anak imperialisme global. Bukan untuk kepentingan rakyat Indonesia secara menyeluruh atau pada persoalan umat yang lebih aktual.

Keadilan sosial, merupakan kekayaan alam sebuah negara di gunakan untuk menyelenggarakan jaminan sosial yang berkualitas di bidang pendidikan dan kesehatan maupun bidang-bidang lainya, dan rezim Jokowi dengan pelan sudah merealisasikan Trisakti dan Nawacita Bung Karno sesuai dengan pasal 33 UUD 45 dalam bentuk BUMN, konsep ini justru mampu mencegah dominasi oligarki ekonomi secara pelan dan bertahap. Hendaknya hal ini diberi kesempatan terlebih dahulu, karena hal ini tidak menutup kemungkinan untuk dapat mewujudkan sila ke-5 dalam Pancasila.

Apakah para pelaku Islam Politik yang melakukan demonstrasi yang lalu dan hari ini yang dikomandoi FPI mengarah ke hal demikian untuk keadilan sosial dan kemaslahatan umat indonesia secara menyeluruh dengan ragam perbedaan? Tentu tidak. Karena apa yang dilakukan mereka pada awal november yang lalu dan hari ini justru yang ada adalah kegaduhan yang tujuaya untuk menjatuhkan lawan politik. Dan ironisnya agama dipolitisi. Hal ini jauh dari kata progres atau semboyan mengenai kebhinikaan. Jika negara ini adalah negara hukum, setidaknya lebih menghormati proses hukum itu sendiri sampai tuntas. Bukan sentimen dan pemaksaan kehendak yang hanya melahirkan terpecah-belahnya kesatuan bangsa.

@losa terjal


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment