Sunday, December 25, 2016

Apakah Kita Butuh Fatwa Mengucapkan Selamat Natal?

DUNIA HAWA - Apakah kita butuh fatwa untuk bisa sekadar menyampaikan ‘selamat hari natal, kawan’? Seperti halnya haruskah kita berkalang kabut dalam debat hanya sekadar untuk bisa percaya diri merayakan maulid nabi bahwa itu benar?


Bung, ini sudah abad ke-21! Perdebatan-perdebatan klasik teologi sudah jauh kita lewati dengan pencapaian yang lebih dalam dan luas. Sudah cukup menyuguhkan banyak cara pandang. Bahkan jauh sebelum abad masehi, filsafat-filsafat tentang alam, manusia dan Tuhan sudah dibincangkan dalam suatu pencapaian universal atasnya.

Lantas tidakkah bisa kita sedikit saja belajar dari sejarah, untuk menubuhkan setitik saja keberanian untuk menuntun diri dalam bertindak? Termasuk dalam hal sekadar memutuskan apakah kita boleh mengucapkan selamat natal?

Bagaimana mungkin Anda dan kita semua, dan bahkan banyak di antara kita yang sudah menyandang status mahasiswa, gelar sarjana,bahkan beberapa sudah magister, tapi masih saja bergelut dalam kebimbangan, ketakutan akidah, hanya dengan ungkapan sukacita menyampaikan selamat natal? (Ini untuk mendudukan perkara, bahwa kegaduhan-kegaduhan tidak produktif ini justru dipelopori oleh mereka-mereka yang berpendidikan).

Betapa terlalu kerdilnya suatu intelektualitas, dan betapa naifnya suatu kebebasan yang dibiarkan terpenjara oleh penafisran sempit agama yang justru datang dari orang lain. Bagaimana mungkin orang-orang yang tidak Anda kenal kapabilitasnya sekalipun, mengkampanyekan haram mengucapkan natal, bisa membuat Anda ikut ketakutan?

Saat akal manusia sudah berkembang, apakah kita masih terus bergantung dengan otoritas seperti itu? Apalagi sekadar untuk perkara-perkara super sederhana seperti ‘boleh tidaknya mengucapkan natal’?

Bahkan untuk pertanyaan yang lebih dalam lagi, kenapa kenabian misalnya, kita mengakui ada akhirnya? Kenapa Tuhan tidak menurunkan nabi secara terus menerus? Bukankah kebimbangan yang mendera umat hari ini adalah prasyarat materil dari (seyogianya) turunnya nabi? Kalau toh, kita percaya bahwa hanya nabilah yang paling sah dalam dan sebagai satu-satunya otoritas yang bisa mendiktekan kebenaran?

Kenapa? Karena satu hal menurut saya, bahwa manusia sudah sampai pada perkembangan akal yang signifikan,yang memungkinkan untuk bisa mencerna sendiri kebenaran-kebenaran langit.

Di tengah hiruk-pikuknya fatwa natal, kembali lagi ke pertanyaan awal, apakah kita butuh otoritas yang mendikte kita tentang apa yang benar dan salah secara teologis sekadar untuk bisa mengucapkan ‘selamat hari natal’? Apakah akal kita belum bisa dengan percaya diri untuk menunjukkan jalan atau membuat kita percaya diri akan keputusan-keputusan sendiri tentang yang mana benar dan salah untuk urusan-urusan teologis sederhana semacam ini?

Bahkan sejak era Yunani dengan kebudayaan helenismenya sampai sekarang, hampir tidak ada sama sekali aliran-aliran pengetahuan yang disebut otoritarianisme pengetahuan. Para filosof-fiosof memperkenalkan tata cara memperkenalkan kebenaran dengan merujuk pada rasionalisme dan pengolahan pencarian diri, sama sekali tidak menganjurkan kita untuk tergantung pada otoritas.

Kalau kita melacak jejak perkembangan pengetahuan saat ini berakar dari tradisi Yunani tersebut, Entah, manipulasi pengetahuan apa yang membuat kita justru menempatkan otoritarianisme sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang valid dalam konteks ini?

Kembali ke pertanyaan awal. Apakah kita butuh fatwa sekadar untuk bisa (atau tidak bisa) mengucapkan ‘selamat natal’? Bagi saya, tidak. Bahkan bagi saya yang terlahir muslim, tak perlu mengutip anjuran firman Tuhan (Surah Al-Maryam ayat 33) untuk melegitimasi diri saya untuk bisa mengucapkan natal. Sebab, kebaikan adalah kebaikan, tanpa perlu ragu, tanpa perlu mengafirmasinya dengan ayat suci.

Sebab apa yang penting dari keber-agama-an manusia adalah kehidupan sosial itu sendiri. Kita berharap bahwa agama benar-benar bisa menubuhkan suatu kesalehan sosial yang nyata. Apa yang paling penting saat ini secara sosial bukanlah berbicara tentang benar-salah dalam perspektif hitam-putih. Apa yang paling penting secara sosial adalah sikap saling menghormati dan saling menerima perspektif-perspektif yang berbeda-beda itu.

Apa lagi, toh, perbedaan yang dimaksud hanyalah perbedaan dalam ranah yang abstrak. Beberapa di antaranya hanyalah perbedaan dalam menafsir sejarah. Dan kalau yang abstrak dan yang sifatnya penafsiran historis itu ingin diperdebatkan, maka sampai kiamat pun takkan selesei.

Apakah akidah Anda akan berubah hanya dengan mengucapkan ‘selamat natal’? Saya kira tidak. Selama Anda dan kita semua masih waras untuk berbuat demi kemanusiaan. Maka selama itu pula tidak akan ada perubahan akidah. Sebab agama adalah kemanusiaan itu sendiri. Kecuali kalau agama justru membuat kita berambisi untuk membunuh atau menindas, barulah bisa dikata bahwa kita telah mengalami pendangkalan akidah.

Agama hanyalah salah satu jalan untuk mendekati kemanusiaan. Beragama adalah ber-manusia itu sendiri. Dan ber-manusia adalah bersosial itu sendiri. Seperti kata Aristoteles, “Tanpa masyarakat di sekeliling kita, kita bukanlah manusia sejati.” Pertanyaannya, ada berapa banyak di antara kita yang memilih beragama, tapi lupa ber-manusia?

Saat ini, apa yang paling penting, adalah bahwa kita membutuhkan koreksi internal masing-masing, di agama masing-masing. Untuk mewujudkan suatu penafsiran agama yang universal, harmonis secara sosial.

Kita membutuhkan suatu dekonstruksi pemaknaan akan kebenaran-kebenaran esklusif agama menjadi kebenaran-kebenaran inklusif. Kita membutuhkan dekonstruksi kebenaran-kebenaran abstrak agama menjadi kebenaran-kebenaran konkret.

Kita membutuhkan dekonstruksi kebenaran-kebenaran langit agama menjadi kebenaran-kebenaran bumi. Kita membutuhkan dekonstruksi atas segala bentuk kebenaran-kebenaran idealistik agama menjadi kebenaran sosial. Kebenaran agama haruslah menjadi kebenaran sosial itu sendiri.

Konsekuensinya adalah bahwa kita harus beranjak dari penafsiran agama yang berorientasi masa lalu, menuju persepektif penafsiran agama yang berorientasi masa depan untuk kehidupan manusia. Penafsiran-penafisran agama yang kaku atas agama masing-masing, yang hanya berpotensi memecah-belah, dan mengotak-kotakkan manusia, sama-sama harus kita enyahkan.

Bahkan menurut saya penafsiran kebenaran agama seperti itu seharusnya sudah lewat di beberapa abad yang lampau. Konsepsi apa yang paling penting saat ini dalam beragama adalah konsepsi yang mendahulukan kebaikan daripada sekadar (tafsir) ‘kebenaran’.

Toh, bahwa tingkat religiutas manusia juga tidak ditentukan oleh seberapa kompleks penfasiran kita terhadap agama, tapi lebih dilihat dari seberapa bermanfaat kita terhadap kehidupan manusia. Dan ‘agama untuk manusia’, bukan ‘agama untuk tuhan’, saya yakin bahwa inilah konsepsi-konspesi keberagamaan yang menanti kita ke depannya .

Teringat kata Karen Amstrong, bahwa masa depan Tuhan (baca: agama) saat ini dipertaruhkan. Sejarah agama-agama dunia adalah sejarah timbul tenggelam dalam fase hukum sosial yang menjadi hakim. Ada banyak agama atau kepercayaan yang perlahan-lahan hilang, seiring dengan munculnya paham-paham baru yang lebih mampu mengakomodir perkembangan pikiran dan tuntutan-tuntutan kedamaian sosial manusia itu sendiri.

Agama (atau penafsiran agama) masa depan yang menanti adalah agama yang benar-benar bisa memberi kesegaran, bisa bertaruh dalam upaya untuk menciptakan harmoni sosial yang inklusif.

Agama (atau penafsiran agama) yang pengap, yang hanya bisa mengotak-kotakkan manusia, yang hanya terus berbicara dalam perspektif tradisional sektarian esklusif (kafir, haram, bid’ah, dan sesat) adalah penafsiran agama yang tidak akan berumur panjang. Sebab kita terus berhadapan dengan sistem sosial yang baru, sistem sosial yang terus berkembang, termasuk dalam hal kecerdasan sosial manusia.

Apa yang membuat penafsiran agama yang kaku itu bertahan hingga kini, tak lain karena ia berhasil mereproduksi ketakutan-ketakutan psiko-teologis secara massif, yang ditujukan kepada orang-orang yang terlalu rapuh untuk mengaktualkan akalnya.

Itu bukti, setidaknya sampai perdebatan “haram tidaknya mengucapkan selamat natal” masih terus ada dan bergulir dari tahun ke tahun, bukti bahwa kita dan masyarakat kita berada dalam belenggu keterbelakangan akal (dan mungkin mental) yang terus mengkhawatirkan.

@muhammad rusian


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment