Thursday, November 3, 2016

Kenapa Kita Marah pada Penistaan Tapi Oke dengan Kekerasan?


DUNIA HAWA - Timeline Facebook dan Twitter kita akhir pekan kemarin tidaklah menyenangkan. Media sosial kita dipenuhi komentar-komentar terkait demonstrasi FPI terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Semua orang tiba-tiba menjadi pengamat politik atau ulama yang merasa berhak dan paling benar ketika berpendapat.

Semua orang memang boleh berkata apa saja —ini sah dalam sebuah negara demokrasi. Namun ketika kita menelusuri lebih seksama diskusi (atau debat kusir?) yang kita baca, kita akan menyadari ada sesuatu yang salah.

Saya perlu menceritakan dahulu bahwa demonstrasi FPI saat itu tidak seperti yang diberitakan kebanyakan media massa arus utama sebagai "kondusif". Saya hadir di situ, juga meliput sebagai jurnalis, dan menyaksikan sendiri apa yang terjadi. Saya mendengar ujaran kebencian sepanjang aksi, di mana pendemo menggunakan kata-kata "bakar",  "bunuh", dan "keluar Ahok kafir bajingan". Pendemo juga sempat melempar botol air mineral ke arah Balaikota.

Saya memperhatikan, diskusi di linimasa fokus pada penistaan Ahok —yang berawal dari video yang dipelintir oleh Buni Yani— namun mengabaikan potensi kekerasan yang muncul. Ini adalah masalah. Sebab kenapa kita bisa marah pada penistaan tapi merasa oke oke saja dengan kekerasan? Kenapa dengan dalih penghinaan kita bisa merasa boleh memukul orang?

Konsep penistaan agama sendiri ibarat pasal karet yang sangat subjektif. Seseorang yang memiliki tafsir berbeda atas kitab suci bisa dianggap menghinanya. Tafsir yang tidak sejalan dengan pemuka agama arus utama dianggap penyimpangan. Ini kan logika kodok yang meloncat. Sebetulnya ini masalah metode interpretasi teks itu sendiri, ataukah kita memang rapuh dan terlalu mudah tersinggung?

Penistaan hanyalah istilah bergengsi untuk menyatakan diri kita tersinggung. Hal ini sebenarnya malah menunjukkan keraguan, kerapuhan, dan kekerdilan kita atas kepercayaan kita sendiri. Di sisi lain, kekerasan atas dalih penghinaan adalah pola pikir preman, yang akan memukuli kita hanya karena kita tidak permisi ketika berjalan melewati gang.

Kalau ada yang bilang bakso itu enak sementara saya tidak, terus saya otomatis menista bakso? Tentu saja tidak.

Penistaan agama adalah ancaman yang mengawang-ngawang. Penistaan hanya perkelahian di dalam alam pikiran kita sendiri. Paranoia dengan yang tidak bisa ditangkap indera. Berpatokan pada fantasi-fantasi yang semu —yang tidak akan membunuh atau bahkan sekedar melukai kita.

Sementara kekerasan itu bersifat universal dan membahayakan semua orang. Pemukulan akan membuat siapa pun berdarah, berwajah lebam, dan merasakan sakit. Penusukan akan membuat siapa pun terluka, mungkin dikirim ke rumah sakit, dan mungkin dioperasi. Apalagi pembakaran. Terlebih pembunuhan. Ancaman ini nyata.

Jadi, ketika kita kembali membuka Facebook dan Twitter hari ini, saya harap kita bisa menjadi lebih bijaksana. Kita bisa mengetahui, antara penistaan dan kekerasan, mana yang sebetulnya menjadi masalah kita.

[rio tuasikal via qureta]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment