DUNIA HAWA - Kanjeng Dimas Taat, Guntur bumi dan Aa Gatot, dulunya dianggap sebagai ulama oleh banyak orang.
Para pecintanya begitu fanatik kepada mereka. Saking fanatiknya, mereka suka melakukan hal hal yang tidak rasional. Dan ketidak-rasionalan ini dimanfaatkan betul oleh para "pengaku ulama" ini untuk memuaskan nafsu pribadinya.
Sampai ketika Tuhan membuka aib para penjual ayat ayat Tuhan dengan kesalahannya sendiri. Tebaklah, apa yang terjadi pada mereka yang dulu begitu fanatik kepada para "pengaku ulama" ini?
Yah - seperti biasa - memaki orang yang selama ini mereka percayai, mereka ikuti dan mereka merasa tertipu karenanya. Lucu memang, para pengikut itu yang menyerahkan diri mereka untuk percaya tetapi mereka juga yang akhirnya marah kepada orang yang dulu mereka percayai.
Anehnya, banyak yang tidak mau belajar pada kasus kasus sederhana ini. Mereka tetap memelihara kefanatisan dalam dirinya kepada seseorang atau sesuatu.
Ini memang ciri khas bangsa yang sedang mencari jati diri.
Seperti seorang remaja tanggung yang sedang mencari panutan kemudian mengidolakan panutannya itu. Mengikuti apa yang dikatakan panutannya, meninggikannya sampai memajang posternya bahkan pada taraf ekstrim berperilaku seperti panutannya.
"Lalu bagaimana cara memilah mana ulama yang harus diikuti dan mana yang tidak?"
Dengan meilhat apa yang masuk ke dalam tubuhnya. Ketika itu haram, maka secara otomatis akan membentuk perilakunya dan perkataannya. Haram itu luas sifatnya, bukan dari apa yang dia makan tapi bagaimana ia mendapatkan.
Ketika seseorang menjual ayat Tuhan untuk urusan dunianya, ayat itu sendiri yang akan melaknatnya....
Aku selalu teringat perkataan temanku itu.. Dan kuingat lagi ketika pada masa ini bermunculan begitu banyak mereka yang mengaku ulama tapi terbungkus kemegahan dunia.
Ketika Aksesoris Dijadikan Ukuran
Ketika membahas tentang kriteria ulama yang benar, ada beberapa orang yang mencoba membandingkan saya dengan ustadnya.
Ukuran mereka adalah cara saya membaca kitab suci, apakah layak ditandingkan dengan panutan mereka.
Sambil ngopi saya senyum senyum sendiri, betapa mudahnya membuat ukuran seorang panutan, bahwa shalatnya kuat, bacaan ngajinya bagus dengan tatacara membaca yang benar.. Begitulah ukuran yang mereka buat dengan sendirinya.
Apa bedanya dengan Kanjeng Dimas Pribadi jika begitu, yang tampak secara mata lahir bahwa ia bisa menggandakan uang? Sebuah ukuran yang berdasarkan aksesoris tampak luar, begitu mudah menipu seseorang...
Mungkin mereka yang menganut ukuran seperti itu tidak sadar, bahwa iblis itu adalah ahli ibadah kelas wahid pada masanya. Ia bahkan dianggap mahluk saleh di kalangan jin dan dipandang mempunyai posisi setara dengan malaikat. Sampai Tuhan membuka kedoknya dengan penciptaan Nabi Adam as.
Jadi, ketika seorang ulama dilihat hanya dari bagusnya cara mengajinya, ibaratnya ia tidak ubahnya hanya sebagai penyanyi belaka yang menjual suara untuk memenuhi kebutuhan perutnya, bukan seniman yang menguasai musik secara keseluruhan. Sedangkan ulama adalah mereka yang alim dan menguasai ilmu agama secara menyeluruh dan terpatri dalam semua tindakan dan ucapannya.
Kopi saya sudah mendingin. Tapi lumayan untuk membasahi kerongkongan dan menyadarkan akal, sambil kembali pada nasihat Nabi Muhammad Saw yang mengingatkan akan dekatnya akhir zaman..
“Akan muncul suatu kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an, dimana bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian.
Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka.
Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya”. (HR Muslim 1773)
Mereka suruh saya kembali ke hadis, tapi mereka sendiri mengingkarinya.
Serasa ingin tambah lagi kopinya...
[denny siregar]
No comments:
Post a Comment