Monday, September 12, 2016

Edisi Idul Adha : Esensi (Spiritual) berKurban


DUNIA HAWA - Hari ini segenap umat islam di Indonesia yang memiliki kemampuan ekonomi dan telah memenuhi aturan syariat yang ditentukan, telah usai melaksanakan ibadah kurban. Alhamdulillah, untukbeberapa hari kedepan tidak seorang kaum miskinpun yang kelaparan.

Sungguh sangat beruntung saudara-saudara kita yang memiliki status sosial berlebih. Mereka dengan sangat mudahnya berburu pahala. Mendirikan masjid, menyantuni fakir-miskin, merawat anak yatim, menunaikan ibadah haji sekaligus melaksanakan ibadah kurban. Jika kriteria orang-orang yang masuk syurga ditentukan dari seberapa banyaknya mereka mengumpulkan pahala maka niscaya semua orang kaya akan mendominasi penghuni syurga tanpa bersusah payah berupaya.

Jika demikian adanya tentu timbul pertanyaan di benak kita bagaimana peluang orang-orang miskin untuk masuk syurga? Untuk menjawab pertanyaan ini sengaja saya mencoba memahami semangat berkurban (beribadah) dari sisi lain.

Dalam Al-Quran diriwayatkan bahwa perintah melaksanakan ibadah kurban turun dimasa nabi Ibrahim. Ketika itu Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk melaksanakan kurban dengan menyembelih anak kesayangannya yaitu Ismail. Meskipun sempat mengalami keraguan namun karena Nabi Ibrahim telah mencapai derajat manusia pilihan akhirnya atas persetujuan anak kesayangannya, Baginda Nabipun patuh “menyembelih” Ismail dan Allah SWT menggantinya dengan seekor kibas.

Riwayat perintah kurban di atas jika dicermati mengandung pemahaman tersirat (mutasabihat), bahwa perintah Allah SWT dimaksud ditujukan kepada setiap umat islam (kaya atau miskin) bahwa Allah SWT memerintahkan umat islam untuk selalu siap berkurban setiap saat dengan mengorbankan sesuatu apapun miliknya yang paling disayangi. Dalam contoh pengorbanan nabi Ibrahim, kita ketahui bahwa beliau teramat sangat mencintai dan menyayangi puteranya Ismail. Sehingga Allah SWT mengujinya dengan perintah menyembelih Ismail.

Menyembelih “hewan kurban” secara substansi dapat pula dipahami sebagai menyembelih nafsu-nafsu hewani yang bersemayam dalam tubuh kita untuk senantiasa peduli kepada sesama. Kepedulian kaum berpunya kepada kaum duafa (fakir miskin), yang disimboliskan dengan memotong hewan kurban untuk dibagi-bagikan kepada yang berhak menerimanya.

Menilik pembahasan di atas, maka sesungguhnya setiap muslim (kaya ataupun miskin), diberikan Allah SWT kesempatan yang sama “untuk masuk syurga” dengan berupaya keras mengorbankan sebagian “kesenangan diri akan nafsu-nafsu kenikmatan dunia”, untuk senantiasa mengingat (beribadah/menyembah,) hanya kepada Allah SWT.

Semoga bermanfaat dan kepada Allah SWT senantiasa hamba mohon ampunan. Amin.

[gunawan wibisono/ kompasioner]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment